Asap tipis naik dari tungku kayu di sebuah dapur di pedalaman Minangkabau. Kuali besar berdiri kokoh di atas api kecil. Santan pelan berubah warna. Bumbu halus dan batang rempah bekerja perlahan. Seorang ibu mengaduk tanpa henti. Tangannya mantap. Pandangannya fokus. Ia menjaga sesuatu yang bernilai. Bukan sekadar makanan. Ini bagian dari warisan keluarga dan kampung.
Banyak orang di luar sana mengenal rendang sebagai daging sapi pedas berwarna gelap. Mereka ingat daftar makanan terenak. Mereka melihat foto yang sama berulang kali. Rasa kagum itu wajar. Namun bagi orang Minangkabau, rendang punya makna yang lebih dasar. Rendang adalah proses. Orang Minang menyebutnya marandang. Memasak pelan dengan api kecil. Mengaduk santan dan bumbu sampai habis air. Sampai rasa meresap sempurna. Sampai makanan kering dan awet.
Dengan kunci ini, pintu pengertian terbuka lebar. Rendang tidak terikat pada satu bahan. Di kampung, rendang bisa berbahan daging. Bisa juga ikan atau kerang. Bisa sayur paku. Bahkan beras. Semua kembali pada proses marandang. Semua kembali pada kesabaran, ketekunan, dan kerja bersama.

Perempuan Minangkabau memetik pakis di kaki perbukitan, bahan utama Rendang Paku yang tumbuh subur di alam. Dari hasil bumi inilah lahir hidangan yang menjadi warisan budaya. Foto oleh Rekam Indonesia/GNFI
Orang Minang punya petatah-petitih: Alam takambang jadi guru. Alam yang terbentang menjadi guru yang setia. Dari sungai, dari hutan, dari sawah, mereka belajar menyesuaikan diri. Mereka melihat apa yang tersedia. Lalu mereka mengolahnya tanpa menyia-nyiakan. Rendang lahir dari cara pandang seperti ini.
Dalam tulisan ini Anda bertemu dua wajah rendang yang jarang disebut. Rendang Paku dari Dharmasraya. Bareh Randang dari Payakumbuh. Yang pertama lahir di tepian sungai; sederhana, praktis, tahan lama, kini berkembang sebagai penopang ekonomi rumah tangga. Yang kedua lahir di dataran tinggi; manis, penuh makna seremonial, menjaga harmoni dalam ruang adat. Keduanya menegaskan satu hal. Rendang bukan resep tunggal. Rendang adalah narasi hidup.
Cerita dari Sungai
Rendang Paku yang Tahan Berbulan-Bulan
Bayangkan sebuah pagi tua di Dharmasraya. Kabut tipis masih menggantung di atas air. Sungai Batang Hari mengalir tenang. Anak-anak berlari di pematang. Orang-orang membawa keranjang anyaman. Mereka pulang dari sungai dengan ikan. Mereka membawa lokan. Sebagian lagi pulang dari tepi yang lembap dengan pakis muda. Semua tampak biasa. Namun dari kebiasaan inilah tercipta hidangan yang luar biasa.

Memasukkan daun paku sebagai bahan utama ke dalam campuran santan, bumbu rendang, dan ikan yang telah diolah menjadi satu. Proses awal dalam pembuatan Rendang Paku. Foto oleh Rekam Indonesia/GNFI
Rendang Paku lahir dari kebijaksanaan menghadapi jarak dan waktu. Dahulu, perjalanan jauh sering terjadi. Orang berangkat merantau. Orang berangkat haji. Perjalanan bisa sangat lama. Bekal perlu bertahan. Di sinilah marandang mengambil peran. Pakis yang lembut bertemu santan. Ikan atau kerang menyumbang rasa gurih. Cabai, kunyit, bawang, lengkuas, serai melengkapi. Api kecil menjaga perlahan. Adukannya tidak boleh berhenti. Rasa menyatu. Air menghilang. Tekstur berubah.

