penyebab job hugging ketakutan phk ai dan tawaran kerja yang tak menarik - News | Good News From Indonesia 2025

Penyebab Job Hugging: Ketakutan PHK, AI, dan Tawaran Kerja yang Tak Menarik

Penyebab Job Hugging: Ketakutan PHK, AI, dan Tawaran Kerja yang Tak Menarik
images info

Penyebab Job Hugging: Ketakutan PHK, AI, dan Tawaran Kerja yang Tak Menarik


"Ini muncul karena beberapa hal, karena ketidakpastian dan perlambatan ekonomi,” kata Tadjuddin Noer Effendi, pengamat ketenagakerjaan sekaligus Guru Besar Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM).

Angka pengunduran diri dari sebuah pekerjaan pada tahun ini disebut menurun drastis dibandingkan tahun 2021. Jika dilihat dari fenomena di Amerika Serikat, pada 2021, sebanyak 4,5 juta orang melayangkan surat pengunduran diri. Angka ini meningkat menjadi 50 juta pada tahun 2022.

Akan tetapi, tahun 2023, jumlah pekerja yang resign hanya 3,5 juta dan terus menurun hingga 2025.

Para pekerja tengah disebut sedang melakukan job hugging alias memilih tetap bertahan di pekerjaan sekarang. Bukan karena nyaman, tumbuh, berkembang, atau terinspirasi; job hugging justu terjadi saat pekerja takut akan ketidakpastian nasib di luar pekerjaannya saat ini. Mereka memutuskan tetap menjalankan pekerjaannya walaupun tanpa ada semangat dan ide-ide segar.

baca juga

Faktor Penyebab Banyak Terjadi Job Hugging

Ada banyak faktor terjadinya job hugging. Sebagaimana yang diungkapkan Tadjuddin, ekonomi menjadi faktor utama mengapa para pekerja masih memeluk posisinya saat ini.

“Di Indonesia, perlambatan ekonomi karena daya beli merosot, banyak industri yang melakukan PHK (pemutusan hubungan kerja). Karena itu banyak orang bertahan pada pekerjaan yang lama, meskipun gajinya mungkin stagnan karena sulit mencari pengganti," katanya, dikutip dari Detik.

Fenomena job hugging lebih banyak disebabkan oleh faktor eksternal. Beberapa faktor penyebab job hugging di antaranya:

baca juga

Ketidakpastian Pasar Tenaga Kerja

Ketidakpastian pasar tenaga kerja menjadi faktor utama yang mendorong fenomena job hugging. Inflasi hingga ancaman resesi membuat para pekerja lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan karier.

Resesi membuat tawaran atau lowongan pekerjaan tidak lagi sebanyak dulu. Bahkan, jumlah pencari kerja semakin banyak. Yang artinya, saingan dengan para pencari kerja lebih banyak pula, sehingga risiko kehilangan pekerjaan lebih tinggi. Oleh karena itu, alih-alih mencari peluang baru, banyak karyawan memilih bertahan pada posisi saat ini.

"Banyak yang berdiam diri saat ini. Mengingat banyaknya PHK pasca-COVID dan ketidakpastian, orang-orang menunggu dan duduk di tempat duduk, berharap stabilitas," jelas Stacy DeCesaro, konsultan manajemen di Korn Ferry, kepada The Week.

3 Pekerjaan dari Humaniora yang Bergaji Tinggi di Dunia

Kecemasan akan Tergantikan oleh AI

Kehadiran Artificial Intelligence (AI) membuat 77% pekerja di Amerika Serikat merasa khawatir. Para job hugger memutuskan untuk tetap bertahan di pekerjaannya karena mereka cemas AI akan menggantikan mereka.

Artinya, lebih dari tiga per empat job huggers tidak yakin bahwa jika mereka meninggalkan pekerjaan sekarang, bakal mudah mendapatkan pekerjaan baru karena pengaruh AI.

“77% khawatir bahwa kecerdasan buatan akan membuat perolehan pekerjaan baru menjadi lebih sulit di masa depan,” kata aseonline.org.

Kecemasan akan dampak otomatisasi AI ini lebih banyak dirasakan oleh pekerjaan yang cenderung repetitif, seperti administrasi, input data, customer service, hingga kasir. Sementara itu, kerja-kerja di bidang sosial dan kreatif, dinilai tidak akan tergeser oleh keberadaan AI.

baca juga

Pindah Kerja Tidak Menjamin Dapat Tawaran Lebih Baik

Dulu, pindah kerja menjadi strategi untuk naik gaji atau mendapat fasilitas lebih baik. Akan tetapi, saat ini tawaran di tempat baru kerapkali tidak sebesar dulu. Gaji yang akan diterima hampir sama dengan di perusahaan lama.

Akibatnya, banyak pekerja berpikir dua kali untuk pindah. Risiko pindah kerja tidak lagi sebanding dengan fasilitas yang didapat. Oleh karena itu, bertahan dinilai jadi keputusan yang lebih baik untuk nasib yang lebih aman.

Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Learn Work Ecosystem Library, “Data terkini dari Bank of America Institute menunjukkan bahwa kenaikan gaji bagi mereka yang sering berganti pekerjaan tidak lebih tinggi dibandingkan mereka yang tetap bekerja di perusahaan tempatnya bekerja, sehingga menghilangkan salah satu insentif utama untuk berpindah perusahaan.”

baca juga

Stigma Kutu Luncat yang Melekat

Selain alasan ekonomi, budaya juga ikut membentuk perilaku job hugging. Dalam kepercayaan masyarakat, bertahan lama di satu tempat kerja dianggap tanda loyalitas, kesetiaan, stabilitas, dan tanggung jawab.

Sementara itu, orang yang berpindah kerja dianggap sebagai kutu loncat. Perekrut atau atasan akan melihatnya sebagai pekerja yang kurang setia, sulit berkomitmen, atau tidak bisa diandalkan.

baca juga

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Aslamatur Rizqiyah lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Aslamatur Rizqiyah.

AR
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.