Bagi siapa pun yang pernah berdiri di alun-alun Ponorogo ketika Grebeg Suro berlangsung, suasananya sulit dilupakan. Udara terasa berat, slompret melengking tajam, dan jantung setiap orang seakan dipaksa berdetak lebih cepat. Seperti sebuah komando perang, begitu Reyog hadir, perhatian hanya tertuju padanya.
Bagi masyarakat Ponorogo, Reyog bukan sekadar pertunjukan seni. Ia adalah identitas budaya, sebuah arsip sejarah hidup yang tak perlu dibuka melalui buku, melainkan ditafsirkan lewat gerak, kostum, dan simbol. Dari jejak animisme kuno, politik Majapahit, dakwah Islam, hingga kolonialisme dan pengakuan dunia, Reyog mencatat perjalanan panjang Nusantara.
Esai ini merupakan upaya membaca arsip tersebut dari sudut pandang orang dalam—mereka yang mencintai Reyog, namun juga menyadari bahwa auman Singa Barong kadang membuat kesenian lain di Ponorogo kehilangan panggung. Sebab, di kota ini, Reyog hampir menyerupai agama.
Babak 1: Harimau sebagai Penguasa Alam Gaib
Sebelum ada peta atau sertifikat tanah, wilayah Ponorogo (dulu dikenal sebagai Wengker) adalah hutan belantara. Masyarakat hidup dengan aturan tak tertulis yang 'mungkin' dicetuskan oleh penguasa hutan: Sang Harimau.
Harimau di Nusantara bukan hanya hewan; ia adalah simbol spiritual. Di Sunda kita mengenal mitos Prabu Siliwangi, di Sumatera ada Inyiak atau Datuk. Bahkan hingga kini, kisah manusia harimau masih menjadi bagian dari budaya populer. Figur Singa Barong dalam Reyog sejatinya adalah warisan dari mitologi ini—lebih menyerupai harimau ketimbang singa Afrika.
Babak 2: Kritik Terselubung terhadap Majapahit
Memasuki abad ke-15, Majapahit sedang melemah. Bhre Kertabhumi, rajanya, dianggap sibuk dengan urusan istana dan permaisuri dari Tiongkok, hingga melupakan rakyat. Dari sinilah muncul tokoh Ki Ageng Kutu—seorang abdi dalem idealis yang memilih meninggalkan istana, mendirikan padepokan, dan melawan melalui seni.
Reyog ciptaannya adalah bentuk kritik politik. Singa Barong menggambarkan raja yang gagah namun tak berdaya, Dadak Merak melambangkan permaisuri yang mendominasi, Jathilan menggambarkan pasukan Majapahit yang kehilangan daya, sementara Warok adalah simbol kekuatan rakyat yang menanggung beban.
Kritik ini menyebar luas, membuat Reyog populer sekaligus berbahaya. Tak heran jika akhirnya kerajaan membubarkan padepokan Ki Ageng Kutu dan menumpas gerakannya.
Babak 3: Rebranding Islami oleh Batoro Katong
Kekalahan Ki Ageng Kutu tidak mematikan Reyog. Justru, setelah Wengker ditaklukkan oleh Batoro Katong—putra Brawijaya V yang memeluk Islam—Reyog diolah ulang agar lebih sejalan dengan misi dakwah.
Alih-alih melarang, Batoro Katong mengadopsi Reyog sebagai media. Kritik politik dihapus, cerita diganti dengan kisah cinta Prabu Klono Sewandono dan Putri Songgolangit. Simbol-simbol pun diberi tafsir baru—misalnya manik-manik pada paruh merak dihubungkan dengan tasbih. Bahkan nama “Reyog” ditafsirkan dari bahasa Arab riyokun, yang bermakna husnul khatimah.
Untuk memperkuat legitimasi, Batoro Katong menikahi putri Ki Ageng Kutu dan membangun masjid pertama di Ponorogo. Dengan cara ini, Reyog tetap lestari sekaligus menjadi jembatan antara Islam dan tradisi Jawa.
Babak 4: Represi pada Masa Kolonial
Di masa penjajahan Belanda maupun Jepang, Reyog kembali mendapat tekanan. Pertunjukan yang mengumpulkan massa dianggap berpotensi menggerakkan pemberontakan. Izin dipersulit, ekonomi sulit, dan seniman lebih banyak bertahan hidup.
Akibatnya, sisi spiritual Reyog semakin menonjol. Pertunjukan terbatas, tetapi praktik kanuragan, ritual, dan doa semakin kuat di kalangan pelaku seni. Banyak pemimpin grup Reyog berperan ganda sebagai tokoh spiritual masyarakat.
Babak 5: Kebangkitan dan Dilema Pasca-Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka, Reyog kembali berkembang pesat. Hampir setiap desa memiliki grupnya sendiri. Namun, masuknya politik membuat Reyog sering dipakai sebagai alat kampanye. Pemerintah daerah kemudian melembagakannya melalui Festival Reyog Nasional (kini Festival Nasional Reyog Ponorogo).
Fenomena ini melahirkan dua wajah Reyog: Reyog Obyog yang spontan, meriah, dan bebas, serta Reyog Festival yang terkoreografi dengan aturan ketat. Dari satu sisi, langkah ini mengangkat Reyog ke panggung nasional. Namun, semangat kritik yang menjadi asal-usulnya cenderung hilang, digantikan peran sebagai ikon pariwisata.
Babak 6: Polemik Serumpun dan Pengakuan UNESCO
Tahun 2007, publik Indonesia digemparkan oleh Malaysia yang menampilkan kesenian serupa Reyog dalam iklan pariwisatanya. Reaksi nasional begitu keras hingga memicu demonstrasi dan perdebatan panjang.
Namun, krisis ini membawa berkah: kesadaran kolektif bahwa warisan budaya harus dijaga secara serius. Perjuangan panjang untuk mendaftarkan Reyog ke UNESCO dimulai. Dan pada 3 Desember 2024, di Paraguay, Reyog Ponorogo resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia.
Meski demikian, statusnya masih dalam kategori In Need of Urgent Safeguarding—tanda bahwa tantangan regenerasi dan pelestarian tetap besar.
Penutup: Menjaga Auman agar Tidak Membuat Tuli
Perjalanan Reyog adalah cerminan sejarah Nusantara: dari ritual gaib, alat kritik, media dakwah, simbol perlawanan, ikon pariwisata, hingga representasi bangsa di dunia internasional.
Pengakuan UNESCO adalah kebanggaan, tetapi pekerjaan rumah utama ada di Ponorogo sendiri: memastikan bahwa kejayaan Reyog tidak menutup ruang bagi kesenian lain. Singa Barong sudah bergema ke dunia, kini tugas kita adalah menjaga agar suaranya tetap lantang, tanpa menenggelamkan keberagaman budaya lainnya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News