Rendang Paku yang sudah matang diangkat dari kuali besar, dipindahkan ke nampan untuk didinginkan sebelum siap dikemas. Foto oleh Rekam Indonesia/GNFI
Prosesnya seolah sederhana. Padahal membutuhkan perhatian penuh. Pakis yang mula-mula segar akan menyusut. Seratnya menguat. Bumbu meresap sampai ke dalam. Santan yang putih menjadi keemasan. Lalu pekat. Tidak ada sisaan kuah. Inilah kunci ketahanan. Inilah cara masyarakat mengawetkan makanan sebelum hadir lemari pendingin. Teknologi tradisional yang lahir dari kesabaran.
Rendang Paku tidak hanya mengisi perut. Ia ikut membangun kebersamaan. Makan bajamba, minum basamo (makan bersama, minum bersama). Orang duduk bersila. Piring ditata rapat. Lauk dibagi rata. Yang muda mendahulukan yang tua. Yang kuat menjaga yang lemah. Makanan bukan sekadar isi piring. Makanan adalah cara menjaga ikatan.
Dapur Kolektif, Gotong Royong di Atas Api
Di nagari-nagari Minangkabau, marandang sering dilakukan secara kolektif. Saat pesta adat, baralek, atau menyambut tamu besar, dapur kampung berubah menjadi pusat gotong royong. Para ibu duduk melingkar di depan tungku. Ada yang mengupas bawang dan menumbuk cabai dalam lesung batu. Ada yang menyiangi pakis muda. Ada pula yang menjaga kuali besar, mengaduk dengan kayu panjang yang disebut galanggang.
Suara kayu aduk bergesekan dengan dasar kuali, berpadu dengan tawa kecil dan obrolan ringan. Anak-anak berlarian di halaman, kadang mendekat untuk mencium aroma santan yang makin pekat. Api kayu bakar menyala, asap mengepul, sebagian masuk ke mata membuat orang terbatuk lalu tertawa. Suasana hangat ini menunjukkan bahwa marandang bukan hanya soal rasa akhir, tapi soal kebersamaan yang terjalin.
Bagi masyarakat, dapur kolektif adalah sekolah sosial. Di sana, anak-anak belajar menghormati orang tua, belajar sabar menunggu giliran, belajar nilai gotong royong tanpa perlu buku pelajaran. Rendang Paku yang lahir dari kuali besar itu akhirnya tidak hanya disantap, tapi juga menjadi simbol ikatan yang kuat antarwarga.

Perempuan Minangkabau memetik pakis bersama di kebun. Proses marandang dimulai sejak dari alam; dari menyiangi bahan hingga memasaknya di dapur kolektif, semua dilakukan dengan semangat gotong royong. Foto oleh Rekam Indonesia/GNF
Kini peta ekonomi ikut berubah. Rendang Paku tidak lagi sekadar bekal perjalanan. Banyak rumah tangga di Dharmasraya memproduksinya secara rutin. Dapur kayu tetap berperan. Namun kemasan menjadi lebih bersih dan rapi. Produk masuk ke pasar. Toko oleh-oleh ikut menyediakan. Wisatawan membawa pulang sebagai buah tangan. Identitas kampung ikut terangkat. Nama daerah terdengar lebih jauh.
Tantangan tetap ada. Bahan baku bergantung pada alam. Ketika kemarau panjang, pakis tidak mudah ditemukan. Pelaku usaha mencari pasokan dari daerah tetangga. Harga lebih tinggi. Biaya produksi naik. Bahan pelengkap seperti cabai sering berfluktuasi liar. Para produsen kecil berhadapan dengan pilihan yang tidak mudah. Menaikkan harga berisiko kehilangan pembeli. Menahan harga berisiko menipiskan keuntungan. Di sinilah kegigihan diuji.
Walau begitu, arah angin tidak selalu suram. Pengakuan budaya memberi tenaga. Pada tahun 2021, Rendang Paku diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia. Status ini membuatnya tidak hanya jadi dagangan. Ia naik kelas sebagai identitas. Pelestarian menjadi lebih kuat. Cerita yang menyertai produk menjadi lebih kaya. Orang tidak hanya membeli rasa. Mereka ikut membawa pulang kisah.
Manisnya Adat
Bareh Randang dari Dataran Tinggi
Perjalanan berpindah ke daratan yang lebih tinggi. Udara lebih sejuk. Kabut turun lebih lama. Sawah berundak terhampar. Di Payakumbuh dan wilayah darek lain, rendang punya rupa yang berbeda. Bukan pedas gurih. Bukan lauk yang menemani nasi panas. Ia hadir sebagai kudapan. Namanya Bareh Randang.
Bareh Randang sederhana dari sisi bahan. Ketan menjadi dasar. Gula memberi rasa manis. Santan memberi aroma gurih. Namun prosesnya tetap setia pada marandang. Ketan disangrai sampai kering. Gula dimasak hingga pekat. Santan dipanaskan hati-hati. Lalu semuanya dipertemukan. Diaduk sampai menyatu. Dipadatkan. Didinginkan. Dipotong rapi. Teksturnya terasa. Permukaannya sedikit kasar karena sangrai ketan. Rasa manis masuk pelan. Gurih santan mengikuti.

