Di jantung pulau Kalimantan, tersembunyi harta karun alam yang tidak hanya membentuk lanskap fisik, tetapi juga sejarah dan identitas budaya masyarakat setempat.
Harta karun itu adalah pohon Adau, sejenis kayu besi yang legendaris, yang secara botanis lebih dikenal sebagai Eusideroxylon zwageri.
Kayu inilah yang menjadi asal-usul penamaan Kabupaten Sekadau di Kalimantan Barat, sebuah warisan alam yang ceritanya dituturkan turun-temurun.
Mengenal Sang Raksasa Hutan, Pohon Adau
Kayu Adau, atau yang lebih luas dikenal dengan nama Kayu Belian atau Kayu Besi (Ironwood), adalah spesies pohon tropis yang termasuk dalam famili Lauraceae.
Nama ilmiahnya, Eusideroxylon zwageri, memberikan petunjuk tentang sifatnya. "Eusideroxylon" berasal dari bahasa Yunani yang berarti "kayu besi yang sejati", sementara "zwageri" diambil dari nama seorang kolektor tanaman.
Klasifikasi ilmiahnya adalah sebagai berikut: Kingdom Plantae, Divisi Tracheophyta, Kelas Magnoliopsida, Ordo Laurales, Famili Lauraceae, Genus Eusideroxylon, dan Spesies E. zwageri.
Pohon ini adalah salah satu penghuni tertua hutan hujan Kalimantan, tumbuh sangat lambat tetapi dapat mencapai ketinggian lebih dari 50 meter dengan diameter batang yang mampu melebihi 120 cm.
Proses pertumbuhannya yang sangat lambat inilah yang berkontribusi pada pembentukan kayu yang sangat padat dan keras.
Sebuah studi dalam Jurnal Ilmu Kehutanan menyebutkan bahwa kayu Belian memiliki berat jenis yang sangat tinggi, seringkali melebihi 1,0, yang berarti ia akan tenggelam jika dimasukkan ke dalam air. Sifat inilah yang mendasari namanya sebagai "kayu besi".
Ciri Fisik Pohon Adau
Ciri paling mencolok dari Kayu Adau adalah warna dan kepadatannya. Kayu terasnya memiliki warna khas yang sangat indah, mulai dari coklat muda, coklat kekuningan, hingga coklat tua kehitaman seiring bertambahnya usia.
Warna ini semakin menggelap dan semakin bernilai seiring waktu. Tekstur kayunya halus dan merata, dengan arah serat yang lurus atau sedikit berpadu.
Keunggulan Kayu Adau terletak pada ketahanannya yang luar biasa. Kayu ini terkenal sangat tahan terhadap serangan rayap, jamur pembusuk, dan mikroorganisme lainnya.
Ini menjadikannya bahan konstruksi yang ideal untuk daerah tropis lembap seperti Kalimantan. Bahkan, kayu ini juga memiliki ketahanan yang sangat tinggi terhadap api jika dibandingkan dengan kayu komersial lainnya.
Sifat fisik-mekaniknya, seperti kekuatan lentur dan tekan, juga sangat tinggi, menyamai atau bahkan melampaui beberapa jenis kayu jati terbaik.
Daya tahannya yang legendaris dibuktikan dengan rumah-rumah tradisional Dayak yang telah berusia puluhan bahkan ratusan tahun, yang tiang dan balok utamanya masih kokoh berdiri.
Asal-Usul Nama "Sekadau", Sebuah Cerita dari Batang Adau
Kisah tentang bagaimana Kayu Adau melahirkan nama "Sekadau" bukanlah sekadar legenda, tetapi telah menjadi narasi resmi yang dipegang oleh pemerintah daerah.
Bupati Sekadau, Aron, S.H. saat ditemui GNFI dalam media trip Wahana Visi Indonesia, Rabu (24/9/2025), mengatakan, “Nama ‘Sekadau’ menurut cerita orang tua dahulu, diambil dari sejenis pohon kayu yang banyak tumbuh di muara sungai, yang sekarang disebut Sungai Sekadau”.
