eklin amtor de fretes menebar pesan toleransi lewat dongeng damai - News | Good News From Indonesia 2025

Eklin Amtor De Fretes: Menebar Pesan Toleransi Lewat Dongeng Damai

Eklin Amtor De Fretes: Menebar Pesan Toleransi Lewat Dongeng Damai
images info

Konflik Mendalam Antarumat Beragama

Di awal tahun 1999, memasuki era reformasi, situasi di Maluku terasa mencekam. Tepatnya di Kota Ambon, suara teriakan orang-orang terdengar sepanjang hari. Tak hanya itu, di sudut-sudut kota juga dipenuhi suara tembakan dan bom. 

Sekejap Ambon berubah menjadi lapangan berdarah. Ribuan orang menjadi korban jiwa, sementara ratusan ribu lainnya mengungsi ke tempat lain, meninggalkan tempat tinggalnya dengan terpaksa.

Peristiwa tersebut adalah konflik antara umat Islam dan Kristen. Meskipun pemicu utamanya tidak jelas, narasi-narasi yang dibangun oleh golongan tertentu sudah cukup untuk menimbulkan kekacauan besar tersebut.

Beberapa tahun berlalu, tepatnya pada tahun 2002, konflik tersebut pun usai. Pemerintah menerapkan segregasi wilayah, pemeluk Islam ataupun Kristen dapat tinggal bersama dengan sesamanya. Meskipun usai, konflik tersebut tetap meninggalkan luka dan trauma bagi seluruh masyarakat setempat. Jangankan untuk tinggal bersama, hingga kini, untuk saling bertemu pun mereka terlanjur takut. 

Ajaibnya, dari sekian banyaknya masyarakat yang terdampak, lahirlah seorang pemuda yang masih mengusahakan perubahan. Pemuda tersebut bernama Eklin Amtor De Fretes.

Kak Eklin dan Perjalanan Toleransinya

Eklin Amtor De Fretes atau yang akrab disapa Kak Eklin, adalah pemuda tersebut. Masa kecilnya penuh dengan perdamaian. Meskipun beragama Kristen, ia sekeluarga dapat hidup berdampingan dengan pemeluk Islam di Maluku. 

Barulah ketika berumur 7 tahun, ia dan keluarganya terpaksa mengungsi dari tempat tinggalnya karena konflik, menyisakan kenangan-kenangan perdamaian itu. Atas hal tersebut, ia bersikeras untuk menghidupkan kembali perdamaian yang telah mati itu.

Perjalanannya dimulai ketika ia baru saja menyandang gelar Sarjana Teologi dari Universitas Kristen Indonesia Maluku. Ketika itu, ia mengikuti pelatihan intensif bertajuk Interfaith New Generation Initiative and Engagement yang diadakan oleh Living Value Educationatau biasa disingkat LVE pada tahun 2016 di Bogor.

Dalam kelas tersebut, bersama dengan banyak peserta lainnya, ia diajarkan berbagai aktivitas dengan muatan nilai damai, menghargai, kasih sayang, kerja sama, kejujuran, kerendahan hati, tanggungjawab, kesederhanaan, toleransi, kebebasan, dan persatuan, sebagaimana pernyataannya dalam wawancara dengan renovrainbow. Bekal-bekal tersebutlah yang menjadi fondasi dasarnya dalam melawan segregasi sekaligus memperjuangkan toleransi antarumat beragama.

Setahun kemudian, berbekal pengetahuan dan pengalamannya di LVE, ia mendirikan Youth Interfaith Peace Camp (YIPC), sebuah wadah untuk mempelajari nilai-nilai perdamaian dan toleransi untuk lintas suku dan agama. Dalam kegiatan tersebut, mereka berkumpul selama dua hari, lalu belajar terkait perdamaian menggunakan metode LVE. Alhasil, sepanjang tahun 2017, YIPC telah diadakan selama tiga kali dengan total partisipan sebanyak 90 orang yang terdiri dari umur 16-25 tahun.

Dongeng sebagai Alat Penebar Pesan Toleransi

Semuanya berawal dari pandangannya sendiri, bahwa perasaan benci terhadap golongan lain lahir dari cerita-cerita konflik yang diberikan orang dewasa kepada anaknya. Perlahan namun pasti, rasa benci tersebut mulai mengakar, terutama pada generasi selanjutnya. Oleh karena itu, Kak Eklin berniat melawan hal tersebut melalui dongeng damai.

Meskipun mulanya tidak memiliki kemampuan mendongeng, ia berusaha untuk mempelajarinya. Ia membeli boneka yang ia namai Dodi dan mulai berlatih ventriloquist dari youtube selama dua minggu lamanya. Dodi, boneka miliknya, merupakan akronim dari dongeng damai.

Pada awal perjalanannya dongeng damai ala Kak Eklin tidak berjalan mulus. Ia ditolak saat berkunjung ke Pulau Seram di Maluku karena dianggap ingin melakukan kristenisasi. Beruntung, pada usaha-usaha selanjutnya, ia diterima oleh masyarakat. Bahkan, polisi dan tentara memfasilitasinya dengan mengumpulkan anak-anak Kristen di Gereja ataupun Muslim di masjid.

Ia tak hanya memberikan dongeng damai ke masyarakat, tetapi juga memberikan pelatihan mendongeng kepada guru-guru setempat. Menariknya, dongeng yang dibacakan tidak sembarangnya diambil dari sumber-sumber tertentu, tetapi ia buat sendiri dengan menyesuaikan kebutuhan masyarakatnya.

Hingga pada 2019, ia mendirikan Rumah Dongeng di depan rumah neneknya, di atas kuburan kakeknya yang rata dengan tanah. Tempat tersebut tak hanya sekadar tempat untuk menyimpan buku-buku cerita, tetapi juga sebagai ruang untuk anak-anak belajar dan bermain.

Puncaknya, pada 2020, ia menerima penghargaan SATU Indonesia Awards dari Astra. Dongengnya tidak hanya berupa cerita dalam kata-kata. Lebih dari itu, tiap ucapan Kak Eklin mengandung nilai-nilai toleransi untuk melawan narasi-narasi konflik yang telah mengakar.

Satu quotes indah darinya, “Damai itu dimulai dari kita, diri kita. Ketika kita berharap damai besar itu tumbuh, tetapi kalau diri kita tidak mau berdamai dengan diri sendiri dan sesama di lingkungan sekitar, maka tidak akan tercapai.” Niat dan usaha Kak Eklin untuk menghidupkan perdamaian di Maluku layak diberi dukungan dan apresiasi yang tinggi.

#kabarbaiksatuindonesia

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

IH
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.