"Kucing dan anjing meringkuk terdiam,
Di pojok ruangan dengan resah,
Suara kembang api berdentum,
Menyayat rasa, membuat gelisah."
"Pemilik bijak tak tinggal diam,
Pintu dan jendela rumah segera ditutup,
Memutarkan musik penenang alam,
Takut pun surut, hati damai terlingkup."
Pantun itu menggambarkan video yang mungkin pernah melintasi beranda media sosial Kawan GNFI. Ada rasa sedih melihat ekspresi ketakutan para hewan, ada rasa hangat saat pemilik peka menenangkan hewan peliharaannya dari suara kembang api.
Ada yang Suka, Ada yang Takut terhadap Kembang Api
Bagi sebagian orang, pesta kembang api itu indah dan meriah. Tanpa kita sadari, kemeriahan gemuruh kembang api membuat beberapa hewan ketakutan. Pesta kembang api ternyata menyimpan rasa nano-nano yang kurang disadari oleh masyarakat.
Dentuman keras disertai kilatan cahaya yang muncul tiba-tiba membuat beberapa hewan ketakutan. Mereka gemetar, bersembunyi, atau panik yang berisiko mencederai diri meraka. Royal Society for the Prevention of Cruelty to Animals melaporkan kenaikan stres dan gangguan tingkah laku hewan terutama anjing dan kucing selama akibat kembang api (RSPCA, 2024).
Hasil penelitian pada anjing membuktikan adanya respons fisiologis signifikan berupa peningkatan denyut jantung dan hormon stres akibat kebisingan suara (Reategui-Inga et.al, 2024). Para pemilik hewan dapat secara bijaksana menunjukkan rasa empatinya dengan menyediakan ruang aman bagi para hewan yang ketakutan dengan meredam suara kembang api dan mendamping mereka sehingga dapat mengurangi ketakutannya (FOUR PAWS, 2023).
Etologi Membantu Memahami Perilaku Hewan
Pemahaman tentang perilaku ketakutan pada hewan dipelajari dalam etologi, yaitu cabang ilmu biologi yang mempelajari tingkah laku hewan. Respons ketakutan hewan pada kembang api ternyata merupakan mekanisme adaptif terhadap rangsangan ekstrem yang menyerupai ancaman predator atau bencana alam.
Kebisingan antropogenik terbukti menimbulkan perilaku menghindar, peningkatan kewaspadaan, gangguan aktivitas dan komunikasi pada berbagai hewan (Shannon et al., 2016). Etologi juga menjelaskan respons tersebut bisa berbeda antar inidividu, tergantung kepribadian dan pengalaman tiap hewan. Ada hewan yang cepat pulih dari ketakutannya tetapi ada juga yang membutuhkan waktu lebih lama (Dall et al., 2019).
Pemahaman tersebut dapat membantu kawan-kawan GNFI untuk bijaksana menyikapi rasa menikmati pesta kembang api dengan rasa empati berbasis sains.
Bijaksana dalam Membangun Budaya Positif yang Berkelanjutan
Kebijakan menyikapi pesta kembang api, secara tidak langsung dibahas dengan mengaitkan polusi suara di Eropa. Hal itu dibahas terkait pembangunan berkelanjutan-Sustainable Development Goals (SDGs) di Eropa dengan menerbitkan aturan tentang suara di lingkungan untuk menghindari polusi suara (WHO, 2018).
Polusi suara dan residu kembang api tidak mendukung terwujudnya SDGs 3 (Good Health and Well-being) dan SDGs 11 (Sustainable Cities and Communities), dampak negatif timbul pada hewan darat dan laut terkait SDGs 15 (Life on Land) dan SDG 14 (Life Below Water). Beberapa penelitian membuktikan adanya gangguan perilaku hewan akibat efek kembang api dalam jangka pendek atau panjang (Bateman et al., 2023; Probert et.al., 2025).
Alternatif perayaan yang lebih tenang dan ramah lingkungan dengan pertunjukan cahaya non eksplosif, pembatasan waktu, dan pemberlakuan zona senyap dapat menawarkan rasa manis positif dari rasa nano-nano tanpa menambah rasa pahit untuk budaya bersikap baik pada alam.
Kebijakan kolektif tersebut menunjukkan kebijaksanaan dalam merawat rasa kemanusiaan dan peri kehewanan sekaligus menghadirkan ketenangan lingkungan (Medcom.id, 2025; Bateman et al., 2023).
Semoga Kawan GNFI menemukan makna baru untuk perayaan tahun baru, tidak hanya dengan benderang dan riuhnya pesta kembang api menghiasi langit, tetapi melangitkan rasa empati kita kepada sesama makhluk hidup lainnya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


