“Diskursus yang berkembang dari awal sampai kekinian memperlihatkan pemimpin hero yang bisa membawa organisasi menuju pencapaiannya. Jika berhasil dipuji, kalau gagal akan dikritik,” jelas Prof. Donald Crestofel Lantu, Ph.D.
Prof. Donald membedah konsep kepemimpinan yang berkelanjutan. Sebab, makna kepemimpinan memang tidak ada pakem dan terus mengalami pergeseran. Kepemimpinan bukanlah figur tunggal yang berdiri di garis depan. Kepemimpinan adalah tentang bagaimana sebuah ekosistem bisa tumbuh, beradaptasi, dan menciptakan nilai bersama.
Itulah gagasan besar yang diangkat oleh Prof. Donald Crestofel Lantu, Ph.D., Guru Besar dari Kelompok Keahlian People and Knowledge Management, Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung (SBM ITB) dalam orasi ilmiahnya bertajuk “Pengembangan Kepemimpinan Bisnis: Pergeseran Paradigma dari Individu ke Ekosistem” pada Sabtu (11/10/2025).
Kepemimpinan di Era Digital: Dari Individu Menuju Ekosistem
Menurut Prof. Donald, paradigma kepemimpinan kini harus bergerak dari yang bersifat individual ke arah kolektif. Dunia bisnis modern tidak lagi bisa bertumpu pada satu figur karismatik. Keberhasilan organisasi justru lahir dari interaksi sosial antara pemimpin, anggota, dan konteks organisasi.
“Pemimpin bukan lagi super hero, melainkan hasil interaksi antara atasan, bawahan, dan konteks organisasi,” katanya.
Perubahan ini berakar dari evolusi lingkungan bisnis yang semakin dinamis. Jika dulu dunia dikenal dengan istilah VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity), kini istilah itu bergeser menjadi BANI (Brittle, Anxious, Nonlinear, Incomprehensible).
Konsep VUCA menggambarkan dunia yang cepat berubah dan sulit diprediksi. BANI, sebaliknya, menunjukkan kondisi yang rapuh (brittle), cemas (anxious), tidak linier (nonlinear), dan sulit dipahami (incomprehensible).
Kondisi BANI menuntut pemimpin untuk lebih adaptif, kolaboratif, dan berempati. Kepemimpinan adalah tentang membangun koneksi dan memberdayakan tim dalam ekosistem yang kompleks.
Ambidextrous Leadership: Menyelaraskan Efisiensi dan Inovasi
Dalam penelitiannya bersama Dr. Hidayat dan Dr. Utomo, Prof. Donald menyoroti konsep ambidextrous leadership. Ambidextrous leadership adalah kepemimpinan yang mampu menyeimbangkan dua hal yang sering dianggap bertentangan, yakni eksploitasi dan eksplorasi.
Eksploitasi di sini merujuk pada kemampuan organisasi untuk melakukan efisiensi dan memaksimalkan sumber daya yang ada. Sementara itu, eksplorasi berarti dorongan untuk berinovasi, bereksperimen, dan menciptakan peluang baru.
“Fokus bisnis sekarang adalah menghasilkan cashflow sebesar-besarnya dengan melakukan efisiensi melalui transformasi digital yang sering dikenal sebagai pendekatan eksploitasi,” jelasnya.
Tanpa eksplorasi, organisasi bisa kehilangan daya inovatifnya. Harvard University, menurut riset Prof. Donald, bahkan mengembangkan model kepemimpinan ambidextrous dengan pembagian klaster sesuai konteks organisasi agar keseimbangan antara efisiensi dan inovasi tetap terjaga.
Kepemimpinan Sebagai Investasi Sekarang, Bukan Masa Depan
Salah satu pandangan menarik dari Prof. Donald adalah penolakannya terhadap anggapan bahwa pengembangan kepemimpinan merupakan investasi jangka panjang.
Menurutnya, kepemimpinan adalah investasi saat ini yang harus diterapkan di setiap level organisasi. Hal itu diperlukan untuk menjaga daya saing, mempercepat inovasi, dan memastikan keberlanjutan organisasi di masa depan.
Kepemimpinan modern adalah sebuah ekosistem hidup. Artinya, keberhasilan organisasi sangat bergantung pada kemampuan seluruh anggotanya untuk saling menguatkan.
“Marilah kita membangun budaya bisnis dan kepemimpinan kolektif berbasis ekosistem yang berkelanjutan, karena kepemimpinan adalah panggilan untuk melayani kemajuan bersama, sesuai dengan nilai SBM ITB — For the Greater Good,” tuturnya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News