Oleh penduduk Sekadau, pohon kayu ini dikenal dengan sebutan ‘Batang Adau’. Pohon adau itu sendiri merupakan sejenis kayu belian (kayu besi) yang memang banyak tumbuh di hutan Sekadau kala itu.
Penuturan Bupati Aron ini mengukuhkan hubungan intrinsik antara identitas wilayah dengan sumber daya alamnya. Pada masa lalu, muara Sungai Sekadau dipenuhi oleh pohon-pohon Adau yang besar dan perkasa.
Keberadaan pohon ini begitu dominan dalam keseharian masyarakat, sehingga menjadi penanda geografis yang paling mudah dikenali. Dari situlah, nama "Sekadau"—yang diduga kuat merupakan pelafalan dari "Se-Adau" atau "di tempat tumbuhnya pohon Adau"—muncul dan melekat hingga sekarang.
Cerita ini menjadi pengingat betapa pentingnya peran hutan dan kekayaan hayatinya dalam membentuk peradaban dan sejarah lokal.
Manfaat Kayu Adau dalam Kehidupan Masyarakat Kalimantan
Bagi masyarakat Kalimantan, khususnya suku Dayak, Kayu Adau bukan sekadar bahan bangunan, melainkan tulang punggung dari arsitektur tradisional dan kehidupan budaya.
Penggunaannya yang paling utama adalah untuk konstruksi rumah, baik rumah tinggal biasa maupun Rumah Betang (rumah panjang) yang menjadi simbol kebersamaan komunitas.
Karena ketahanannya yang ekstrem, Kayu Adau dipilih untuk komponen-komponen struktur yang krusial dan rentan terhadap kelembaban, seperti tiang pancang (soko guru), balok, lantai, dan dinding.
Selain untuk bangunan, kayu ini juga dimanfaatkan untuk membuat tiang-tiang jembatan, bantalan rel kereta api pada masa colonial, dan peralatan berat seperti alu untuk menumbuk padi.
Dalam budaya material, Kayu Adau diukir menjadi patung-patung (patung) yang memiliki nilai religi, serta berbagai peralatan rumah tangga yang awet. Kekuatannya yang mampu menahan perubahan cuaca ekstrem membuatnya menjadi pilihan utama untuk pembuatan perahu dan kapal tradisional.
Ancaman dan Upaya Pelestarian Pohon Adau
Di balik ketangguhannya, populasi Kayu Adau di alam liar justru sangat rentan. International Union for Conservation of Nature (IUCN) telah memasukkan Eusideroxylon zwageri ke dalam status "Rentan" (Vulnerable).
Eksploitasi berlebihan selama puluhan tahun, disertai dengan laju pertumbuhannya yang sangat lambat dan tingkat regenerasi alami yang rendah, telah mengancam kelestariannya. Deforestasi dan alih fungsi hutan semakin mempersempit habitat alaminya.
Menyadari hal ini, berbagai upaya konservasi telah dilakukan. Pemerintah Indonesia telah melarang penebangan Kayu Belian secara komersial dari hutan alam dan memasukkan dalam daftar species yang dilindungi.
Upaya silvikultur dan penanaman kembali (reboisasi) dengan bibit Belian terus digalakkan, meskipun tantangannya besar. Masyarakat adat juga mulai kembali mengembangkan wanatani (agroforestry) dengan menanam pohon Adau di lahan-lahan mereka sebagai investasi jangka panjang untuk generasi mendatang.
Secara keseluruhan, Kayu Adau adalah lebih dari sekadar pohon. Ia adalah penanda sejarah, simbol ketangguhan, dan warisan budaya tak benda yang hidup.
Dari "Batang Adau" yang perkasa di muara sungai, lahir sebuah nama "Sekadau" yang terus dikenang, mengajarkan kita tentang harmoni antara manusia dan alam, serta pentingnya menjaga warisan tersebut agar tidak punah ditelan zaman.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News