Dahulu
Sebuah lorong di Jalan Rappocini Raya, Kelurahan Rappocini, Kecamatan Rappocini, Kota Makassar, dahulu lekat dengan stigma kelam sebagai “Kawasan Texas”. Julukan itu telah menjadi realitas sosial selama satu dekade sebagai pertanda betapa getirnya hidup di lorong tersebut.
Lorong sempit yang menyimpan cerita unik tentang perubahan ini pernah berstatus rawan tramtibum (ketentraman dan ketertiban umum). Tak ubahnya seperti medan konflik yang membuat warganya seolah menyatu dengan berbagai macam kriminalitas dan penyakit sosial. Ditambah citra kawasannya sebagai permukiman kumuh.
Kurang lebih satu dekade lalu, tepatnya 2016 wilayah itu mulai berbenah dengan lingkungan yang berbeda dan penuh geliat ekonomi, sosial, dan budaya . Transformasi ini sebagai efek dari hadirnya program Kampung Berseri Astra (KBA) Burasa (akronim dari : “Budaya Rappocini Sehat dan Aman”), setelah ditetapkan sebagai salah satu penerima Apresiasi SATU Indonesia Awards pada tahun itu.
Sepanjang masa itu, hingga kira-kira medio 2024, lorong ini menjelma menjadi ruang hidup yang lebih bersih, aman, dan penuh warna dari suatu komunitas anak lorong. Apa yang terjadi kemudian, program ini telah menyisakan suatu prestise sosial tentang bagaimana sebuah komunitas dalam dinamika perkotaan mampu bangkit, berbenah, dan berestorasi menjadi simbol perubahan. Walau pada akhirnya roda harus berputar di tengah proses mempertahankan eksistensinya dalam berbagai rintangan dan tantangan yang tak kenal ruang dan waktu.
Kini
Jejak nilai ke-gotongroyong-an masih terlihat hingga kini (2025). Ketika saya mencoba menyusuri lorong permukiman di dalamnya, papan-papan program masih terpampang rapi di sebuah sudut lorong. Mural penuh warna masih menghiasi dinding labirin di bagian depan permukiman.
Hanya saja sebagian jalan permukiman yang terbuat dari paving blok sudah mulai bergelombang. Dan sepertinya penampakan ini mulai mengikis semangat warga untuk beperilaku bersih di sepanjang jalan itu. Terbukti, di beberapa sisi lorong, sampah-sampah plastik mulai berserakan tanpa ada yang membersihkannya.
Yang paling memprihatinkan, fasilitas Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang pernah jadi andalan anak-anak lokal belajar sambil bermain kini sudah mati suri, bahkan mati selamanya. Kondisi ini menguatkan hasil investigasi Tambing, kontributor suarasulsel.id, 2024.
Saya memang tidak sempat lagi melihat bagaimana usaha minyak jelantah yang pernah dibanggakan itu beroperasi. Menurut informasi warga, usaha tersebut sudah berhenti berproduksi. Ya, sejak akhir tahun lalu. Kegiatan ini senasib dengan bank sampah sebagai wujud kesadaran lingkungan yang juga tidak seaktif dulu. Bahkan sejak 2020 sudah tutup (suarasulsel.id). Sangat disayangkan.
Namun begitu, di balik kemandekan tersebut, beberapa aktivitas lain seperti sanggar seni tempat anak-anak menyalurkan bakat mereka sepertinya masih mengeluarkan kicau dan candaan remaja sebagaimana layaknya sebuah wadah seni. Pemandangan ini mirip dengan Pos Kesehatan Kelurahan (Poskeskel) yang masih aktif meski mulai memangkas jadwal layanannya. Sebagian balita terpaksa beralih ke lorong lainnya untuk memantau berat badan mereka. Kemunduran ini berefek ke kegiatan literasi, dan pelatihan keterampilan. Kedua program ini mengalami penurunan aktivitas akibat keterbatasan dana maupun pendampingan.
Harapan yang Tersisa
Dari sejumlah dekadensi itu, satu hal yang pasti bahwa sisa-sisa keindahan dan dinamika sosial ekonomi masih berbekas di sepanjang lorong perubahan Rappocini. Cara pandang, pola hidup, dan semangat komunitas sedikit banyaknya masih tertanam di benak-benak warga, walaupun sudah kurang disuarakan.
