Rencana perpanjangan rilis penulisan ulang sejarah Indonesia pada 10 November 2025 sepatutnya jadi momentum revisi ulang. Proyek ini belum sepatutnya beranjak ke meja editorial. Cerita rakyat harus menjadi isu baru yang menjadi fokus revisi. Mengingat konsumen terbesar proyek ini adalah anak-anak sekolah. Pembelajar cerita rakyat dari buku paket sejarah.
Berdasarkan tujuannya, cerita rakyat mengajak para murid untuk mencontoh kepribadian tokoh protagonis yang sabar, jujur, dan cinta kedamaian. Namun justru beberapa cerita rakyat menampilkan cerita tabu dan minim moral.
Cerita rakyat populer Sangkuriang, misalnya, berisi tentang anak laki-laki bernama Sangkuriang yang bersikeras menikahi ibunya sendiri bernama Dayang Sumbi. Pernikahan mereka terhalang oleh dua alasan: Dayang Sumbi yang menyadari bahwa Sangkuriang adalah anaknya dan Sangkuriang yang tidak menyadari Dayang Sumbi adalah ibunya.
Dayang Sumbi lantas membuat skenario agar pernikahan gagal, salah satunya dengan menyuruh Sangkuriang membuat bahtera untuk menyeberangi Sungai Citarumdi malam sebelum matahari terbit. Sesuai skenario, Sangkuriang gagal memenuhi syarat tersebut.
Pantai Walakiri, Menyaksikan Keajaiban Senja Bak Negeri Dongeng di Sumba Timur
Merasa kecewa, Sangkuriang menendang bahtera tersebut hingga terbalik yang lantas dikenal sebagai cikal bakal terbentuknya Gunung Tangkuban Perahu.
Pada pokok cerita, sudah tampak nilai tabu yang terkandung, yaitu cinta sedarah antara anak dan ibu. Adegan lancang ini tentu tabu jika dibaca anak-anak. Terlebih adegan ini tidak diakhiri dengan penyelesaian yang baik. Di akhir cerita, ketidaktahuan Sangkuriang mengenai siapa calon istrinya itu dibiarkan menggantung.
Membaca Kebutuhan Dekonstruksi dalam Cerita Rakyat “Si Lancang” oleh Saharul Hariyono (Riau Pos, 2/12/2024) membuat kita sadar betapa pentingnya cerita rakyat harus “ditulis ulang”. Hariyono memberi gagasan untuk membongkar makna asli dalam cerita rakyat dan menuliskan ulang makna yang baru. Sederhananya, penulis menghapus satu adegan tabu dan menggantikannya dengan adegan baru yang lebih bermoral, tanpa mengubah esensi dari cerita.
Mari ambil contoh cerita Sangkuriang tadi. Cerita diganti menjadi sosok Sangkuriang yang mengetahui bahwa perempuan cantik di istana itu adalah ibunya. Sangkuriang lalu berbakti kepada ibunya dan mengabdi pada kerajaan
Ia kemudian mempersembahkan bahtera bagi ibu dan rakyat setempat untuk transportasi masyarakat di Sungai Citarum. Namun nahas, beberapa tahun setelahnya, badai menerjang dan membalikkan bahtera yang sedang berlayar, yang kemudian dikenal sebagai Tangkuban Perahu.
Secara praktik, proses membongkar dan menyusun ulang cerita rakyat memang dapat dilakukan oleh siapapun. Namun sebagai sebuah model pembelajaran anak-anak, proyek ini harus melibatkan sastrawan lokal dan akademisi sastra.
Artinya, pemerintah harus menyeleksi tim penyusunnya secara ketat. Sebab cerita rakyat dituntut dapat menampilkan moral kebajikan sekaligus tetap mempertahankan budaya lokal setempat.
Mengadopsi Kebijakan Sastra Masuk Kurikulum
Dalam menempuh kebijakan revisi cerita rakyat, mula-mula pemerintah perlu membentuk metode pengumpulan judul cerita rakyat dan tim kuratorial. Mengenai hal itu, pemerintah dapat mengadopsi ulang kebijakan Sastra Masuk Kurikulum yang digagas Kemendikbudristek tahun 2024 lalu.
Perlu diketahui, dalam kebijakan Sastra Masuk Kurikulum, Kemendikbudristek berkolaborasi dengan 14 kurator berlatarbelakang sastrawan dan akademisi serta 3 kurator berlatarbelakang guru SD, SMP, dan SMA.
