Satu kota dengan dua nama berbeda — inilah Surakarta dan Solo. Dua nama yang melekat pada satu tempat, tapi sering menimbulkan kerancuan di telinga banyak orang.
Bagi masyarakat luar daerah ataupun warganya sendiri, perbedaan itu membingungkan. Di sisi lain pun, nama ini menjadi bagian dari keseharian yang kadang sulit dijelaskan.
Di balik makna ganda yang terselip pada nama kota ini, tersimpan teka-teki yang terselubung. Tak jarang, mengundang pertanyaan di benak kita, “Mengapa Surakarta disebut Solo?”
Kalau Kawan GNFI juga pernah bertanya-tanya hal yang sama, kalian nggak sendirian. Yuk, kita menelisik cerita terselubung di balik nama ganda yang membentuk identitas kota ini.
Persimpangan Sejarah Kota Surakarta
Kisah Surakarta bermula dari gejolak masa lalu, tepatnya di persimpangan sejarah Kesultanan Mataram Islam. Pada pertengahan abad ke-18, Kartasura, ibu kota Mataran pada masa itu dilanda Geger Pecinan—kerusuhan antara kelompok Tionghoa dan pasukan kerajaan. Peristiwa itu membuat kota menjadi porak-poranda.
Akibat kondisi tersebut, Sultan Pakubuwono II memutuskan untuk memindahkan pusat pemerintahan demi membangun kembali ibu kotanya. Desa Sala ditetapkan menjadi kedudukan susuhan (raja) yang baru atas usulan Tumenggung Hanggawangsa.
Pada tahun 1745, Keraton Surakarta Hadiningrat resmi ditempati dan menjadi pusat baru kekuasaan Kesultanan Mataram setelah pemindahan ibu kota dari Kartasura. Sejak saat itu, wilayah tersebut bukan lagi sekadar desa, tetapi berubah menjadi ibu kota kerajaan dengan nama Surakarta Hadiningrat.
Nama Surakarta dipilih sebagai pemangku babak baru dalam dinamika Kesultanan Mataram. Dalam bahasa Jawa, sura berarti keberanian, sedangkan karta bermakna kemakmuran.
Dari Sala menjadi Solo
Wilayah berdirinya Keraton Surakarta Hadiningrat terletak Desa Sala, sebuah kawasan di tepi Sungai Bengawan Solo — salah satu sungai terpanjang dan paling bersejarah di Pulau Jawa. Dari sinilah, seiring seiring berjalannya waktu, muncul penyebutan baru yang kini begitu akrab di telinga Kawan GNFI, yakni Solo.
Perubahan dari Sala menjadi Solo bukan terjadi begitu saja. Seiring waktu, tuturan Sala bergeser menjadi Solo karena pengaruh pengucapan orang Belanda yang kesulitan melafalkan huruf ‘a’ di akhir kata Sala. Namun ternyata, perubahan ini juga berakar dari perbedaan penulisan dalam aksara Jawa.
Seperti yang dijelaskan oleh, Prof. Warto, Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS), dalam portal resmi UNS, “Dengan huruf ‘a’. Ingat huruf Jawa ‘o’ dan ‘a’ punya perbedaan yang sangat penting.
Kalau Sala ditulis dengan huruf Jawa nglegena atau telanjang. Kalau di-taling-tarung jadi ‘o’ makanya So–lo gitu. Dan, alasannya Sala jadi Solo karena orang Belanda susah ngomong Sala.”
Dari penjelasan itu, kita bisa melihat bahwa nama Solo lahir bukan hanya karena faktor bahasa, tetapi juga karena keterikatan antara budaya lokal dan kolonial. Sejak saat itu, nama Solo melekat kuat di masyarakat dengan kisah yang menggema dari tepian Sungai Bengawan hingga ke setiap sudut kota.
Kini, Solo bukan sekadar sebutan nama kota, tetapi menjadi simbol budaya, sejarah, dan perjuangan sarat akan makna.
2 Sisi dari Satu Koin: Wajah Kota Surakarta dan Solo
Kota Surakarta yang akrab dikenal dengan sebutan Solo, telah melewati berbagai fase dalam perjalanan struktur pemerintahannya. Pergeseran status ini mencerminkan dinamika sosial, politik, dan budaya yang terus berubah dari masa ke masa.
Berikut rangkaian perjalanan Surakarta dalam lintasan sejarahnya:
- Kesultanan Mataram Islam
Awalnya, Surakarta bagian dari Kesultanan Mataram Islam yang berpusat di Kartasura. Namun setelah dilanda Geger Pecinan, pusat pemerintahan dipindahkan ke Desa Sala. Di desa inilah, berdirinya Keraton Surakarta Hadiningrat sebagai pusat pemerintahan baru.
- Daerah Istimewa Surakarta
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945, Surakarta mendapatkan status istimewa, yakni Daerah Istimewa Surakarta yang kedudukannya setara dengan provinsi.
- Karesidenan Surakarta
Namun, situasi politik pasca kemerdekaan tidak sepenuhnya stabil. Munculnya gerakan antimonarki, kerusuhan, dan instabilitas menyebabkan status Daerah Istimewa Surakarta ditangguhkan pada 16 Juni 1946. Kekuasaan susuhan pun dihapus dan Surakarta resmi menjadi Karesidenan Surakarta di bawah pemerintah pusat.
- Kota Surakarta
Struktur pemerintahan kembali bergeser. Karesidenan Surakarta dihapus dan wilayahnya ditetapkan sebagai Kota Surakarta. Pada perubahan ini, Surakarta menjadi kota otonom di bawah administrasi Jawa Tengah.
Fase perubahan struktur pemerintahan ini menegaskan bahwa Surakarta dan Solo ibarat dua sisi wajah dari satu koin. Bukan dua kota yang berbeda, melainkan satu kota dengan dua sisi wajah yang sama.
Kedua nama ini merepresentasikan perjalanan sejarah yang tak terpisahkan antara kekuasaan, kebudayaan, dan identitas masyarakatnya. Selain itu, nama ini menggambarkan kehidupan sehari-hari yang terus berkembang hingga kini.
Perbedaannya terletak pada penggunaan tuturan nama kota. Surakarta merupakan nama resmi administrasi, berakar pada sejarah dan struktur pemerintahan kota pada masa Kesultanan Mataram.
Sementara, Solo adalah sebutan akrab masyarakat, lahir dari keseharian warga di tanah Sala dan perjumpaan budaya lokal dengan pengaruh kolonial. Nama Solo memberi kesan membumi dan dekat, mencerminkan kedekatan emosional yang melekat dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News