Dunia saat ini dipenuhi ketidakpastian. Rangkaian peristiwa, seperti konflik di Ukraina, Palestina, dan Afrika turut mengguncang pasar global. Selain itu, Amerika Serikat mengedepankan proteksionisme lewat kebijakan tarif, sementara dolar AS kian menguat. Semua ini membuat harga barang impor naik, biaya logistik membengkak, dan tekanan inflasi menghantui banyak negara.
Indonesia tentu terkena dampaknya. Kita masih bergantung pada impor sejumlah bahan pangan, energi, dan barang kebutuhan pokok. Jika dolar menguat, harga barang tersebut otomatis ikut terdongkrak.
Namun, di tengah situasi yang penuh tekanan ini, Indonesia punya alasan untuk tetap optimis. Inflasi domestik relatif terkendali, rupiah masih bisa terkendali, dan cadangan devisa cukup melimpah. Fondasi inilah yang memberi ruang bagi ekonomi nasional, terutama sektor UMKM, untuk terus bertumbuh.
Suku Bunga Turun, Sinyal untuk Sektor Riil
Salah satu kebijakan penting datang dari Bank Indonesia (BI). Pada Rapat Dewan Gubernur 19–20 Agustus 2025, BI memutuskan menurunkan suku bunga acuan (BI-Rate) sebesar 25 bps menjadi 5 persen. Turut diturunkan juga suku bunga Deposit Facility menjadi 4,25 persen dan Lending Facility menjadi 5,75 persen.
Menurut Ahmad Cholis Hamzah, akademisi sekaligus mantan staf ahli bidang ekonomi kedutaan, kebijakan ini sejalan dengan rendahnya proyeksi inflasi 2025–2026 yang masih berada dalam target 2,5 ±1 persen.
“Keputusan ini konsisten dengan rendahnya prakiraan inflasi dan perlunya mendorong pertumbuhan ekonomi sesuai kapasitas perekonomian,” ujarnya.
Bagi sektor riil, keputusan ini merupakan kabar baik. Selama dua tahun terakhir, pelaku usaha, termasuk UMKM, merasakan tingginya biaya pendanaan di tengah melemahnya permintaan domestik. Penurunan bunga diharapkan menjadi sinyal positif agar dunia usaha kembali bergairah.
Apakah Akan Berdampak ke UMKM?
Meski kebijakan moneter memberi ruang optimisme, masih ada pertanyaan besar, apakah manfaatnya benar-benar sampai ke UMKM?
Transmisi kebijakan ke sektor riil terbukti tidak instan. Perbankan cenderung berhati-hati menurunkan bunga kredit, terutama bagi UMKM yang dianggap lebih berisiko.
“Agak sia-sia bila suku bunga usaha diturunkan, tetapi akses pasar UMKM justru tertekan oleh impor barang murah,” ungkap Cholis.
Selain persoalan bunga kredit, birokrasi perizinan yang rumit, pungutan yang tidak resmi, dan keterbatasan infrastruktur pasar masih membatasi ruang gerak UMKM.
Akibatnya, optimisme di level makro tidak otomatis dirasakan oleh pelaku usaha kecil yang menjadi tulang punggung ekonomi nasional.
UMKM Butuh Dukungan Menyeluruh
Lebih dari sekadar bunga bank, UMKM membutuhkan dukungan menyeluruh untuk bisa bertumbuh.
Banyak pelaku usaha yang masih lemah dalam manajemen keuangan, belum terbiasa dengan pembukuan digital, dan kesulitan memenuhi standar kualitas produk yang diminta pasar modern.
Cholis menilai technical assistance sangat penting, mulai dari literasi digital, pengaturan keuangan, hingga pengembangan kapasitas produksi.
Dengan begitu, UMKM tidak hanya mampu bertahan, tetapi juga naik kelas dan masuk ke rantai pasok yang lebih besar. Tanpa dukungan ini, penurunan bunga acuan akan terasa sia-sia.
Perlunya Memperkuat Pasar Dalam Negeri
Optimisme bukan berarti menutup mata terhadap risiko. Selama ketidakpastian global masih berlangsung, Indonesia tetap harus waspada terhadap dampak eksternal.
Kenaikan harga impor akibat dolar yang menguat bisa langsung dirasakan masyarakat dalam bentuk harga pangan, energi, dan logistik yang lebih mahal. Karena itu, memperkuat pasar domestik menjadi strategi penting.
“Indonesia perlu memperkuat pasar dalam negeri dan sebisa mungkin mengurangi ketergantungan pada impor,” tegas Cholis.
Dengan basis konsumsi dalam negeri yang kuat, UMKM bisa turut menopang pertumbuhan sekaligus benteng menghadapi guncangan global.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News