pendidikan seksual sebagai revolusi sosial lewat kakak aman indonesia - News | Good News From Indonesia 2025

Pendidikan Seksual sebagai Revolusi Sosial Lewat Kakak Aman Indonesia

Pendidikan Seksual sebagai Revolusi Sosial Lewat Kakak Aman Indonesia
images info

Indonesia diberkati banyak budaya, suku, dan bahasa. Ada lebih dari 700 bahasa di negera ini. Berbicara soal bahasa, Indonesia memiliki satu bahasa yang unik, yaitu bahasa diam. Iya, bahasa diam yang mana adalah bahasa yang sering diutarakan oleh korban pelecehan dan anak yang mengalami kekerasan. Bukan tidak mau bicara, tapi tahu setiap kata yang keluar bisa berujung ancaman, bahkan pukulan. Dalam diam hanya berteriak tapi tak seorang pun mendengar. Di Indonesia, bahasa diam seperti ini bukanlah hal asing. Bagi banyak korban kekerasan, terutama anak-anak, diam adalah satu-satunya cara bertahan hidup.

Lonjakan Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak yang Mengkhawatirkan

Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak hingga 3 Juli 2025, tercatat ada 14.039 menurut Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA). Hal ini mengalami lonjakan lebih dari 2.000 kasus hanya dalam 17 hari. Angka ini saja sudah mencengangkan, namun Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Arifah Fauzi, mengungkapkan bahwa kenyataannya jauh lebih gelap. Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2024 menemukan satu dari empat perempuan usia 15–64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik maupun seksual. Sementara itu, Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2024 menunjukkan satu dari dua anak di Indonesia pernah mengalami setidaknya satu bentuk kekerasan. Artinya, ada jutaan cerita tersembunyi di balik tembok rumah dan di bawah karpet budaya tabu yang enggan membicarakan seksualitas dan kekerasan.

Desa Sejahtera Astra Mahakam Ulu: Naiknya Pamor Kakao dan Wawasan Masyarakat

Kontras antara angka laporan resmi dan temuan survei ini menyingkap fakta pahit, yakni korban masih takut bersuara. Banyak yang tidak menyadari dirinya adalah korban, atau bahkan jika sadar, mereka tidak merasa aman untuk melapor. Diam menjadi tameng, namun juga penjara. Menteri PPPA sendiri mengakui, perlindungan dan layanan bagi korban belum maksimal. Di lapangan, ketakutan korban sering kali lebih kuat daripada keberanian hukum untuk melindungi mereka.

Kekerasan seksual terhadap anak bukan sekadar persoalan pelaku dan korban. Ini adalah cermin budaya yang membungkam pembicaraan tentang seksualitas, membuat pendidikan seksual dianggap tabu, dan menjadikan anak-anak tak berdaya memahami tubuh serta hak mereka sendiri. Jika kita ingin memutus lingkaran kekerasan, pendidikan seksual bukan sekadar pelajaran tambahan, namun ia merupakan sebuah revolusi sosial. Revolusi yang dimulai dari satu hal sederhana, yaitu keberanian untuk berbicara.

Ubah Tabu Jadi Tahu: Memutus Lingkaran Bisu Kekerasan Seksual Anak

Seksualitas sekarang ini masih dianggap urusan orang dewasa, sesuatu yang “tidak pantas dibicarakan” di hadapan anak-anak. Percakapan tentang tubuh, batasan, dan persetujuan sering kali hanya berputar pada mitos dan larangan, bukan edukasi. Akibatnya, anak-anak tumbuh dalam ketidaktahuan, di mana mereka tak memahami hak atas tubuh mereka sendiri. Sementara orang tua merasa canggung atau bahkan takut untuk memberikan pemahaman yang benar. Diam-diam, ruang kosong ini diisi oleh pelaku kekerasan yang memanfaatkan kebingungan dan ketidaktahuan anak.

Budaya tabu ini menciptakan efek domino yang merusak. Ketika anak menjadi korban kekerasan, mereka sering kali tidak tahu bahwa apa yang terjadi adalah salah, apalagi bagaimana cara meminta pertolongan. Sementara itu, masyarakat kerap merespons dengan victim-blaming atau menyalahkan korban atas nasib yang menimpanya. Alih-alih memberikan dukungan, komentar yang penuh stigma justru membuat korban semakin bungkam dan pelaku semakin leluasa. Dalam ekosistem seperti ini, kekerasan bukan hanya mungkin terjadi, tapi juga terus berulang.

Ketika seksualitas dianggap tabu, kita bukan hanya gagal mendidik anak, tapi juga memberi ruang bagi kekerasan untuk tumbuh. Kalimat tersebut menggambarkan kondisi yang dihadapi Indonesia hari ini, di mana sebuah lingkaran bisu yang hanya bisa diputus jika kita berani membuka pembicaraan, mulai dari rumah, sekolah, hingga kebijakan publik. Tanpa itu, bahasa diam akan terus menjadi bahasa yang paling sering dipahami korban kekerasan.

