Meski disebut ayam hutan, Maleo Senkawor bukanlah ayam biasa yang kita kenal. Secara taksonomi, ia termasuk dalam keluarga Megapodiidae (bangunan kaki besar) dan merupakan satu-satunya anggota dari genus Macrocephalon.
Nama ilmiahnya, Macrocephalonmaleo, berarti "kepala besar dari Sulawesi". Ciri fisiknya sangat mencolok. Ukurannya sebesar ayam betina, dengan bulu didominasi warna hitam dan kulit sekitar mata berwarna kuning cerah.
Di kepalanya terdapat tonjolan keras atau "tanduk" (casque) berwarna hitam, yang membuat profil kepalanya terlihat sangat besar, sesuai dengan namanya. Iris matanya berwarna merah kecoklatan, menambah kesan unik pada penampilannya.
Kaki-kakinya yang kokoh berwarna abu-abu kebiruan didesain untuk menggali, sebuah adaptasi krusial untuk perilaku bertelurnya yang tidak biasa.
"Ogah" mengerami telurnya sendiri
Inilah yang membedakan Maleo dari hampir semua burung lainnya di dunia. Maleo tidak mengerami telurnya sendiri. Sebagai gantinya, ia memanfaatkan sumber panas dari lingkungan untuk menetaskan anak-anaknya.
Prosesnya dimulai ketika sepasang Maleo yang dikenal setia pada pasangannya (monogami) mencari lokasi yang tepat untuk bertelur. Lokasi ini bukanlah sarang di atas pohon, melainkan sebuah "pekerjaan galian" yang rumit.
Maleo memanfaatkan dua jenis sumber panas utama, sebagaimana tercatat dalam publikasi Jurnal Biologi Indonesia dan Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi, yakni:
- Pantai Berpasir: Daerah pantai yang terkena sinar matahari sepanjang hari, di mana panas matahari memanaskan pasir di kedalaman tertentu.
- Kawasan Geothermal: Daerah yang dekat dengan gunung berapi atau sumber mata air panas, di mana panas bumi secara alami memanaskan permukaan tanah.
Setelah menemukan lokasi yang ideal, kedua induk Maleo akan bergotong-royong menggali lubang sedalam sekitar 60 hingga 100 sentimeter. Sang betina kemudian akan menelurkan satu butir telur berukuran sangat besar, kira-kira lima kali lebih besar dari telur ayam ras, ke dalam lubang tersebut.
Setelah telur dikubur kembali, kedua induk akan pergi untuk selamanya, meninggalkan nasib telur mereka pada kehangatan dan kestabilan suhu tanah sekitar 32-35°C.
Hidup mandiri sejak bayi
Proses pengeraman alami ini memakan waktu sekitar 60 hingga 80 hari. Yang menakjubkan, anak Maleo yang berhasil menetas harus berjuang sendiri untuk keluar dari kubangan pasir yang dalam tanpa bantuan induknya.
Proses keluar dari dalam tanah ini bisa memakan waktu hingga 48 jam. Begitu mencapai permukaan, anak Maleo yang sudah berbulu lengkap (precocial) ini sudah mampu berlari dan bahkan terbang dalam jarak pendek untuk menghindari pemangsa.
Anak-anak Maleo benar-benar hidup mandiri sejak hari pertama mereka melihat dunia, sebuah bentuk strategi survival yang luar biasa namun juga penuh risiko.
Ditetapkan sebagai satwa dilindungi
Sayangnya, keunikan evolusioner Maleo ini justru menjadi bumerang di hadapan tekanan manusia. Maleo Senkawor telah lama ditetapkan sebagai satwa yang dilindungi oleh Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.106 Tahun 2018.
Statusnya dalam Daftar Merah IUCN (International Union for Conservation of Nature) adalah "Terancam Kritis" (Critically Endangered/CR), yang merupakan level keterancaman tertinggi sebelum kepunahan.
Ancaman terhadap populasi Maleo sangat kompleks:
- Perusakan dan Fragmentasi Habitat: Alih fungsi hutan untuk perkebunan, pertambangan, dan pemukiman menghancurkan tempat mereka mencari makan dan bersarang.
- Pengambilan Telur Illegal: Telur Maleo yang berukuran besar dan dianggap memiliki nilai gizi tinggi masih sering dicuri oleh manusia untuk dikonsumsi atau dijual, meski jelas-jelas ilegal.
- Predator Introduksi: Anjing, kucing, dan babi liar yang dibawa manusia menjadi predator baru yang efektif memakan telur dan anak Maleo.
- Gangguan di Lokasi Peneluran: Aktivitas manusia di sekitar kawasan peneluran dapat mengganggu konsentrasi Maleo yang sensitif saat akan bertelur.
Upaya konservasi yang gencar dilakukan oleh pemerintah, LSM seperti Alliance for Tompotika Conservation (ALTO) dan Yayasan Konservasi Ekosistem Sulawesi (Sulawesi Ecosystem Conservation Society), serta masyarakat lokal.
Upaya ini termasuk membangun penangkaran semi-alami, memagari dan mengamankan lokasi peneluran (habitat burung maleo), serta melakukan program edukasi untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya melestarikan sang maestro geothermal ini.
Masa depan Maleo bergantung pada komitmen bersama untuk menjaga keunikan alam Sulawesi, memastikan habitatnya tetap terjaga dan lestari.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News