Tuberkulosis (TBC) mungkin sudah bukan lagi sebuah headline. Bagi sebagian orang, batuk berkepanjangan itu dianggap sepele. Cukup ditekan dengan obat warung atau jamu, lalu biarkan begitu saja.
Namun bagi yang lainnya, batuk tak kunjung reda adalah tanda tubuh mereka sedang digerogoti oleh penyakit yang tak pernah benar-benar pergi.
Data Dinas Kesehatan DKI Jakarta menunjukkan sepanjang Januari hingga Mei 2025 sudah ada 21.667 kasus TBC yang tercatat di ibu kota. Angka ini setara dengan puluhan orang terdiagnosis setiap hari, namun sayangnya publik lagi-lagi hampir tidak menaruh perhatian pada hal tersebut.
Sikap meremehkan TBC berakar pada persepsi keliru. Banyak orang menganggapnya penyakit kuno yang bisa sembuh dengan mudah, padahal kenyataan jauh lebih rumit. TBC menular melalui udara, memerlukan pengobatan jangka panjang minimal enam bulan, dan jika tidak ditangani dengan disiplin bisa berkembang menjadi penyakit yang mematikan.
Namun dalam keseharian, kesadaran ini jarang muncul. Masyarakat lebih akrab dengan persoalan polusi udara, demam berdarah, atau penyakit yang lebih “viral” di media sosial ketimbang ancaman TBC yang terus mengintai di lingkungan padat penduduk.
Kesenjangan pengetahuan masyarakat tentang TBC tentunya menjadi masalah serius. Banyak yang tidak tahu cara penularan, misalnya melalui droplet udara saat batuk dan bersin atau bahwa masa pengobatan membutuhkan minimal 6 bulan atau lebih.
Sementara lainnya, tidak sedikit pasien yang enggan memeriksakan diri karena takut dikucilkan, seolah TBC adalah aib sosial. Akibatnya, diagnosis sering terlambat, penularan semakin luas, dan korban baru terus bertambah setiap hari.
Seharusnya Jakarta belajar dari pandemi COVID-19. Saat itu, pemakaian masker, menutup mulut ketika batuk, dan menjaga sirkulasi udara jadi kebiasaan sehari-hari. Tapi begitu pandemi mereda, kebiasaan itu ikut hilang. Protokol yang seharusnya bisa sekaligus membantu menekan penularan TBC justru dilupakan.
Pemprov DKI Jakarta melalui Dinas Kesehatan menyatakan bahwa penanggulangan TBC di Jakarta dilakukan melalui pendekatan preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif. Konsep pentingnya “gerak cepat” dalam menemukan kasus, memulai pengobatan segera, dan memastikan pengobatan sampai tuntas ditegaskan sebagai prioritas utama.
Salah satu langkah konkret yang digalakkan adalah pembentukan Kampung Siaga TB di tingkat RW. Saat ini, terdapat 274 RW di Jakarta yang sudah ditetapkan sebagai wilayah “siaga TBC.”
Program ini bertujuan menjadikan komunitas lokal sebagai garda depan dalam pendidikan kesehatan, skrining aktif, pelibatan kader masyarakat, hingga pendampingan pasien. Di kampung siaga, Dinas Kesehatan menerjunkan Pasukan Putih yang ditugaskan untuk melakukan surveilans dari rumah ke rumah, memastikan pasien menuntaskan pengobatan selama 6 bulan, hingga melacak kontak erat.
Meskipun upaya ini menunjukkan komitmen Pemerintah, tantangan besar masih belum sepenuhnya teratasi. Tidak semua RW punya kapasitas dan sumber daya untuk menjalankan program secara konsisten.
Ada wilayah yang dipilih sebagai “kampung siaga” karena kesiapan, bukan karena kasusnya tinggi. Tanpa pemerataan dukungan, kampung siaga bisa terjebak menjadi sekadar label seremonial. Target ambisius menambah jumlah kampung siaga ke angka 500 dalam waktu dekat pun akan percuma jika pengawasan di lapangan tidak detail dan konsisten.
Di tengah upaya Dinas Kesehatan DKI Jakarta memperluas akses masyarakat terhadap layanan Cek Kesehatan Gratis (CKG), mungkin seharusnya TBC sudah termasuk ke dalam layanan tersebut, sebab penyakit ini masih menjadi masalah kesehatan serius dengan tingkat penularan tinggi dan beban sosial-ekonomi yang besar.
Memasukkan TBC ke dalam program skrining gratis akan memperkuat deteksi dini, mempercepat penanganan, mengurangi risiko penyebaran, sekaligus mendukung target eliminasi TBC nasional 2030, sehingga CKG tidak hanya berhenti pada layanan dasar, tetapi benar-benar menjadi langkah strategis yang adil, preventif, dan berdampak luas bagi kesehatan masyarakat Jakarta.
Penanganan TBC tentunya butuh kombinasi ketegasan pemerintah, dan perubahan perilaku dari masyarakat. Pemerintah sudah mengambil langkah awal dengan kampung siaga dan pasukan putih, tapi keberhasilan program itu akan sangat tergantung pada partisipasi warga, keberlanjutan dukungan, serta konsistensi kebijakan di lapangan.
Untuk mencegah penyebaran TBC, masyarakat dapat berperan aktif dengan menjaga kebersihan diri melalui etika batuk yang benar, memastikan rumah memiliki ventilasi dan pencahayaan matahari yang cukup, serta mendukung deteksi dini dengan segera memeriksakan diri bila batuk lebih dari dua minggu.
Pasien yang terdiagnosis TBC perlu menjalani pengobatan secara tuntas dan konsisten, sementara keluarga serta lingkungan sekitar hendaknya memberi dukungan tanpa stigma agar penyembuhan berjalan optimal.
Selain itu, gaya hidup sehat dengan pola makan bergizi, olahraga, istirahat cukup, serta menjauhi rokok dan alkohol penting untuk memperkuat daya tahan tubuh. Upaya pencegahan juga dapat dilakukan sejak dini dengan imunisasi BCG (Bacillus Calmette–Guérin) pada bayi/anak-anak, sehingga perlindungan terhadap TBC bisa lebih menyeluruh.
Jakarta tak bisa menunggu sampai TBC menjadi krisis besar baru disadari. Angka puluhan ribu kasus dalam lima bulan pertama 2025 seharusnya sangat cukup untuk menjadi alarm. Batuk yang tak kunjung sembuh bukan hanya urusan individu, tapi potensi ancaman bagi satu komunitas.
Jika masyarakat terus menganggap enteng, TBC akan tetap punya ruang untuk bertahan, membunuh perlahan, dan melanggengkan statusnya sebagai pembunuh senyap di ibu kota.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News