Aktivitas menyangrai/menyiai beras ketan untuk dijadikan bahan dasar pembuatan bareh rendang/beras rendang | Foto oleh Rekam Indonesia/GNFI
Di kampung, Bareh Randang bukan kudapan sembarangan. Ia muncul di momen yang dihormati. Anda akan menemukannya saat manjapuik marapulai. Keluarga perempuan menjemput mempelai laki-laki. Suasana hangat dan khidmat. Tamu terhormat menerima Bareh Randang. Ia juga hadir dalam pertemuan ninik mamak. Para pemuka adat berkumpul. Mereka bermusyawarah. Mereka menjaga marwah kaum. Bareh Randang menemani pembicaraan penting. Mengisi jeda. Memperhalus suasana.

Seorang perempuan Minangkabau meniup bara tungku saat proses marandang, menjaga api tetap kecil agar Bareh Randang matang perlahan dan sempurna. Foto oleh Rekam Indonesia/GNFI
Mengapa manis. Karena ia membawa pesan. Orang Minang sering mengingatkan. Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah. Adat berdiri di atas nilai yang dijunjung. Makanan menjadi bagian dari bahasa nilai. Rasa manis bukan sekadar rasa. Ia mewakili harapan. Rumah tangga yang baru hendak dibangun. Harapannya rukun. Musyawarah yang sedang berlangsung. Harapannya terang dan damai. Pertemuan keluarga besar. Harapannya akrab dan saling menguatkan.

eorang ibu dan putrinya menyiapkan adonan Bareh Randang, mencampur beras sangrai dengan larutan gula dan santan di dapur keluarga. Foto oleh Rekam Indonesia/GNFI.
Waktu bergerak. Bareh Randang menyesuaikan diri. Ia hadir di meja saat Lebaran. Ia berdampingan dengan kue kering. Anak-anak mengambil potongan kecil. Orang tua mengingatkan untuk berbagi. Perantau pulang kampung. Bareh Randang masuk ke tas sebagai oleh-oleh. Rasa manisnya seakan membawa pulang suara riuh halaman. Doa di ruang tamu. Tawa di dapur. Ia menjadi pengikat rasa dengan kampung halaman.

Membentuk Bareh Randang di sebuah piring setelah proses pencampuran tepung beras ketan dengan gula yang sudah dicairkan. Foto oleh Rekam Indonesia/GNFI
Namun akar seremonialnya tidak hilang. Orang tetap melihatnya sebagai tanda hormat. Tuan rumah yang menyuguhkan Bareh Randang sedang berbicara tanpa kata. Ia berkata selamat datang. Ia berkata terima kasih. Ia berkata mari berkumpul dalam suasana baik. Kudapan ini sederhana. Tetapi maknanya luas.
Dua Wajah Satu Filosofi
Sekarang kita melihat dua panggung yang berbeda. Tepian sungai di Dharmasraya. Dataran tinggi di Payakumbuh. Keduanya melahirkan rendang dengan karakter yang berbeda. Rendang Paku pedas gurih. Teksturnya kering dan padat. Fungsinya praktis. Tahan lama. Bareh Randang manis dan legit. Teksturnya padat tetapi halus di lidah. Fungsinya seremonial. Mengikat orang dalam pertemuan yang dihormati.
Perbedaan bahan dan rasa tidak mengubah inti. Intinya tetap marandang. Proses yang pelan. Api kecil. Aduk yang tidak boleh berhenti. Perhatian pada detail. Ketekunan yang tidak mudah goyah. Inilah benang merah yang menjahit keduanya. Inilah yang membuat rendang menjadi lebih dari makanan.
Petatah-petitih lain ikut menegaskan. Sakali aia gadang, sakali tapian barubah (sekali air besar datang, tepian pun berubah). Hidup menuntut adaptasi. Tradisi tidak beku. Ia bergerak. Ia menemukan bentuk baru. Tetapi dasar nilainya tetap sama. Di ranah kuliner, adaptasi itu terlihat jelas. Sungai memberi pakis dan lokan. Dataran tinggi memberi ketan dan santan. Keduanya diterima. Keduanya diolah dengan cara yang serupa. Hasilnya berbeda. Maknanya tetap bersesuaian.
Ada pula pepatah: Nan sabana bana indak dapek ditukia dek kato, indak dapek diganti dek piti (kebenaran sejati tidak bisa diubah oleh kata, tidak bisa diganti dengan uang). Nilai dalam marandang bukan hanya soal rasa akhir, tetapi proses kesabaran dan kebersamaan yang tak ternilai. Rendang, dalam bentuk apa pun, adalah bukti nyata pepatah ini.

