Di Morowali, Sulawesi Tengah, suara dentuman mesin pabrik nyaris tak pernah berhenti. Ribuan pekerja lokal kini berada di garis depan industri pengolahan nikel, komoditas yang menjadi bahan baku utama baterai mobil listrik.
“Saya dulu tukang ojek, sekarang kerja di pabrik baterai. Gajinya stabil, tapi kerja di sini keras. Kadang shift malam dua kali seminggu,” ujar Irwan, 26 tahun, operator mesin di kawasan industri Morowali, dilansir dari INews.
Irwan adalah satu dari ribuan wajah di balik lonjakan ambisi Indonesia menjadi pemain global dalam industri kendaraan listrik (EV). Namun, pertanyaannya: apakah kita sedang memegang kemudi menuju masa depan, atau hanya menjadi penumpang?
Kolaborasi Indonesia–China: Jalan Pintas atau Strategi Jangka Panjang?
Indonesia punya kartu as dalam transisi energi global: salah satu cadangan nikel terbesar di dunia. Namun, kekuatan sumber daya alam saja tidak cukup. Industri EV menuntut teknologi, infrastruktur, dan rantai pasok yang kompleks.
China, sebagai pemimpin dunia dalam industri EV, dari baterai hingga kendaraan dan stasiun pengisian menawarkan solusi cepat. Proyek kolaborasi pun muncul: dari pembangunan pabrik baterai EV di Batang, Jawa Tengah, hingga mega-investasi smelter dan fasilitas produksi di Morowali.
Teknik Elektro di Balik Teknologi yang Kita Gunakan Setiap Hari
Dilansir dari ekon.go.id, nilai total investasi China di sektor EV Indonesia telah mencapai lebih dari USD 30 miliar. Pemerintah berharap kerja sama ini menciptakan lapangan kerja, meningkatkan ekspor, dan mentransformasi struktur industri nasional. Namun seperti semua “jalan pintas”, ada risiko di balik kemudahan.
Dampak Lokal: Harapan Baru, Tantangan Nyata
Di balik janji pertumbuhan ekonomi, kawasan industri seperti Morowali juga menghadapi tekanan sosial dan ekologis.
Warga lokal menghadapi perubahan cepat: harga tanah melonjak, mata pencaharian lama tersingkir, dan kebutuhan akan pendidikan teknis meningkat.
Beberapa LSM lingkungan juga menyoroti potensi pencemaran air dan deforestasi akibat ekspansi pertambangan nikel.
Dalam wawancara dengan media lokal, Lestari, seorang guru SD di Bahodopi, berkata, “Anak-anak di sini banyak yang tak lagi ingin bertani seperti orang tuanya. Tapi belum semua siap kerja di pabrik. Ada yang putus sekolah karena ingin cepat cari uang.”
Kisah seperti ini menunjukkan bahwa transformasi industri kurang netral, ia membawa harapan dan tantangan dalam satu napas.
Tantangan Besar: Ketergantungan Teknologi dan Riset yang Lemah
“Kalau semua teknologinya dari luar, kita hanya jadi buruh di rumah sendiri,” Prof. Evvy S., pakar teknologi baterai, NBRI, diwartakan oleh nikel.co.id.
Pernyataan ini menggambarkan kekhawatiran utama. bahwa Indonesia akan terjebak dalam posisi “pemilik bahan mentah” tetapi bukan pemilik teknologi.
Disebutkan dari metrotvnews.com, saat ini, belanja R&D Indonesia masih sekitar 0,65% dari PDB, jauh di bawah negara seperti Korea Selatan (lebih dari 4%) atau bahkan Vietnam yang mulai fokus pada EV.
Tanpa investasi riset dan pendidikan tinggi yang kuat, kerja sama hanya akan memperkuat ketergantungan.
Apa Itu Teknik Geothermal Dry House yang Antarkan Kopi dari Gunung Kamojang Tembus Pasar Ekspor?
Komparasi Regional, Pelajaran dari ASEAN
Thailand dan Vietnam kini menjadi pesaing wilayah yang serius dalam upaya menjadi pusat industri EV ASEAN. Misalnya, menurut laporan BloombergNEF, penjualan mobil listrik penumpang di enam negara ASEAN meningkat tiga kali lipat pada 2023 menjadi sekitar 153.500 unit. Thailand memimpin dengan sekitar 86.400 unit, disusul Indonesia dan Vietnam.
Thailand, yang dikenal sebagai basis manufaktur otomotif ASEAN, telah memberlakukan kebijakan insentif ketat, di mana setiap impor EV harus diimbangi dengan produksi lokal (rasio 1,5 kendaraan lokal per tiap kendaraan impor) agar memenuhi syarat bebas pajak dan mendapat subsidi harga. Strategi ini memicu kenaikan tajam produksi EV domestik hingga 40% pada tahun 2025, berdasarkan Reuters.
Di sisi lain, Vietnam menunjukkan pertumbuhan pasar otomotif luar biasa. Meski pasar ASEAN secara keseluruhan menurun 1,7% dalam periode yang sama, Vietnam membukukan kenaikan penjualan hingga 24% pada kuartal I 2025. Sebagian besar didorong oleh permintaan kendaraan hibrida dan EV lokal seperti VinFast.
Dari perbandingan ini, terlihat bahwa Indonesia memiliki keunggulan sumber daya produksi bahan baku (nikel terbesar kedua di dunia), tetapi masih perlu meniru pendekatan Thailand dalam kebijakan lokal dan Vietnam dalam membangun merek lokal terintegrasi.
Jalan Tengah yang Harus Ditempuh
Kerja sama dengan China tidak salah. Ia bahkan penting. Namun, untuk menjamin keuntungan jangka panjang bagi bangsa sendiri, Indonesia perlu:
- Transfer teknologi konkret, termasuk penguasaan desain, paten, dan rekayasa lokal.
- Peningkatan investasi dalam riset dan pengembangan (R&D) di kampus dan lembaga riset.
- Proteksi dan insentif bagi UMKM dan manufaktur lokal agar bisa masuk rantai pasok.
- Evaluasi reguler terhadap kerja sama dan dampaknya, bukan hanya pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga sosial dan lingkungan.
Mengenang Gatot Sunyoto dan Teknik Ventrilokuisme: Seni Bicara Tanpa Gerakan Bibir
Siapa yang Mengemudi?
Indonesia saat ini sedang berada di persimpangan sejarah. Kita punya bahan mentah, tenaga kerja muda, dan posisi geografis strategis. Namun, semua itu tidak cukup tanpa kemandirian visi.
Kerja sama dengan China bisa menjadi akselerator masa depan. Namun, jika tak disertai kebijakan jangka panjang, kita hanya akan berpindah dari satu bentuk ketergantungan ke bentuk lainnya.
Mimpi besar tak hanya butuh modal dan mitra, tetapi juga keberanian untuk mengatur arah. Saatnya Indonesia benar-benar berada di balik kemudi, bukan sekadar jadi penumpang di jalan tol industri global.
Penulis
Muhammad Fikri Fatahillah, Mahasiswa Universitas Islam Indonesia Fakultas Teknologi Industri (FTI) Program Studi Teknik Elektro (23)
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News