Dalam diskusi yang diselenggarakan Sajogyo Institute pada 21 Juli 2025, para ahli dan perwakilan masyarakat adat memaparkan adanya ancaman terhadap sistem pangan tradisional Indonesia.
"Kita sedang menghadapi krisis pangan yang sebenarnya bukan karena kurang produksi, tetapi karena salah urus sistem pangan nasional,” kata Kiagus M. Iqbal dari SAINS dan Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat.
Forum yang mengangkat tema "Pengesahan UU Masyarakat Adat dan Jalan Pulang Daulat Pangan" ini mengungkap bagaimana kebijakan pangan yang seragam dan industrialisasi pertanian telah menggerus kearifan lokal yang justru menjadi solusi ketahanan pangan.
Iqbal menegaskan bahwa pengesahan UU Masyarakat Adat bukan hanya tentang pengakuan hak, tetapi juga tentang menyelamatkan sistem pangan berkelanjutan warisan leluhur yang terbukti mampu bertahan dalam berbagai kondisi krisis.
Ancaman Industrialisasi Pertanian terhadap Kedaulatan Pangan
Iqbal memaparkan dengan rinci bagaimana sistem pertanian industrial telah merusak ekosistem. "Pertanian modern dengan pupuk kimia dan benih hibrida mungkin meningkatkan produksi jangka pendek, tetapi dalam 5-10 tahun, tanah akan kehilangan kesuburannya. Sementara sistem pertanian masyarakat adat justru meningkatkan kesuburan tanah dari tahun ke tahun," jelasnya.
"Yang lebih memprihatinkan," lanjut Iqbal, "Indonesia telah menjadi salah satu negara pengimpor benih terbesar di Asia Tenggara. Bagaimana mungkin kita bicara kedaulatan pangan ketika benih sayuran kita berasal dari luar negeri?"
Data dari Kementerian Pertanian yang ia tunjukkan mengungkapkan bahwa ketergantungan pada benih impor telah meningkat dalam dekade terakhir, membuat petani semakin terjebak dalam lingkaran utang kepada perusahaan multinasional.
Belajar Ketahanan Pangan dari Masyarakat Adat
Irsyadudin dari Forum KAWAL sekaligus perwakilan masyarakat adat kasepuhan di Banten membagikan pengalaman praktis yang dilakukan di sana. "Di Kasepuhan Ciptagelar, kami masih mempertahankan sistem 'leuit' (lumbung padi) yang bisa menjamin ketersediaan pangan untuk 3-5 tahun ke depan," katanya.
Sistem ini telah terbukti efektif ketika krisis pangan melanda selama pandemi Covid-19. Namun, Irsyadudin juga mengungkapkan tantangan berat yang dihadapi. "Anak muda sekarang lebih tertarik kerja di pabrik daripada belajar menjadi petani. Setiap tahun, sebagian pemuda di komunitas kami memilih merantau ke kota.”
Baca juga Suara-suara Iklim dari Ujung Timur Indonesia: Ketika Jurnalis Bertemu Masyarakat Adat
Perlu Reformasi Kebijakan
Marthin Hadiwinata dari FIAN Indonesia menyoroti kegagalan sistemik dalam kebijakan pangan nasional. "Laporan Special Rapporteur PBB tentang Hak atas Pangan tahun 2023 menyatakan negara telah gagal melindungi hak pangan masyarakat," paparnya.
Ia menunjuk tiga kegagalan utama: "Pertama, kegagalan regulasi dimana UU Perlindungan Masyarakat Adat sudah dibahas 20 tahun tapi belum juga disahkan. Kedua, kegagalan implementasi dimana program ketahanan pangan tidak menyentuh masyarakat adat. Ketiga, kegagalan penegakan hukum dimana konflik agraria melibatkan masyarakat adat terus meningkat."
UU Masyarakat Adat untuk Kedaulatan Pangan
Pengesahan Undang-Undang Masyarakat Adat bukan sekadar wacana politik, melainkan kebutuhan mendesak untuk mewujudkan kedaulatan pangan yang berkelanjutan. Sebagaimana ditegaskan dalam diskusi, hak atas pangan merupakan hak dasar yang harus dijamin negara—baik dengan memastikan akses produksi maupun distribusi pangan yang adil.
Masyarakat adat selama ini telah membuktikan kemampuan mereka dalam menjaga ketahanan pangan melalui sistem pertanian tradisional yang adaptif dan ramah lingkungan. Namun, tanpa pengakuan hukum yang kuat, praktik-praktik berharga ini terus terancam oleh ekspansi industri dan kebijakan pangan yang seragam.
Iqbal menyatakan optimisme bahwa UU ini dapat segera disahkan jika pemerintah benar-benar menunjukkan keberpihakan. Adapun langkah konkret yang harus segera diambil adalah membangun mekanisme partisipatif yang melibatkan masyarakat adat dalam setiap pengambilan kebijakan. "Pemerintah harus terbuka dan banyak mendengar,” ujar Iqbal.
Selain itu, negara harus memastikan perlindungan terhadap sistem pangan lokal yang telah dijalankan masyarakat adat selama berabad-abad. Ini berarti menghentikan kriminalisasi terhadap petani adat yang mempertahankan lahannya, serta meninjau ulang izin-izin korporasi yang mengancam wilayah kelola tradisional.
Pelajaran dari Kasepuhan Banten dan komunitas adat lainnya membuktikan bahwa ketahanan pangan sejati lahir dari penghormatan terhadap kearifan lokal. Jika pemerintah serius mewujudkan kedaulatan pangan, maka pengesahan UU Masyarakat Adat harus dibarengi dengan komitmen nyata: mendengarkan, melindungi, dan memberdayakan masyarakat adat.
Baca juga Belajar Ketahanan Pangan dari Masyarakat Adat Suku Boti di Pulau Timor
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News