Mencuci daun paku untuk Rendang Paku. Dari tepian sungai hingga dapur keluarga, setiap tahap proses marandang menuntut ketelitian dan kebersamaan. Foto oleh Rekam Indonesia/GNFI
Rendang Paku menampakkan wajah praktikalitas. Ia berbicara tentang kebutuhan. Tentang perjalanan jauh. Tentang ketahanan. Tentang usaha rumah tangga yang mencari nafkah. Tentang keberanian untuk berjualan di tengah pasar yang naik turun. Ia mengajarkan agar kita tidak mudah menyerah.
Bareh Randang menampakkan wajah simbolisme. Ia bicara tentang adat. Tentang tata krama. Tentang pertemuan yang memerlukan penghormatan. Tentang manis yang menjadi doa bersama. Ia mengajarkan agar kita merawat hubungan. Agar kita menjaga kata. Agar kita menempatkan diri dengan bijak.
Nilai yang menyatukan keduanya adalah kebersamaan. Proses marandang jarang dilakukan seorang diri. Ada yang menyiapkan bumbu. Ada yang menata kayu bakar. Ada yang mengaduk. Ada yang membersihkan wadah. Ada yang menyiapkan piring saji. Orang berbagi peran. Orang saling menguatkan. Dari sini lahir makanan yang kuat dan cerita yang hangat.
Rendang Sebagai Cerita yang Terus Hidup
Ada kalimat yang sering kita dengar di kampung. Tak lapuak dek hujan, tak lakang dek panas (tidak lapuk oleh hujan, tidak lekang oleh panas). Rendang layak menerima kalimat itu. Ia bertahan di dapur tradisional. Ia juga hadir di etalase modern. Ia bisa menjadi lauk keluarga. Ia bisa menjadi buah tangan. Ia bisa menjadi materi pelajaran budaya. Ia bisa menjadi tema festival kuliner. Ia menyeberangi batas tanpa kehilangan jati diri.
Rendang Paku dan Bareh Randang memberi contoh yang jelas. Keduanya lahir dari lanskap yang berbeda. Keduanya memilih bahan yang berbeda. Namun keduanya setia pada satu proses. Keduanya memelihara nilai yang mirip. Kesabaran. Ketekunan. Gotong royong. Rasa hormat pada alam dan sesama.