Jejak Perubahan Positif untuk Masa Depan Berkelanjutan Terukir di Kampung Berseri Astra Keputih

Kakak Aman Indonesia dan Pendidikan Seksual Demi Revolusi Sosial

Pendidikan seksual bukanlah mengajari anak untuk aktif secara seksual, melainkan membekali mereka dengan pemahaman tentang tubuh, batasan, dan rasa aman. Anak yang paham hak atas tubuhnya dapat mengenali tanda pelecehan, berani berkata “tidak” ketika merasa tidak nyaman, dan tahu kepada siapa ia harus bercerita. Bagi orang tua, pendidikan seksual menjadi alat komunikasi yang sehat, bukan sekadar topik yang dihindari. Mengubah cara pandang ini adalah langkah pertama dalam mematahkan rantai kekerasan yang selama ini tersembunyi di balik budaya tabu.

Inilah kesenjangan besar yang coba dijembatani oleh Kakak Aman Indonesia, sebuah gerakan yang lahir dari kegelisahan seorang ibu dan pegawai negeri, Hana Maulida. Pada 2023, Hana memulai langkah kecil bersama teman-temannya, hanya dengan materi sederhana dan promosi melalui status WhatsApp. Dari situ, Kakak Aman berkembang menjadi gerakan nasional yang kini telah mengedukasi lebih dari 4.000 anak, serta 250 guru dan orang tua, di 17 daerah Indonesia. Tujuan mereka sederhana namun mendasar, yaitu menciptakan lingkungan yang aman bagi anak untuk tumbuh dan berkembang, sekaligus meningkatkan kemampuan anak dalam melindungi diri mereka sendiri dari kekerasan seksual.

Perbedaanya yang dapat dilihat dari Kakak Aman ini adalah cara kreatif mereka memecah budaya tabu. Mereka menggunakan metode yang menyenangkan seperti dongeng, lagu, games edukatif, poster interaktif, hingga Body Safety Kit yang merupakan alat sederhana yang bisa dipakai siapa saja, di mana saja, untuk mengajarkan pendidikan seksual. Pendekatan ini membuat pembelajaran terasa ringan dan natural bagi anak, tanpa rasa takut atau canggung. Kakak Aman juga memberikan edukasi kepada guru dan orang tua, membekali mereka dengan keterampilan komunikasi yang sehat tentang topik yang selama ini dihindari. Dengan begitu, percakapan tentang tubuh dan seksualitas tidak lagi menjadi sesuatu yang menakutkan, melainkan bagian dari upaya perlindungan.

Dalam waktu singkat, Kakak Aman menunjukkan dampak nyata. Berbagai kolaborasi telah dijalin, mulai dari pemerintah daerah, perusahaan swasta, hingga komunitas lokal. Mereka juga meraih sejumlah penghargaan bergengsi, seperti Juara 1 Program Terinovatif Kabupaten Serang 2024, apresiasi dari Sekolah Kak Seto, dan Program Pendidikan Terbaik Astra SATU Indonesia Awards 2024. Prestasi ini bukan sekadar pengakuan, tapi bukti bahwa pendidikan seksual bisa diterima masyarakat jika disampaikan dengan tepat dan penuh empati.

Lebih dari sekadar memberikan pengetahuan, Kakak Aman mengusung gagasan revolusioner yang mematahkan budaya tabu melalui pendidikan seksual. Bagi Hana dan timnya, pendidikan seksual bukanlah tambahan kurikulum, melainkan gerakan sosial. Gerakan yang mendorong orang tua untuk berbicara tanpa rasa malu, guru untuk mengajarkan tanpa rasa takut, dan anak-anak untuk memahami tubuh mereka sendiri tanpa rasa bersalah. Dengan cara ini, Kakak Aman bukan hanya mengubah perilaku individu, tetapi juga menciptakan perubahan budaya yang selama ini membungkam korban dan melindungi pelaku.

Kampung Berseri Astra Surabaya: Warisan Antar Generasi dari Kampung Tempe Sukomanunggal

Hana dan Kakak Aman memiliki mimpi besar ke depan. Mereka ingin pendidikan seksual tidak lagi menjadi inisiatif komunitas semata, tetapi masuk ke dalam kurikulum nasional, sehingga setiap anak Indonesia mendapat pengetahuan yang sama dan perlindungan yang setara. Selain itu, mereka tengah mengembangkan buku cerita anak tentang pendidikan seksual, program Kakak Aman Pop-Up Class, hingga Kakak Aman Natural School dan Day Care yang mengintegrasikan prinsip perlindungan anak dalam keseharian.

Gerakan ini membuktikan bahwa memerangi kekerasan seksual tidak cukup hanya dengan regulasi atau penindakan hukum. Perubahan harus dimulai dari pemahaman, dari ruang-ruang keluarga dan sekolah. Kakak Aman adalah simbol bahwa edukasi bisa menjadi bentuk perlawanan di mana perlawanan yang tidak menggunakan senjata, tetapi cerita, lagu, dan tawa anak-anak. Lewat tangan-tangan kecil yang berani, revolusi sosial ini mulai berjalan, dan bahasa diam yang dulu membungkam kini perlahan berubah menjadi suara yang lantang: “Aku berhak merasa aman.”

#kabarbaiksatuindonesia

 

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

MR
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.