yang naik cuma harga bukan nasib petani - News | Good News From Indonesia 2025

Yang Naik Cuma Harga, Bukan Nasib Petani: Bagaimana Solusinya?

Yang Naik Cuma Harga, Bukan Nasib Petani: Bagaimana Solusinya?
images info

Di negeri yang subur ini, sawah membentang dari ujung desa hingga ke kaki bukit. Kita tumbuh dengan bayangan bahwa Indonesia adalah negara agraris, tempat para petani menjadi pahlawan pangan.

Setiap hari kita makan nasi produk dari kerja keras petani yang menanam, memanen, dan menjaga siklus hidup dari sebutir padi.

Namun, di balik kenyataan itu, ada ironi yang terus menganga. Ketika harga beras di pasaran naik, kehidupan petani justru tak kunjung membaik.

Bank Dunia mengungkapkan bahwa harga beras di Indonesia 20 persen lebih mahal daripada harga beras di pasar global. Bahkan saat ini harga beras dalam negeri konsisten tertinggi di kawasan ASEAN (Kompas.com, 2024).

Meski begitu, di balik lonjakan harga kehidupan petani tetap saja sulit. Tak ada kenaikan yang dirasakan, tidak pada pendapatan, tidak juga pada kesejahteraan.

Meskipun Indonesia menyandang status negara agraris yang kaya sumber daya alam, sebagian besar petaninya justru masih menghadapi kondisi hidup di bawah garis kemiskinan.

Data Susenas BPS 2023 mencatat, dari total 25,9 juta penduduk miskin per Maret 2023, sekitar 10,34 juta jiwa berasal dari rumah tangga pertanian, dan 3,6 juta jiwa lainnya merupakan buruh tani (Naufalia, 2024).

Sementara itu berdasarkan hasil Survei Pertanian Terpadu, Badan Pusat Statistik (BPS), kesejahteraan petani Indonesia masih di bawah rata-rata, bahkan pendapatannya masih berada di bawah 1 dollar AS per hari, atau sekitar Rp 15.199. Dalam setahun, pendapatan mereka hanya berkisar 341 dollar AS atau sekitar Rp 5,2 juta (Kompas.com, 2024).

Pendapatan ini dinilai tidak sebanding dengan biaya produksi yang harus dikeluarkan oleh petani. Akibatnya harga beras yang dibayar konsumen dalam negeri cenderung tinggi.

Mengapa Petani Tetap Miskin?

Meskipun menjadi aktor utama dalam produksi pangan, petani tidak punya kendali dalam menentukan nilai jual hasil panennya. Petani masih berada dalam posisi tawar yang lemah dengan keterbatasan akses terhadap pasar, informasi, dan jaminan harga yang layak.

Di sisi hulu, petani harus dibebani oleh mahalnya pupuk dan pestisida, naiknya upah tenaga kerja, buruh menggarap lahan, serta harga alat pertanian yang tidak terjangkau.

Sementara itu, di sisi hilir hasil panen sering dilepas dengan harga rendah karena tekanan kebutuhan ekonomi.

Dari Lahan ke Layar: Petani Desa Petir Bersiap Hadapi Masa Depan Pertanian

Petani kecil, khususnya yang berada di wilayah pedesaan, umumnya tidak memiliki akses langsung ke pasar besar atau konsumen akhir. Akibat keterbatasan jalur distribusi ini, mereka cenderung menjual gabah kepada tengkulak atau pengepul dengan harga yang bahkan lebih rendah dari Harga Pembelian Pemerintah (HPP).

Sementara itu, harga beras yang dihasilkan dari gabah tersebut bisa melonjak hampir dua kali lipat ketika sampai ke tangan konsumen. Ketimpangan nilai tambah ini menunjukkan bahwa keuntungan lebih banyak terserap di rantai tengah distribusi, bukan dinikmati oleh petani itu sendiri.

Bahkan bagi petani yang berusaha meningkatkan nilai jual dengan menggiling gabah menjadi beras tetap harus melalui pengepul atau distributor untuk bisa masuk ke pasar. Artinya, meski naik satu tingkat dalam rantai distribusi, posisi tawar tetap rendah.

Harga yang diterima tidak sebanding dengan biaya produksi dan tenaga yang mereka keluarkan. Alih-alih mendapatkan nilai tambah karena menjual beras.

Pada kenyataannya, bagian keuntungan yang diterima petani tetap paling kecil dibanding pihak-pihak lain dalam rantai distribusi.

