Bagi sebagian besar orang tua di Indonesia, berbicara tentang seksualitas dengan anak masih dianggap tabu. Banyak yang merasa topik ini terlalu “dewasa” untuk dipahami anak-anak, bahkan sekadar menyebut nama organ tubuh dengan istilah sebenarnya sering diganti dengan sebutan lain. Akibatnya, anak-anak tumbuh tanpa pemahaman jelas tentang tubuh mereka, tanpa tahu bahwa ada batasan yang tidak boleh dilanggar.
Survei Gatra pada 2019 mencatat bahwa 59 persen orang tua di Indonesia menganggap komunikasi seksual dengan anak adalah hal tabu. Sebanyak 63 persen khawatir pendidikan seks justru akan mendorong perilaku seksual pra-nikah, sementara 64 persen tidak pernah menyampaikan komunikasi seksual secara terbuka kepada anak mereka. Tidak heran, data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menunjukkan bahwa kasus kekerasan seksual pada anak terus meningkat dari tahun ke tahun.
Padahal, para ahli sudah menekankan pentingnya pendidikan seks sejak dini. Mantan Komisioner KPAI, Retno Listyarti, menegaskan bahwa pendidikan seks bukan hal tabu, melainkan upaya melindungi anak agar berani berkata tidak pada perilaku yang tidak pantas. Senada, Kepala BKKBN Hasto Wardoyo menyebut pendidikan seksual bukan hanya soal hubungan dewasa, tetapi juga pengetahuan dasar tubuh dan kesehatan reproduksi yang harus dikenalkan sejak kecil.
Kesadaran inilah yang mendorong munculnya gerakan-gerakan akar rumput. Salah satunya datang dari Hana Maulida, anak muda yang pada Januari 2023 bersama dua temannya melahirkan inisiatif Kakak Aman Indonesia. Gerakan ini lahir dari keresahan melihat kasus kekerasan seksual terhadap anak yang semakin marak, sementara anak-anak di usia TK dan SD nyaris tidak punya bekal pengetahuan untuk melindungi diri.
Ratna Indah Kurniawati: Pejuang Asa Para Penderita Kusta
Lalu, bagaimana Hana membuka percakapan yang selama ini dianggap tabu? Rahasianya adalah bahasa yang sederhana dan penuh imajinasi. Alih-alih menyodorkan istilah medis atau nasihat panjang, ia memulai dengan dongeng dan permainan peran. Misalnya, Hana menggunakan boneka tangan untuk menggambarkan bagian tubuh yang harus dilindungi. Anak-anak kemudian diajak bernyanyi sambil menunjuk bagian tubuh yang “aman disentuh” dan yang “tidak boleh disentuh orang lain”. Dengan cara ini, topik yang berat terasa ringan dan menyenangkan, tanpa membuat anak merasa malu atau takut.
Semua metode ini kemudian dirangkum dalam Body Safety Kit, sebuah paket edukasi berisi modul, poster, boneka tangan, worksheet mewarnai, hingga media Tangan Hitam. Dengan kit ini, percakapan tentang perlindungan diri bisa terstruktur, konsisten, dan lebih mudah diterapkan baik di sekolah maupun di rumah. Metode inilah yang membuat Kakak Aman berbeda. Anak-anak tidak hanya menghafal teori, tetapi juga benar-benar memahami bahwa mereka berhak berkata “tidak” jika merasa tidak nyaman. Selain itu, Hana dan tim menyelipkan tiga langkah sederhana yang mudah diingat: tolak, lari, dan cerita.
Tidak berhenti di kelas, Hana juga melibatkan guru dan orang tua. Mereka diberikan panduan praktis untuk melanjutkan edukasi di rumah. Dengan cara ini, pembelajaran tidak berhenti pada satu sesi, melainkan menjadi kebiasaan yang terus diperkuat. Hasilnya mulai terasa: semakin banyak anak yang berani menyampaikan rasa tidak nyaman, semakin banyak guru yang percaya diri membicarakan topik sensitif ini, dan semakin banyak orang tua yang mulai terbuka berdiskusi.
Gerakan yang dimulai dari sekolah-sekolah di Serang dan Cilegon ini telah menjangkau ribuan anak. Dedikasi Hana pun mendapat pengakuan nasional. Pada 2024, ia dianugerahi SATU Indonesia Awards bidang Pendidikan. Namun bagi Hana, penghargaan hanyalah jembatan untuk memperluas langkah. Ia bermimpi Kakak Aman bisa berkembang ke lebih banyak daerah, bahkan masuk ke kurikulum formal pendidikan dasar.
Dari Pacitan ke Penghargaan Nasional: Perjalanan Rinawati dan Abon Tuna
Kawan GNFI, kisah Hana Maulida adalah bukti bahwa tabu bisa ditembus dengan keberanian. Apa yang dulu dianggap sulit dibicarakan kini bisa dijadikan materi belajar yang menyenangkan. Lebih dari itu, gerakan ini menunjukkan bahwa setiap orang—terutama anak muda—bisa mengambil peran dalam melindungi generasi penerus.
Tabu hanya akan hilang jika kita berani membicarakannya dengan cara yang tepat. Jika Hana bisa memulai dari boneka tangan dan lagu sederhana, bukankah kita juga bisa berkontribusi dari lingkaran terkecil di sekitar kita? Karena setiap anak berhak tumbuh dengan aman, penuh cinta, dan tanpa rasa takut.
#kabarbaiksatuindonesia
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News