Pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan agresi militer kedua yang menargetkan ibu kota sementara Indonesia, Yogyakarta, serta menangkap Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Agresi ini merupakan upaya Belanda untuk kembali menguasai Indonesia setelah kemerdekaan yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Tindakan Belanda tersebut menuai kecaman dari berbagai negara di dunia. Banyak negara menilai tindakan Belanda sebagai upaya yang tidak sah dan menyalahi hak kemerdekaan Indonesia.
Dalam situasi yang semakin tegang, pada 4 Januari 1949, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) turun tangan untuk memediasi konflik antara Indonesia dan Belanda. Dewan Keamanan PBB mengeluarkan perintah untuk menghentikan operasi militer dan melanjutkan perundingan.
Keterlibatan PBB menunjukkan adanya perhatian internasional terhadap nasib Indonesia serta dukungan global terhadap perjuangan Indonesia untuk meraih kedaulatan penuh. Perintah dari PBB tersebut memaksa kedua pihak untuk mengadakan perundingan yang kemudian berlangsung pada 17 April 1949.
Gedung Joang 45, Saksi Bisu Kemerdekaan Indonesia
Perundingan yang berlangsung selama hampir sebulan ini dikenal dengan nama Perjanjian Roem-Royen. Perjanjian tersebut dimulai pada 14 April 1949 dan mencapai kesepakatan pada 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes, Jakarta.
Nama perjanjian ini diambil dari nama delegasi yang mewakili kedua belah pihak, yaitu Mohammad Roem, dari Indonesia dan Herman van Roijen, dari Belanda. Kedua delegasi menghadapi tantangan berat dalam proses perundingan ini, terutama karena perbedaan kepentingan dan pandangan yang sangat tajam antara Indonesia dan Belanda.
Proses perundingan antara kedua belah pihak tidak berjalan dengan mudah. Ketegangan dan ketidakpercayaan mengiringi setiap diskusi. Indonesia bahkan menghadirkan Mohammad Hatta, yang saat itu sedang berada dalam pengasingan di Bangka, serta Sri Sultan Hamengkubuwono IX dari Yogyakarta.
Kehadiran tokoh-tokoh penting ini, khususnya Sri Sultan Hamengkubuwono IX, sangat berpengaruh dalam perundingan. Sebagai pemimpin Yogyakarta, yang menjadi ibu kota sementara Indonesia dan juga sasaran utama agresi militer Belanda, Sri Sultan dianggap dapat memberikan masukan yang signifikan dalam perundingan tersebut.
Setelah melalui diskusi yang intens dan alot, akhirnya pada 7 Mei 1949, Indonesia dan Belanda sepakat untuk menandatangani Perjanjian Roem-Royen. Perjanjian ini memiliki beberapa poin penting yang berupaya untuk menciptakan perdamaian dan mengakhiri konflik bersenjata antara kedua belah pihak.
Beberapa poin utama dari perjanjian ini meliputi:
Pertama, Belanda sepakat untuk menghentikan semua kegiatan militer di Indonesia dan membebaskan semua tahanan perang serta tahanan politik.
Kedua, Belanda bersedia untuk menyerahkan kedaulatan sepenuhnya kepada pemerintah Indonesia.
Museum M H Thamrin, Tempat Macan Betawi Memperjuangkan Kemerdekaan Indonesia
Ketiga, Belanda setuju untuk menyerahkan semua hak, kekuasaan, dan kewajiban yang dimiliki kepada Indonesia.
Keempat, Indonesia dan Belanda sepakat untuk mendirikan persekutuan yang didasarkan pada asas sukarela dan persamaan hak.
Kelima, Belanda mengakui Republik Indonesia sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat.
Keenam, Belanda akan mengembalikan pemerintahan Republik Indonesia ke Yogyakarta. Ketujuh, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia akan menghentikan semua kegiatan gerilya.
Perjanjian Roem-Royen tidak hanya menjadi kesepakatan damai, tetapi juga menandai titik awal akhir dari kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia. Melalui perjanjian ini, Belanda akhirnya harus mengakui eksistensi Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.
Meskipun kesepakatan tersebut tidak langsung membawa Indonesia kepada kedaulatan penuh, tetapi Perjanjian Roem-Royen membuka jalan bagi perundingan lebih lanjut melalui Konferensi Meja Bundar (KMB).
Konferensi Meja Bundar yang diadakan di Den Haag, Belanda, pada akhir 1949 menjadi puncak dari upaya diplomasi Indonesia untuk memperoleh pengakuan internasional atas kemerdekaannya.
Dalam konferensi tersebut, Belanda secara resmi mengakui kedaulatan Indonesia sebagai Negara Indonesia Serikat (RIS). Pengakuan ini membawa perubahan besar dalam hubungan antara Indonesia dan Belanda, sekaligus menandai berakhirnya masa kolonial di Indonesia.
Kembalinya Yogyakarta sebagai ibu kota sementara Indonesia pada waktu itu menjadi simbol kembalinya pemerintahan Indonesia yang sah.
Perjanjian Roem-Royen dan Konferensi Meja Bundar menunjukkan bahwa perjuangan Indonesia tidak hanya melalui pertempuran di medan perang, tetapi juga melalui meja perundingan.
Kisah Mistik 38 Jasad Pejuang Kemerdekaan yang 'Menolak' Dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Malang
Perjuangan diplomasi tersebut penting untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia berkomitmen pada upaya mencapai perdamaian. Berbagai kesepakatan yang tercapai melalui perundingan ini menggambarkan strategi diplomatik yang cermat dari para pemimpin Indonesia, yang tidak hanya mengandalkan kekuatan fisik tetapi juga menggunakan kecerdasan politik dalam meraih kemerdekaan.
Namun, perjalanan diplomasi menuju kemerdekaan penuh tidak selalu berjalan mulus. Sebelum tercapainya Perjanjian Roem-Royen, berbagai upaya damai yang dilakukan Indonesia sering menemui jalan buntu.
Beberapa perjanjian yang disepakati sebelumnya, seperti Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Renville, sering kali dilanggar oleh Belanda. Meskipun demikian, tekad Indonesia untuk terus berupaya mencari solusi damai tidak pernah surut.
Melalui bantuan dan tekanan dari PBB serta dukungan dari negara-negara sahabat, Indonesia berhasil memaksa Belanda untuk kembali ke meja perundingan dan akhirnya mencapai kesepakatan damai.
Perjanjian Roem-Royen mengajarkan pentingnya upaya diplomasi dalam menyelesaikan konflik dan meraih kemerdekaan. Selain melalui peperangan, jalan diplomasi yang ditempuh Indonesia menunjukkan bahwa perjuangan untuk kemerdekaan dapat ditempuh dengan cara yang lebih damai.
Kesepakatan ini menjadi landasan bagi terciptanya hubungan yang lebih baik antara Indonesia dan Belanda, sekaligus membuktikan bahwa Indonesia mampu berdiri sebagai negara yang merdeka dan berdaulat di hadapan dunia internasional.
Perjuangan panjang tersebut adalah bukti dari semangat bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan seutuhnya, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai perdamaian. Proses panjang menuju pengakuan kedaulatan juga menunjukkan bahwa kemerdekaan adalah hasil dari kerja keras, pengorbanan, dan strategi diplomatik yang cerdas.
Melalui sejarah perjuangan ini, Indonesia telah menunjukkan bahwa semangat untuk merdeka dan berkedaulatan dapat dicapai dengan tekad yang kuat dan strategi yang tepat, baik di medan perang maupun di meja perundingan.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News