Lebih jauh lagi, banyak petani di Indonesia tidak memiliki lahan pertanian sendiri. Sebagian besar hanya menyewa atau menggarap lahan milik orang lain melalui sistem bagi hasil, yang secara langsung mengurangi pendapatan bersih.

Kondisi ini diperparah oleh risiko gagal panen yang tinggi akibat cuaca ekstrem, banjir, dan serangan hama. Situasi tersebut menggambarkan bahwa menjadi petani di Indonesia adalah pekerjaan yang penuh risiko.

Infrastruktur yang tengah dibangun sering kali tidak sejalan dengan kebutuhan pertanian. Misalnya, pembangunan bendungan yang tidak diiringi dengan penyambungan ke jaringan irigasi yang memadai.

Akibatnya, ketika musim kemarau tiba, petani tetap kesulitan mendapatkan pasokan air untuk mengolah sawah. Kondisi ini tentu berdampak langsung pada hasil panen dan produktivitas ke depannya.

Waktunya Petani Diutamakan

Selama sistem ini tidak berubah, kemiskinan petani akan terus menjadi cerita lama yang diulang tanpa akhir. Diperlukan upaya nyata untuk meningkatkan kesejahteraan petani, agar ke depannya sektor pertanian tetap menarik bagi generasi muda.

Dengan begitu, keberlanjutan pertanian dan siklus hidup dari sebutir padi dapat terus terjaga.

Salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah memperpendek rantai distribusi. Pemerintah pusat maupun daerah perlu memperluas akses pasar langsung bagi petani melalui koperasi, pasar tani, atau platform digital.

Upaya ini memungkinkan petani menjual hasil panen dengan harga yang lebih adil tanpa bergantung pada tengkulak.

KKN-T IPB Desa Ngilen Fokuskan Program pada Lingkungan, Pertanian, dan UMKM

Selain kendala distribusi, tingginya biaya produksi juga masih menjadi persoalan utama yang membebani petani. Oleh karena itu, subsidi pertanian perlu diarahkan secara lebih tepat sasaran, khususnya bagi petani kecil dan petani gurem.

Pemerintah juga perlu memastikan ketersediaan dan keterjangkauan sarana produksi pertanian melalui program yang berkelanjutan, seperti subsidi pupuk berbasis data petani riil, pelatihan budidaya hemat biaya, serta pendampingan lapangan yang aktif dan konsisten.

Penggunaan teknologi juga perlu diperluas dan disesuaikan dengan kondisi desa. Banyak petani belum memiliki akses terhadap alat pertanian modern, sistem irigasi efisien, atau informasi cuaca dan pasar berbasis digital.

Bantuan alat, pelatihan, dan pendampingan yang sederhana tapi tepat guna dapat membantu meningkatkan hasil panen. Selain itu, juga mengurangi ketergantungan pada metode tradisional yang tidak lagi efisien.

Kenaikan harga beras seharusnya membuka peluang bagi petani untuk menikmati kehidupan yang lebih sejahtera. Namun kenyataannya, yang terjadi justru sebaliknya mereka tetap berada di posisi paling rentan dalam sistem pangan.

Masalah ini bukan semata soal pasar, melainkan soal struktur kebijakan dan tata niaga yang belum memberi ruang adil bagi petani untuk tumbuh, berdaya, dan sejahtera.

Tak terbayangkan bagaimana jadinya jika petani enggan menanam padi. Jika kondisi mereka terus diabaikan, bukan tidak mungkin hal itu terjadi. Ketahanan pangan nasional akan goyah jika petani tidak lagi memiliki semangat dan kemampuan untuk terus menanam.

Jika negara ingin menjaga ketahanan pangan, maka kesejahteraan petani tidak bisa terus dikesampingkan. Perbaikan distribusi, jaminan harga, pengendalian biaya produksi, dan akses terhadap teknologi harus diterapkan.

Karena bagi sebagian petani, bertani bukan lagi tentang meraih keuntungan besar. Mereka lebih memilih tetap menanam meskipun hasil panen tak seberapa. Setidaknya bisa mencukupi kebutuhan harian atau disimpan sebagai cadangan.

Bahkan ada yang memilih tidak menjual beras sama sekali demi memastikan ketersediaan pangan di rumah tetap aman. Kekhawatiran ini sangat beralasan, terutama di tengah cuaca ekstrem yang semakin tidak menentu.

Musim kemarau yang berkepanjangan telah mengacaukan pola tanam, sehingga petani semakin waspada terhadap risiko gagal panen.

Dalam situasi seperti ini, menyimpan hasil panen sendiri menjadi keputusan yang bijak dibandingkan harus membeli kembali beras dengan harga tinggi di masa mendatang.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

MM
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.