dualisme hingga trialisme parkiran jakarta masalah lama yang tak kunjung usai - News | Good News From Indonesia 2025

Dualisme hingga Trialisme Parkiran Jakarta, Masalah Lama yang Tak Kunjung Usai

Dualisme hingga Trialisme Parkiran Jakarta, Masalah Lama yang Tak Kunjung Usai
images info

Dualisme hingga Trialisme Parkiran Jakarta, Masalah Lama yang Tak Kunjung Usai


“Parkir di sini saja, Mas.” Kalimat itu terdengar begitu biasa di telinga warga Jakarta. Seorang pria dengan peluit dan rompinya, mengarahkan kendaraan ke sisi jalan. Tarifnya tidak pernah jelas, struk resmi tidak ada, tapi uang berpindah tangan dengan lancar.

Fenomena ini seakan sudah menjadi bagian dari ibu kota, di mana parkir liar selalu berdampingan dengan parkir resmi, bahkan bersaing dengan pengelola swasta yang sah. Inilah yang disebut dengan banyak pihak sebagai dualisme, bahkan trialisme parkiran di Jakarta, sebuah ironi yang berlangsung terus-menerus meski berbagai kebijakan sudah dicanangkan.

Parkir sebenarnya adalah lahan bisnis yang sangat menggiurkan. Perputaran uangnya besar, bahkan mencapai ratusan miliar rupiah per tahun. DPRD DKI Jakarta mencatat bahwa potensi kerugian daerah akibat parkir ilegal bisa mencapai Rp700 miliar per tahun, angka yang mencengangkan sekaligus memperlihatkan betapa memang “basahnya” sektor ini. 

Dari satu sisi, ada pemerintah yang menetapkan aturan dan menarik retribusi; sementara lainnya ada operator swasta resmi yang mengelola lahan parkir di mal, gedung perkantoran, atau rumah sakit; dan ada pula juru parkir liar yang menguasai bahu jalan atau lahan kosong tanpa izin. Tiga aktor dengan kepentingan berbeda ini membuat sistem parkir di Jakarta seperti rumah besar yang dihuni banyak tuan, tanpa satu pengatur yang benar-benar berhak.

Pemprov DKI Jakarta melalui Dinas Perhubungan dan Badan Pendapatan Daerah, seharusnya menjadi aktor utama di dunia parkir Jakarta. Mereka tentunya memiliki peran dalam menetapkan izin, mengawasi pengelolaan, serta memastikan Pendapatan Asli Daerah masuk sesuai aturan yang berlaku. 

Beberapa upaya penertiban sudah dilakukan. Pemerintah sempat melakukan sidak di sejumlah titik, dari apartemen hingga ruko, dan menemukan operator parkir ilegal yang akhirnya disegel. Namun, tindakan semacam itu masih bersifat sementara. Ketika satu titik ditutup, titik lain bisa muncul kembali.

Celah ini dimanfaatkan oleh oknum yang mengubah parkir liar menjadi sumber pendapatan pribadi atau kelompok, terkadang bahkan dengan perlindungan tak resmi dari pihak tertentu. Ironisnya regulasi sering hanya berhenti di atas kertas, tidak cukup untuk menekan praktik di lapangan.

Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta Nomor 5 Tahun 2012 tentang Perparkiran mengatur seluruh aspek penyelenggaraan parkir di wilayah Jakarta. Mulai dari fasilitas parkir, petugas parkir, satuan ruang parkir, sarana dan prasarana parkir, hingga mekanisme tarif, ganti kerugian, pembiayaan, dan pengawasan operasional. 

Peraturan ini menetapkan bahwa tarif parkir adalah imbalan atas jasa layanan parkir, sebagai bagian dari alat pengendalian lalu lintas. Selain itu, ketentuan-satuan ruang parkir (SRP) diatur untuk berbagai jenis kendaraan dan lokasi, untuk menjamin ketersediaan ruang parkir yang memadai dan efisien. 