Sewaktu program-program pendampingan masih segar dijalankan, transformasi tidak semata tampak secara fisik. Perubahan tersebut mengakar dalam kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi warga.
Melalui Bank Sampah “Agang ta”, (arti Indonesia : “Kawan Kita”) misalnya, masyarakat belajar memilah sampah rumah tangga, bukan hanya demi kebersihan lingkungan, tetapi juga untuk memperoleh manfaat ekonomi.
Sampah yang dulu sekadar dianggap kotoran tak berguna, bisa menghasilkan sesuatu bagi kesejahteraan keluarga. Hal serupa juga berlaku pada program Bank Minyak Jelantah, yang mengajarkan warga untuk mengelola minyak bekas agar tidak lagi mencemari lingkungan. Mereka menukarkannya dengan minyak baru, dan dari sana tumbuh kesadaran bahwa menjaga bumi dapat berjalan seiring dengan membantu perekonomian rumah tangga.
Perempuan-perempuan aktif menemukan panggung baru dalam aktivitas ekonomi kreatif. Mereka berkarya lewat kerajinan rotan atau mengisi waktunya dengan kegiatan di sanggar seni bersama anak-anak.
Harapan warga terhadap keberlanjutan program sebetulnya masih begitu kuat. Mereka ingin agar PAUD, sanggar seni, bank sampah, bahkan kegiatan UMKM yang sempat mati suri bisa kembali hidup. Ada kerinduan akan pendampingan dari pihak luar, baik Astra maupun pemerintah kota dan mitra lain. Bukan sekadar dalam bentuk bantuan dana, tetapi juga bimbingan, pelatihan, dan pemberdayaan yang berkelanjutan.
Lebih jauh lagi, masyarakat berharap agar program ini tidak lagi bergantung sepenuhnya pada Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan, melainkan terintegrasi ke dalam kebijakan pemerintah kota. Dengan begitu, keberlanjutan lorong mereka akan lebih kokoh dan tidak terhenti hanya karena perubahan arah kebijakan dan ketatnya persaingan antar komunitas.
Yang menarik, warga sendiri tidak menunggu pasif. Banyak di antara mereka sudah memikirkan ide-ide lokal yang bisa menjadi energi baru. Ada gagasan untuk menghadirkan Urban Farming di lorong sempit. Urban Farming adalah program kebaharuan dari Lorong Wisata sebagai terobosan pemerintah kota yang mutakhir di bawah kepemimpinan Wali Kota Makassar yang baru, Munafri Arifuddin.
Masyarakat juga ingin menghidupkan kembali program seni dan budaya agar anak-anak tetap memiliki ruang berekspresi di tengah derasnya arus kompetisi dan hiburan modern berbasis media sosial. Semua itu menandakan bahwa potensi tidak pernah habis, hanya perlu dipantik kembali.
Kisah Lorong Rappocini adalah sebuah cermin bagaimana perubahan sejati tidak hanya datang dari luar, tetapi menemukan maknanya ketika warga sendiri merasa memiliki. Dulu mereka pasif, menerima keadaan dengan rasa was-was. Kini, mereka sudah beranjak menjadi aktor utama, meski masih membutuhkan pendampingan.
Seperti air yang sempat surut namun menyisakan bekas alirannya, semangat warga telah terlanjur mengakar di lorong itu. Yang dibutuhkan hanyalah aliran baru agar ia kembali menggenang, memberi kehidupan, dan memantulkan warna-warni harapan.
Mungkin benar bahwa lorong Rappocini tidak lagi segemerlap ketika program Astra pertama kali datang. Namun jejak kejayaan itu tetap menjadi modal sosial yang sangat berharga.
Kisah ini membuktikan bahwa membangkitkan kembali sebuah lorong tidak selalu berarti membangun dari nol. Kadang, cukup dengan menyulut api semangat yang pernah menyala, maka bara kecil bisa tumbuh menjadi kobaran besar.
Dan ketika itu terjadi, program-program lorong Rappocini sekali lagi teraktivasi sebagai inspirasi—bukan hanya bagi warga Makassar, tetapi juga bagi setiap komunitas yang percaya bahwa perubahan selalu mungkin, selama ada kemauan, kebersamaan dan harapan. #kabarbaiksatuindonesia
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News