Prasasti Yupa tidak hanya menjadi bukti kejayaan Kerajaan Kutai sebagai kerajaan tertua di Nusantara, tetapi juga merepresentasikan sebuah narasi riset yang sarat nilai budaya, historis, dan akademis.
Hal tersebut diungkapkan Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra (OR Arbastra) BRIN, Herry Jogaswara pada Seminar bertajuk prasasti Yupa Kerajaan Kutai dan prasasti Padang Lawas dalam konteks sejarah kawasan, yang digelard di BRIN Kawasan Sains Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, pada Selasa (22/07).
Herry menjelaskan bahwa prasasti tersebut memiliki nilai sejarah dan arkeologi yang sangat penting sebagai bukti keberadaan salah satu kerajaan tertua di Indonesia.
Namun, ternyata belum terdaftar secara resmi dalam program Memory of the World atau Warisan Ingatan Dunia dari Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).
“Acara ini menjadi forum penting untuk membahas warisan prasasti tertua di Indonesia, mulai dari Yupa di Kutai, Kalimantan Timur, hingga prasasti Hindu-Buddha di Padang Lawas, Sumatera Utara,” katanya.
Disampaikannya pula bahwa kolaborasi dengan Perkumpulan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Komisariat Daerah (Komda) Jabodetabek dan kehadiran perwakilan Badan Riset dan Inovasi Daerah (BRIDA) Kutai Kartanegara memberikan perspektif yang lebih luas mengenai pelestarian situs-situs bersejarah.
"BRIN siap berkolaborasi dengan Kementerian Kebudayaan dan pemerintah daerah untuk memperkuat upaya pelestarian, termasuk pengajuan Yupa ke UNESCO. Pengakuan UNESCO akan menjadi bukti bahwa peradaban Nusantara diakui sebagai bagian penting dari warisan dunia,” jelasnya.
Baca juga Prasasti Peninggalan Belandanya Ditemukan, Kantor Kepala Daerah Ini Ternyata Usianya Hampir 100 Tahun
Dukungan UNESCO dan Pemerintah Daerah
Senada dengan itu, Duta Besar/Wakil Delegasi Tetap RI untuk UNESCO, Ismunandar, melalui video sambutan, menegaskan bahwa pengusulan prasasti Yupa sebagai Memory of the World sangat strategis.
"Yupa yang berasal dari abad ke-4 Masehi menjadi catatan sejarah yang jauh lebih tua dibandingkan dokumen-dokumen Indonesia lain yang sudah diakui UNESCO," tegasnya.
Menurutnya, penting sekali dukungan dari para arkeolog, akademisi, dan institusi riset untuk memperkuat nominasi tersebut. Sekaligus melakukan sosialisasi luas agar publik memahami nilai penting prasasti ini.
Sementara itu, Kepala Bidang Sosial dan Kependudukan BRIDA Kutai Kartanegara, Tulus Sutopo menyebutkan bahwa pemerintah daerah terus berupaya mengembangkan situs Muara Kaman, meskipun sempat terkendala efisiensi anggaran.
"Pemerintah daerah berkomitmen menjalin kerja sama strategis dengan BRIN untuk menyusun heritage impact assessment sebagai peta jalan pengembangan kawasan situs Muara Kaman," sebutnya.
Menurutnya, kajian ini penting untuk memastikan bahwa setiap langkah revitalisasi situs bersejarah memiliki landasan ilmiah, terarah, dan berkelanjutan. Meski diakui ada kendala efisiensi anggaran yang membuat rencana kerja tidak sepenuhnya terlaksana pada tahun ini.
Tulus menegaskan bahwa BRIDA akan memprioritaskan dukungan terhadap upaya pelestarian warisan budaya Kutai di tahun-tahun mendatang.
Nilai Historis dan Linguistik Prasasti Yupa
Mempertegas upaya tersebut, Kepala Pusat Riset Arkeologi Prasejarah dan Sejarah (PRAPS-BRIN), Irfan Mahmud menyatakan bahwa prasasti Yupa memiliki nilai historis sekaligus linguistik yang sangat tinggi sehingga layak diusulkan sebagai Memory of the World UNESCO.
Ia memerinci bahwa dari tujuh prasasti Yupa yang ditemukan di Muara Kaman, baru empat di antaranya yang berhasil dibaca dengan baik, sementara tiga prasasti lainnya masih memerlukan kajian epigrafi mendalam.
"Yupa bukan sekadar prasasti tertua di Indonesia, tetapi juga menyimpan grand narrative yang menjembatani perkembangan bahasa Indo-Arya dengan bahasa-bahasa lokal di Nusantara,” jelasnya.
Baginya, besar harapan agar Pemerintah Daerah Kutai Kartanegara dan para peneliti dapat bekerja sama membentuk kelompok kerja lintas sektor dengan melibatkan BRIN, Kementerian Kebudayaan, IAAI, hingga komunitas heritage. Ini guna memperkuat riset dan pelestarian situs Muara Kaman.
Lebih lanjut, Irfan menyoroti pentingnya penguatan identitas lokal dalam mendukung pengakuan internasional. Ia mendorong langkah-langkah konkret seperti menghadirkan replika Yupa di pusat kota, memperkuat lanskap budaya, dan menghidupkan kembali narasi Kutai Kuno melalui tradisi lokal seperti Erau.
“Yupa adalah aset pengetahuan dan kebanggaan nasional yang tetap relevan hingga masa kini,” tegasnya.
Di kesempatan tersebut, Ketua IAAI Komda Jabodetabek, Berthold DH Sinaulan menjelaskan bahwa Yupa bukan hanya prasasti pertama di Indonesia, tetapi juga bukti transisi dari masa prasejarah ke sejarah.
Ia mendukung penuh pengajuan Yupa ke UNESCO, seraya menekankan pentingnya penelitian bahasa Melayu kuno sebagai akar bahasa Indonesia modern
Baca juga Isi Prasasti Desa Upit: Bukti Klaten Sudah Ada Sejak Era Mataram Kuno
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News