Di perguruan tinggi, mahasiswa sering lebih banyak dibekali keterampilan teknis (hardskills) dibanding keterampilan non-teknis (softskills). Padahal, berbagai penelitian menyebutkan keberhasilan seseorang justru lebih banyak ditentukan oleh softskills.
Penelitian yang dilakukan oleh Harvard University, Carnegie Foundation, dan Stanford Research Center di Amerika Serikat mengungkapkan bahwa softskills menyumbang 85% dalam menunjang keberhasilan karier, sedangkan hardskills hanya 15%. Hasil ini konsisten dengan kajian Depdiknas RI tahun 2009.
Bahkan, dalam buku Lessons From The Top karya Thomas J. Neff dan James M. Citrin yang dikutip oleh Helda et al., menegaskan bahwa faktor penentu utama kesuksesan seseorang adalah 90% softskills, sementara hardskills hanya memberikan pengaruh sebesar 10%.
Di era kemajuan global saat ini, softskills menjadi bekal penting untuk menghadapi tantangan dunia kerja yang semakin kompleks. Namun, pengembangan softskills bukanlah proses instan. Diperlukan evaluasi kesadaran diri, serta proses belajar yang berkelanjutan. Refleksi diri menjadi salah satu pendekatan efektif untuk mencapainya.
Refleksi diri dapat diibaratkan sebagai sebuah cawan yang menampung berbagai pengalaman, kesalahan, dan pembelajaran yang dialami mahasiswa selama masa pendidikan. Cawan ini menjadi wadah untuk mengolah pengalaman agar menghasilkan pemahaman baru dan langkah perbaikan ke depan.
Penelitian Oktaria et al. di Jurnal Pendidikan Kedokteran Indonesia, menunjukkan bahwa refleksi diri adalah keterampilan penting yang harus dilatih secara sistematis dan terstruktur selama proses pendidikan, bukan sekadar pengayaan, agar mahasiswa terbiasa mengevaluasi pengetahuan, keterampilan, dan sikapnya melalui proses berpikir kritis. Refleksi memiliki karakteristik yang berbeda dari bentuk berpikir lainnya karena melibatkan interaksi yang penuh kesadaran, penuh perhatian, kritis, eksploratif, dan berulang-ulang dengan pikiran dan tindakannya.
Menurut Ardelt dan Grunwald dalam artikel bertajuk The importance of self-reflection and awareness for human development in hard times, menjelaskan bahwa refleksi diri bukan hanya alat untuk memahami diri sendiri, tetapi juga sarana untuk meningkatkan profesionalisme, kemampuan belajar sepanjang hayat, dan meningkatkan kualitas interaksi dengan orang lain.
Model refleksi yang sering digunakan adalah siklus Gibbs, meliputi langkah deskripsi, emosi, evaluasi, analisis, penarikan kesimpulan, dan penyusunan rencana aksi. Model ini memandu mahasiswa agar lebih mendalam dalam mengevaluasi pengalaman dan menyusun strategi perbaikan.
Dalam pembelajaran di perkuliahan, refleksi dapat dilatih mulai dari evaluasi diri saat mengerjakan tugas individu, memahami sistem kerjasama tim dalam penyelesaian tugas kelompok, hingga belajar berproses dalam suatu organisasi. Kegiatan tersebut dianggap sebuah pengalaman yang terus menerus akan mengisi cawan refleksi selama menjadi mahasiswa.
Refleksi diri dilakukan sebelum, selama, dan sesudah pengalaman. Meski begitu, melakukan refleksi setelah pengalaman berlangsung dinilai lebih bermanfaat dalam memadukan pembelajaran, karena kondisi emosional yang stabil mendukung analisis dan evaluasi diri secara objektif.
Sebagian mahasiswa sering merasa gagal dalam mengisi cawan refleksi karena merasakan pengalaman negatif yang membuat diri terjebak dalam perasaan kecewa, marah, atau malu terhadap kritik yang diterima.
Emosi yang belum terkelola ini membuat mahasiswa sangat sulit melihat sisi positif yang sebenarnya bermanfaat untuk pengembangan diri. Hal inilah yang membuat kebiasaan menghindari evaluasi diri dan menolak kritik menjadi penghalang dan penghambat proses refleksi diri setiap mahasiswa.
Dengan demikian, cawan refleksi diri dapat diartikan sebagai wadah untuk mengolah pengalaman belajar mahasiswa sehingga menghasilkan pemahaman baru dan langkah perbaikan ke depan. Melalui refleksi yang terstruktur, mahasiswa tidak hanya mengembangkan kesadaran diri, tetapi juga mengasah softskills yang sangat dibutuhkan untuk keberhasilan akademik dan profesional di masa depan.
Mahasiswa dapat mengidentifikasi kelemahan, memperbaiki pola pikir, dan mengasah keterampilan komunikasi, manajemen waktu, kerja tim, serta pemecahan masalah yang seharusnya diperoleh dari budaya belajar di kampus. Pendekatan refleksi diri bukan sekadar evaluasi pengalaman, tetapi juga langkah strategis menuju pengembangan diri yang komprehensif dan berkesinambungan dalam menghadapi tantangan dunia kerja.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News