Bahan dasar Bareh Randang; beras ketan, kelapa, gula, dan garam. Dari kesederhanaan inilah lahir kudapan adat yang melintasi zaman, bukti bahwa rendang bukan sekadar hidangan tetapi cerita yang terus hidup. Foto oleh Rekam Indonesia/GNFI
Cerita tentang perjalanan haji ikut memberi lapisan sejarah. Di masa lalu perjalanan sangat jauh. Bekal harus tahan. Rendang Paku menjawab kebutuhan itu. Cerita tentang pertemuan ninik mamak memberi lapisan sosial. Musyawarah membutuhkan suasana yang halus. Bareh Randang membantu menjaganya. Satu hidangan melindungi raga dalam jarak panjang. Satu kudapan melindungi hubungan dalam ruang adat.
Kini kedua hidangan memasuki bab baru. Produk masuk ke toko oleh-oleh. Platform digital ikut membantu penjualan. Kemasan menjadi lebih rapi. Label memberi informasi. Konsumen di kota besar ikut mencicipi. Di sisi lain, dapur kampung tetap menyala. Proses pelan tetap dijaga. Orang kampung tetap berkumpul. Anak-anak tetap menonton. Mereka belajar dengan mata. Mereka menyerap dengan indera. Begitulah warisan berpindah tangan.
Pelestarian perlu langkah yang kukuh. Cerita perlu dituturkan berulang tetapi tidak membosankan. Di sekolah, anak-anak perlu mengenal tradisi memasak daerahnya sendiri. Di rumah tangga, orang tua perlu mengajak anak ikut mengaduk. Di ruang publik, pemerintah dan komunitas bisa mengadakan hari marandang. Orang berkumpul. Orang memasak bersama. Orang berbagi rasa. Semua bisa hadir. Semua bisa belajar. Semua bisa pulang dengan cerita.
Kita juga perlu menjaga bahasa yang menyertai makanan. Nama hidangan. Nama proses. Petatah-petitih yang mengikat makna. Bahasa membantu orang mengerti. Bahasa membantu orang bangga. Jika bahasa pudar, makna ikut memudar. Karena itu, sebutlah marandang dengan benar. Jelaskan perbedaannya dengan menumis atau merebus. Kenalkan anak pada santan yang sabar. Pada aroma rempah yang pelan masuk. Pada tekstur kering yang menjadi ciri.
Rendang membawa pelajaran untuk zaman yang serba cepat. Tidak semua hal harus selesai segera. Ada hal-hal yang memerlukan waktu. Ada hal-hal yang memerlukan kehadiran. Ada hal-hal yang memerlukan kerja bersama. Marandang menempatkan kita di dapur untuk beberapa jam. Tangan bekerja. Hati tenang. Pikiran fokus. Hasilnya bisa dinikmati lebih lama. Nilainya lebih dalam.
Ketika dunia menyebut rendang sebagai makanan terenak, kita ikut bersyukur. Namun kita juga mengingatkan diri. Rendang punya banyak wajah. Jangan membatasi diri pada satu gambar. Lihatlah sungai yang memberi pakis. Lihatlah dataran tinggi yang memberi ketan. Lihatlah dapur yang memberi kesabaran. Lihatlah ruang adat yang memberi makna. Semua itu adalah rendang.
Pada akhirnya kita kembali pada petatah tadi. Kok indak dipacik, nan ka hilang. Kok indak dijago, nan ka habih (jika tidak dipegang ia hilang, jika tidak dijaga ia habis). Rendang Paku dan Bareh Randang perlu dijaga. Jagalah prosesnya. Jagalah kisahnya. Jagalah orang yang membuatnya. Dengan begitu, rendang akan terus hidup. Di lidah. Di ingatan. Di meja makan. Di hati.

Ibu dan putrinya memperlihatkan Bareh Randang yang baru selesai dibuat. Kudapan manis ini bukan hanya suguhan adat, tetapi juga simbol warisan yang berpindah antargenerasi, menjaga tradisi tetap hidup. Foto oleh Rekam Indonesia/GNFI
Jika Anda suatu hari datang ke Dharmasraya, sempatkan mampir ke dapur yang masih memakai tungku kayu. Dengarkan suara kuali. Rasakan hawa hangat di kulit. Cium aroma santan yang berubah dari lembut menjadi pekat. Coba secuil Rendang Paku yang kering dan padat. Pahami betapa banyak waktu yang ditaruh di sana.
Jika Anda singgah ke Payakumbuh, cari rumah yang sedang bersiap untuk pesta keluarga. Anda mungkin melihat orang-orang menyangrai ketan. Gula dipanaskan sampai pekat. Santan disiapkan dengan teliti. Bareh Randang dipotong setelah dingin. Satu potong kecil cukup untuk menjelaskan mengapa rasa manis kadang lebih kuat dari seribu kata.
Dua hidangan. Dua lanskap. Satu filosofi. Itulah rendang. Itulah Minangkabau. Itulah cerita yang kita bawa ke masa depan. Agar anak-anak tidak hanya mengenal gambar daging sapi berwarna gelap. Agar mereka juga mengenal pakis dari tepian sungai. Agar mereka juga mengenal ketan yang disangrai di dataran tinggi. Agar mereka tahu bahwa rendang adalah proses. Adalah kesabaran. Adalah cara kita menjaga satu sama lain, merawat warisan, dan menyambung ikatan antar generasi.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News