Pengelola parkir harus menyediakan sarana pelengkap dan menerapkan standar teknis, sedangkan petugas parkir wajib memiliki identitas dan melakukan tugasnya sesuai prosedur. Dalam hal ini Pemprov DKI Jakarta memiliki kewenangan menetapkan tarif parkir di tiap tingkat wilayah administrasi dan menetapkan sanksi bila terjadi pelanggaran. 

Pihak swasta yang mengelola parkir resmi pun berada dalam posisi yang serba sulit. Mereka membayar izin, menyediakan fasilitas, dan tunduk pada sebuah aturan. Namun, di seberang gedung atau bahkan di depan lahan yang mereka kelola, juru parkir liar bisa dengan bebas menarik bayaran. 

Persaingan ini jelas timpang. Operator resmi menanggung beban administrasi dan kewajiban finansial, sedangkan parkir liar hanya memanfaatkan kebutuhan masyarakat yang ingin parkir dekat, cepat, dengan harga terjangkau. 

Pengguna kendaraan pun, sering kali tidak memiliki pilihan, sehingga hanya mengikuti alur yang ada. Jika lahan resmi penuh atau jauh, parkir liar menjadi opsi praktis. Inilah salah satu alasan mengapa fenomena ini begitu sulit diberantas.

Demand yang tinggi menciptakan supply yang fleksibel

Masalahnya, parkir liar bukan lagi sekadar kehilangan pajak bagi pemerintah daerah. Ia juga menimbulkan beberapa kerugian sosial, seperti jalanan yang seharusnya untuk lalu lintas kendaraan berubah jadi kantong parkir. Trotoar yang semestinya milik pejalan kaki dirampas oleh sepeda motor. Lalu lintas macet, ruang publik yang terdistorsi, dan ketertiban kota pun kian terganggu. 

Parkir liar sering dipandang sebagai “lapangan kerja” bagi mereka yang tidak punya akses ekonomi formal. Ada paradoks yang sulit diputus; saat negara ingin menertibkan, di sisi lain penertiban itu berarti menyingkirkan mata pencaharian sebagian warganya.

Beberapa solusi sudah dilakukan. Digitalisasi parkir seakan menjadi jargon andalan. Pemprov DKI Jakarta bahkan mendorong penerapan Parkir Elektronik di sejumlah titik, agar transaksi lebih mudah dan transparan. Namun, tentu pada implementasinya masih terbatas dan belum menyentuh keseluruhan wilayah di Jakarta.

Banyak operator belum terhubung dengan sistem real-time dari program Bapenda. Alhasil, angka resmi yang dilaporkan bisa berbeda jauh dengan kenyataan di lapangan. Penegakan hukum pun sering berhenti pada penyegelan, belum menyentuh akar persoalan atau melibatkan aparat penegak hukum untuk menindak pungli dan manipulasi omzet.

Dualisme dan trialisme parkiran menjadi simbol tarik-menarik banyak kepentingan. Selama keuntungan besar bisa diperoleh dengan cara instan, sementara pengawasan masih longgar, parkir liar akan tetap tumbuh seiring berjalannya waktu. Masalah parkir liar ini tentunya tidak bisa diselesaikan hanya dengan razia sesaat atau digitalisasi yang parsial. Yang dibutuhkan adalah ketegasan pemerintah untuk menciptakan sistem yang adil, transparan, dan konsisten ditegakkan.

Parkir liar di Jakarta menjadi cermin betapa mudahnya aturan dilanggar ketika semua orang memilih jalan yang paling praktis. Selama kita membiarkan kebiasaan ini berjalan, Jakarta akan terus kehilangan ruangnya.

Sudah saatnya kita mulai peduli. Lakukan hal sederhana seperti menggunakan parkir resmi, dukung ketertiban, dan jangan ragu menolak praktik liar. Perubahan ini mungkin terlihat kecil, tapi tanpa langkah sederhana kolektif kita sebagai warga, Jakarta tak akan pernah benar-benar tertata.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

BL
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.