skyscraper dan jakarta simbol modernitas atau ancaman ekologis - News | Good News From Indonesia 2025

Skyscraper dan Jakarta, Simbol Modernitas atau Ancaman Ekologis?

Skyscraper dan Jakarta, Simbol Modernitas atau Ancaman Ekologis?
images info

Skyscraper dan Jakarta, Simbol Modernitas atau Ancaman Ekologis?


Jakarta selalu punya cara untuk tampil memesona. Salah satu daya tarik yang sedang naik daun beberapa tahun terakhir adalah “skyscraper experience”. Menikmati panorama kota dari ketinggian, entah di rooftop bar, lounge hotel mewah, atau sekadar sudut tersembunyi di gedung perkantoran. Dari atas, Jakarta terlihat lebih tertata, lebih berkilau, seolah-olah semua masalahnya bisa dikecilkan hanya dengan sudut pandang.

Tren nongkrong di ketinggian memang bukan hal baru. Di kota-kota besar dunia seperti New York, Bangkok, atau Hong Kong, rooftop bar sudah menjadi magnet wisata. Anak muda, eksekutif, hingga turis asing berlomba-lomba mencari “the best skyline view” untuk sekadar menikmati coffee, mendengarkan musik, atau memotret siluet kota yang bertabur gemerlap cahaya. 

Beberapa spot bahkan sudah menjadi ikon gaya hidup masyarakat urban. SKYE Bar & Restaurant di BCA Tower, misalnya, terkenal dengan panorama Bundaran HI yang menjadi simbol pusat kota. Henshin di The Westin, Kuningan, menyajikan bukan hanya makanan fine dining, tapi juga pengalaman makan di lantai 67 dengan pemandangan 360 derajat kota Jakarta.

Kemudian, Cloud Lounge di The Plaza jadi tempat favorit bagi mereka yang ingin menikmati senja sambil menunggu lampu-lampu gedung menyala. Sementara K22 Bar di Fairmont Senayan menawarkan suasana yang lebih santai, cocok untuk mereka yang ingin “escape” dari rutinitas kantor tanpa perlu meninggalkan Jakarta.

Dari ketinggian, keindahan kota tak pernah benar-benar utuh. Siang hari yang semestinya cerah sering berubah menjadi muram, langit biru sering kali tertutup kabut kelabu. Kabut polusi yang diam-diam menjadi wajah harian kota Jakarta. Saat malam tiba, polusi memang tak lagi terlihat, tetapi keberadaannya tetap membayang. Gelap hanya menjadikannya samar, seolah kota sengaja menyembunyikan luka yang tak ingin diakui.

Hal ini menunjukkan perkembangan Jakarta yang pesat namun masih belum benar-benar selaras dengan prinsip keberlanjutan lingkungan. Padahal, seharusnya area rooftop berpotensi besar untuk dimanfaatkan sebagai vertical garden atau pocket garden, sehingga dapat membantu mengejar target ruang terbuka hijau yang masih jauh dari angka ideal seluas 30% sesuai amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Dengan pemanfaatan seperti ini, rooftop dapat menjadi sumber oksigen, penurun suhu, sekaligus penanda bahwa modernitas Jakarta mampu berpadu dengan komitmen ekologis.

Pengalaman melihat Jakarta dari ketinggian ternyata bukan hanya soal estetika, tetapi juga refleksi. Ia mengingatkan bahwa kota ini dibangun dengan logika vertikal; semakin tinggi, semakin mahal, semakin eksklusif.

Skyscraper menjadi simbol kemajuan sekaligus pemisah kelas. Mereka yang bisa menikmati segelas minuman di lantai 50 berbeda dengan mereka yang sehari-hari harus berhadapan langsung dengan polusi di jalan Jakarta. Ironi ini semakin terlihat ketika kita menyadari bahwa “city view” yang kita kagumi juga merupakan bagian dari panorama krisis lingkungan.

Barangkali, justru di situlah daya tarik Jakarta. Kota yang piawai memikat sekaligus menyembunyikan. Ia bisa membuat orang jatuh cinta pada gemerlapnya, meski kilaunya itu tak lebih dari upaya “kosmetik” untuk menutupi kabut polusi.

Jakarta seakan memberi ilusi kemewahan bagi yang memandang dari ketinggian, sementara di dasar yang sama, jutaan jiwa masih berjuang menjalani hidup dengan segala keterbatasannya.

Mungkin demikianlah Jakarta. Kota yang terus membangun ke atas, mengejar ketinggian, berharap “skyline”-nya bisa menjadi identitas; tetapi belum berhasil menyulap langitnya menjadi kanvas bersih yang layak ditatap tanpa rasa bersalah.

Di satu sisi, rooftop view mampu memberikan sekilas pelarian dari polusi. Di sisi lain, ia menjadi klaim bahwa “ternyata” kita bisa hidup estetis meski lingkungan kita sering kali tidak selaras dengan estetika itu sendiri.

Semoga kelak, skyline yang kita pandangi tak hanya berisi siluet gedung, cahaya kota, dan senja yang memesona, tetapi langit biru dengan udara bersih yang bisa kita hirup tanpa harus tinggal dalam harapan.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

BL
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.