Sejak kecil ketika saya masih sekolah di SR (Sekolah Rakyat, sekarang SD) tahun 1960-an, saya banyak membaca kisah-kisah heroik sebelum bangsa ini merebut kemerdekaan. Salah satu kisah itu adalah kisah Bandung Lautan Api, yang merupakan peristiwa pengosongan dan pembakaran kota Bandung oleh penduduknya pada 24 Maret 1946 untuk mencegah pasukan Sekutu dan Belanda menggunakan kota itu sebagai markas militer strategis. Peristiwa ini merupakan wujud perlawanan heroik rakyat Indonesia terhadap penjajahan, yang secara terencana membakar dan meninggalkan kota, menjadikannya seperti lautan api, sebagai bentuk operasi bumi hangus untuk mempertahankan kemerdekaan.
Kota Bandung tentu tidak saja terkenal dengan kisah-kisah perjuangan itu, namun juga terkenal dengan kekhasan kotanya sendiri yang nyaman sejak zaman penjajahan Belanda. Tidak heran bila orang-orang Belanda menyebutnya sebagai Parijs van Java atau Paris-nya Jawa yang indah. Saya kalau menggunakan istilah yang sering dipakai perguruan tinggi dalam membuat tahapan-tahapan pencapaian, yaitu milestone, maka milestone saya melihat Kota Bandung dimulai sejak saya mahasiswa tahun 1970-an, ketika Kota Bandung masih tidak macet seperti sekarang ini. Ketika alun-alun Bandung masih terlihat luas karena hanya terlihat rerumputan dan masjid (belum ada gedung-gedung di sekitarnya), ketika wilayah Dago atas masih asri banyak pepohonan (bukan seperti sekarang di mana pepohonan yang rindang itu berganti dengan bangunan-bangunan beton, hotel, dan restoran).
Tentu setelah itu saya sering ke Bandung dan melihat perkembangan yang pesat, dari mulai bermunculan factory outlet dan restoran sampai munculnya kemacetan di mana-mana, terutama ketika akhir pekan di mana ribuan warga ibu kota Jakarta yang melarikan diri dari sumpeknya ibu kota ingin beristirahat di Bandung (yang pada akhirnya juga menjumpai kemacetan yang sama).
Lalu, milestone saya berikutnya ketika pada tanggal 10-12 September 2025 lalu, saya dan kolega saya mewakili Universitas Airlangga Surabaya ke Kota Bandung untuk menghadiri Pertemuan Nasional Forum Komite Audit Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH). Rektor Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Prof. Dr. Didi Sukyadi, M.A., dalam sambutannya mengucapkan "Selamat datang di Bandung – Kota Kuliner". Pak Rektor UPI betul, Kota Bandung saya lihat dipenuhi dengan berbagai macam kuliner dari harga yang murah sampai yang mahal. Dalam hati saya mengatakan kalau dulu Bandung dikenal dengan Kota Lautan Api, sekarang dikenal sebagai Bandung Lautan Kuliner.
Kebiasaan saya kalau mengunjungi kota-kota besar dunia seperti London, Paris, Brussel, Tokyo, Sydney, Munich, Amsterdam, Kairo, dsb., selalu berjalan kaki menyusuri setiap sudut kota, dari jalan utama sampai ke gang-gang kecil di kota-kota tersebut untuk merasakan dinamika atau vibe-nya masing-masing kota. Demikian pula ketika di Bandung kemarin itu saya menyusuri sebagian sudut kota di waktu malam. Saya menyaksikan energi kehidupan malam Bandung itu sama dengan kehidupan di kawasan Champs-Élysées di Paris, misalnya. Di Jalan Braga saya saksikan para pemuda Gen-Z yang lalu-lalang, duduk-duduk di sudut jalan. Di antara mereka ada yang berpakaian pocong atau kuntilanak, ada yang sedang in action di depan kamera temannya (mungkin sedang membuat content untuk Instagram atau TikTok). Mereka ada juga yang hang out di kedai kopi dan restoran yang tertata rapi, penuh dengan gemerlap lampu. Saya ingat lifestyle anak-anak muda Bandung itu seperti yang saya saksikan ketika saya menyusuri kawasan Ginza, Shibuya, dan Shinjuku di Tokyo di mana anak-anak muda berpakaian khas yang warna-warni.
Di kawasan kota selain Jalan Braga, kita juga menyaksikan restoran-restoran yang gemerlapan lampunya terkesan klasik dan romantis, dengan papan nama/billboard yang warna-warni dan banyak ditulis dalam bahasa Inggris. Jadinya rasanya seperti kita menyusuri jalan-jalan di kota-kota dunia tadi. Bagi saya yang mengesankan adalah masih terpeliharanya gedung-gedung peninggalan Belanda dengan arsitektur khas gaya Eropa di Kota Bandung ini. Saya melihat Gedung Sate yang dibangun tahun 1920 dari depan sampai belakang di mana banyak ruangan yang dipenuhi dengan kaca dan lampu-lampu penerangan yang terang benderang. Beberapa restoran juga berada di gedung-gedung peninggalan Belanda yang masih tertata rapi, daun pintu dan jendelanya dari kayu jati, dan lantai masih dari tegel kuno dengan motif-motif yang mengesankan.
Ya, sekarang Bandung menjadi Kota Lautan Kuliner yang banyak didatangi wisatawan dari kota-kota lain di Indonesia, bahkan dari luar negeri.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News