ruang aman bagi penyintas bencana - News | Good News From Indonesia 2024

Ruang Aman bagi Penyintas Bencana

Ruang Aman bagi Penyintas Bencana
images info

Setiap tahun, intensitas bencana di Indonesia terus meningkat. Berdasarkan data BNPB (2024), dalam lima tahun terakhir tercatat sebanyak 20.474 bencana yang terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Sementara itu, pada tahun 2024 saja, sudah tercatat 1.478 bencana.

Bencana yang semakin sering dan meluas ini tidak hanya menghancurkan infrastruktur fisik, tetapi juga mengacaukan tatanan sosial, ekonomi, dan politik, yang berkontribusi pada peningkatan kerentanannya.

Beberapa studi menunjukkan adanya tren peningkatan kekerasan berbasis gender dalam situasi bencana. Kekerasan ini bahkan berpotensi terjadi sejak tahap pencegahan hingga pemulihan pascabencana (The Conversation, 2022).

Kondisi bencana sering kali mengganggu tatanan sosial yang telah ada, menciptakan ketidaksetaraan yang semakin dalam. Dalam situasi krisis, distribusi sumber daya yang terbatas dan struktur kekuasaan yang tidak inklusif semakin memperburuk kerentanan kelompok tertentu. Perubahan mendalam dalam struktur sosial ini sering kali memicu atau memperburuk kekerasan berbasis gender.

Pada tahap pencegahan dan mitigasi bencana, perempuan seringkali sulit mendapatkan akses dalam menghadiri pelatihan pengurangan risiko bencana. Hal ini disebabkan oleh masih kentalnya kultur patriarki di beberapa daerah yang menyebabkan subordinasi perempuan dalam ruang publik.

Akibatnya, perempuan tidak memperoleh pengetahuan mengenai kesiapsiagaan bencana dengan baik. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa situasi ini berimplikasi pada meningkatnya risiko perempuan meninggal hingga 14 kali lebih besar dibandingkan pria dewasa saat terjadi bencana.

Saat bencana melanda, perempuan menghadapi risiko kekerasan yang lebih besar dibandingkan saat situasi normal. Di tempat pengungsian, ancaman ini semakin nyata. Struktur sosial yang timpang, diperburuk oleh suasana darurat menciptakan ruang yang membuat perempuan rentan terhadap pelecehan, eksploitasi seksual, dan diskriminasi dalam mengakses bantuan.

Pada masa pengungsian, distribusi bantuan juga kerap bias gender. Hal ini karena perempuan sering ditempatkan pada posisi subordinat karena dianggap kurang memiliki pengaruh dibandingkan laki-laki. Distribusi bantuan lebih cenderung mendahulukan laki-laki daripada perempuan.

Kondisi ini memperlihatkan bahwa bencana tidak pernah netral. Bencana memperbesar ketimpangan yang sudah ada sebelumnya, terutama dalam hal kekuasaan dan akses terhadap sumber daya. Dengan kata lain, ada politik ruang yang bermain di balik situasi bencana.

Pengungsian yang seharusnya menjadi tempat perlindungan, sering kali berubah menjadi ruang yang tidak setara. Relasi kuasa yang timpang antara pengungsi, pengelola bantuan, dan otoritas lokal menciptakan ketegangan.

Perempuan terutama yang menjadi kepala keluarga atau memiliki kebutuhan khusus, sering kali harus berjuang lebih keras untuk mendapatkan akses yang seharusnya menjadi hak dasar mereka.

Ruang Pengungsian dan Relasi Kuasa

Pembagian ruang fisik dan distribusi sumber daya pada tempat pengungsian mencerminkan relasi kuasa yang timpang. Kondisi ini dapat dilihat dari kurangnya fasilitas sanitasi yang terpisah, penerangan yang minim, atau ketidakhadiran zona aman bagi perempuan dan anak-anak membuka celah bagi kekerasan terjadi.

Produksi ruang dalam konteks pengungsian tentu harus inklusif. Agar memastikan semua penyintas bencana mendapatkan perlindungan dan akses yang setara terhadap kebutuhan dasar mereka.

Henri Lefebvre (2012), seorang sosiolog Prancis memperlakukan ruang sebagai produk dari hubungan sosial serta produk sosial-politik. Menurutnya, tiga dimensi utama ruang sosial sangat penting dalam memahami proses produksi ruang.