Proses kurasi terbagi ke dalam dua tahapan. Tahapan pertama adalah kurasi yang dilakukan akademisi dan sastrawan untuk memilih beberapa karya sastra berdasarkan penghargaan dan signifikasi karya.
Eklin Amtor De Fretes: Menebar Pesan Toleransi Lewat Dongeng Damai
Adapun tahapan kedua adalah reviu yang dilakukan 3 guru kurator untuk memilih kembali karya sastra dari hasil kurasi tahapan pertama (buku.kemendikdasmen.go.id).
Mengadopsi kebijakan tersebut, penulis memberikan gambaran susunan kuratorial cerita rakyat ke dalam tiga tahapan, yaitu tahapan seleksi, produksi, dan distribusi. Tahapan pertama, tahapan seleksi yang secara umum adalah pengumpulan cerita rakyat yang dapat mendukung moral anak.
Tahapan ini diisi oleh akademisi pendidikan bahasa dan sastrawan lokal. Mereka bertugas untuk mengumpulkan dan memilah cerita rakyat di Indonesia
Tahapan kedua, adalah tahapan produksi, yaitu proses revisi secara metodologis dan kritis yang dilakukan oleh akademisi bidang sastra, budayawan, dan sastrawan lokal setempat. Mula-mula, adalah proses analisis teks secara kebahasaan yang dilakukan akademisi sastra untuk mengelompokkan adegan yang menyimpang secara moral.
Selanjutnya, penulisan ulang adegan dilakukan oleh sastrawan lokal setempat sembari memastikan agar isi nuansa kultural cerita rakyat tidak hilang.
Tahapan ketiga, tahapan distribusi, yaitu tahapan terakhir yang memiliki tugas untuk mereviu kelayakan cerita rakyat hasil rekomendasi revisi tahapan kedua. Ini dilakukan untuk menentukan apakah hasil cerita rakyat sudah benar-benar bermoral dan tidak mudah dipahami anak-anak.
Adapun jika sudah sesuai akan dikumpulkan sebagai dokumen yang diserahkan kepada kementerian.
Tiga tahapan ini diusung untuk menciptakan dialog penciptaan cerita rakyat baru. Akademisi pendidikan bahasa bersama guru bertugas untuk menyeleksi masuk dan keluarnya cerita rakyat sesuai dengan kebutuhan sekolah.
Akademisi sastra bertugas untuk menganalisis aspek bahasa dan memilah adegan sesuai dengan urgensi moral. Juga sastrawan lokal yang bertugas menulis ulang adegan sesuai dengan nuansa kultural lokal.
Penulis menyadari, dalam tiga bulan ke depan, revisi ini sulit menyasar seluruh cerita rakyat di Indonesia. Maka agaknya cerita rakyat populer perlu menjadi fokus utama terlebih dahulu karena sudah terlanjur menyebar di masyarakat.
Apresiasi Literasi di Desa Sukamekarsari: Dongeng, Wayang, dan Imajinasi Anak yang Hidupkan Buku
Namun yang pasti, revisi cerita rakyat tetap harus menjadi isu penulisan ulang sejarah. Sebab moral tentu tidak hanya dapat diperbaharui sebatas pada revisi permukaan. Pada label baik dan jahat antara kolonial dan pribumi. Sebagai bagian dari teks sejarah, cerita rakyat penting dipelajari untuk membangun moral anak.
Di sisi lain, agenda revisi cerita rakyat juga menegaskan peran penting budaya daerah terhadap perkembangan moral bangsa.
Di sisi lain, dalam sudut pandang kultural, revisi cerita rakyat sejatinya lumrah dan sering dilakukan oleh masyarakat. Bronner (2007) menyebut apa yang dikatakan Alan Dundes melalui buku Meaning of Folklore: The Analytical Essays of Alan Dundes bahwa cerita rakyat adalah tradisi yang menciptakan variasi.
Artinya, sebuah cerita rakyat kerap memiliki beberapa versi di masyarakat. Mengingat tidak terdokumentasi secara tertulis dan disampaikan turun-temurun. Maka revisi cerita rakyat merupakan salah satu upaya untuk menciptakan versi lain dari cerita yang sudah ada. Sebuah versi yang bukan bertujuan untuk menghapus nilai sejarah dan budaya, tapi bertujuan untuk membersihkan makna dari moral yang 'kotor'.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News