Dalam konteks bencana, masyarakat seringkali kehilangan ruang fisik berupa rumah dan fasilitas umum lainnya. Kondisi ini kemudian berimplikasi pada terjadinya situasi yang tidak normal, di mana masyarakat yang menjadi korban bencana harus tinggal sementara di camp-camp pengungsian.

Namun, produksi ruang pengungsian seringkali merujuk pada cara ruang dibentuk dan dipahami oleh otoritas, pemerintah, atau lembaga kemanusiaan yang menangani bencana. Produksi ruang ini kerap mencerminkan struktur kekuasaan dan ideologi tertentu.

Beberapa pengalaman bencana menunjukkan bahwa ruang pengungsian masih dirancang untuk efisiensi dalam proses distribusi bantuan dan pertolongan, serta kontrol pengawasan. Namun kebutuhan spesifik kelompok rentan, seperti perempuan, seringkali masih terabaikan.

Desain ruang yang responsif gender harus menjadi standar dalam setiap pengelolaan bencana. Nihilnya ruang yang responsif gender berimplikasi pada terciptanya kekerasan berbasis gender.

Ketiadaan fasilitas seperti toilet terpisah, penerangan yang cukup, dan zona khusus untuk perempuan dan anak-anak dapat menjadi solusi untuk mencegah risiko kekerasan berbasis gender pada situasi pengungsian.

Memproduksi Ruang Aman

Untuk mengatasi masalah ini, ruang pengungsian harus dirancang ulang dengan mempertimbangkan kebutuhan kelompok rentan. Toilet terpisah, penerangan yang cukup, dan zona aman khusus untuk perempuan dan anak-anak adalah langkah awal yang harus diambil.

Selain itu, perempuan harus dilibatkan dalam pengelolaan pengungsian dan distribusi bantuan, sehingga kebutuhan mereka dapat terwakili. Mekanisme perlindungan, seperti pelatihan gender bagi masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana juga penting untuk dilakukan.

Pendekatan ini juga harus bersifat interseksional, mengingat tidak semua perempuan memiliki kerentanan yang sama. Beberapa faktor seperti usia, disabilitas, dan status ekonomi memengaruhi pengalaman mereka dalam menghadapi bencana. Dengan memahami keragaman ini, kita dapat menciptakan ruang pengungsian yang benar-benar inklusif dan melindungi semua kelompok.

Sebagai penutup, penting untuk menekankan bahwa ruang pengungsian seharusnya tidak hanya menjadi tempat perlindungan fisik, tetapi juga ruang yang aman secara sosial dan emosional bagi semua penyintas bencana.

Hal ini sekaligus menegaskan bahwa produksi ruang bukanlah proses yang netral, melainkan dipengaruhi oleh relasi kuasa yang ada dalam masyarakat. Oleh karena itu, ketika bencana terjadi, ketimpangan sosial yang sudah ada sering kali diperburuk, dan hal ini tercermin dalam pengelolaan ruang pengungsian yang tidak inklusif.

Ruang aman bagi penyintas bencana harus dirancang dengan memperhatikan kebutuhan spesifik setiap kelompok rentan. Pengelolaan ruang yang responsif gender; mencakup desain ruang yang aman, akses terhadap fasilitas dasar, dan partisipasi aktif perempuan dalam pengambilan keputusan, menjadi langkah kunci untuk mengurangi risiko kekerasan berbasis gender.

Dengan pendekatan yang interseksional dan inklusif, kita tidak hanya menciptakan ruang yang lebih aman bagi kelompok rentan, tetapi juga memastikan bahwa setiap penyintas bencana mendapatkan perlindungan yang adil dan setara.

 

Referensi:

  • Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). (2024). Data Informasi Bencana Indonesia. Diakses 5 Desember 2024, dari https://dibi.bnpb.go.id/statistik_menurut_bencana
  • Lefebvre, H. (2012). From the production of space. In Theatre and performance design (pp. 81-84). Routledge.
  • Rohman, F. (2023, November 29). Bagaimana perempuan rentan mengalami kekerasan berbasis gender saat kondisi darurat bencana. The Conversation. https://theconversation.com/bagaimana-perempuan-rentan-mengalami-kekerasan-berbasis-gender-saat-kondisi-darurat-bencana-195120

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

IN
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.