Di tengah gempuran video joget di Tiktok, meme, dan banjir konten viral lainnya, sekelompok orang di ujung timur Indonesia memilih membahas hal yang tak biasa: krisis iklim. Tapi bukan sekadar seminar teknis. Ini adalah momen pertemuan dua aktor penting dalam perjuangan lingkungan: jurnalis dan masyarakat adat.
Pada hari Senin, 21 Juli 2025, sebanyak 20 jurnalis dari media cetak, daring, televisi, radio, hingga jurnalis komunitas berkumpul di Auditorium Drs. Lambert Jitmau, Kantor Wali Kota Sorong, Papua Barat Daya. Mereka hadir dalam Diskusi Tematik Jurnalistik: Aksi Iklim Berkeadilan di Tanah Papua, sebuah forum yang menjadi titik temu antara pena dan pengetahuan lokal—antara pembuat berita dan penjaga hutan.
Pertemuan ini bukan hanya soal pelatihan, tetapi pengakuan: bahwa suara dari akar rumput, dari kampung-kampung adat, layak didengar di tengah riuhnya diskursus nasional soal perubahan iklim.
Mengguncang Pola Konsumsi Media
“Kita ini sedang berteriak di tengah badai algoritma.” Kalimat itu dilontarkan oleh Akhyari Hananto, pendiri Good News From Indonesia. Ia mengawali sesinya dengan realitas digital yang mencemaskan: minat baca menurun, attention span publik menyusut hingga 40 detik, dan media sosial lebih memprioritaskan konten ringan dibanding krisis nyata seperti perubahan iklim.
“Tulisan panjang kini kalah bersaing dengan video dance. Artikel mendalam tenggelam di antara meme dan deepfake,” katanya, mengutip data Digital News Report 2023. Ia mengajak jurnalis untuk tidak sekadar bertahan, tetapi berevolusi.
Menurut Akhyari, teknologi yang ada di genggaman bisa menjadi alat perubahan, asal digunakan dengan strategi yang tepat. “Jangan mengejar atensi. Bangun daya tarik. Gunakan konten visual, bangkitkan emosi, dan konsisten menyuarakan,” ujarnya sambil memaparkan Pyramid of Shareability, kerangka mengapa orang mau membagikan sebuah konten.
“Social media tidak suka hard truth. Tapi bukan berarti kita tidak bisa menyisipkannya di dalam konten yang relatable. Kita hanya perlu cerdas menyajikannya,” pungkasnya.
Fakta Lapangan, Bukan Narasi Elit
Safwa Ashari Raharusun, jurnalis Tribun Sorong dan anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Sorong, mempertegas bahwa jurnalisme seharusnya tak hanya menyampaikan fakta, tetapi menjadi alat advokasi untuk mendesak kebijakan yang berpihak pada lingkungan dan masyarakat.
“Pemerintah butuh tekanan publik. Dan tekanan itu datang dari pemberitaan yang kuat—yang berbasis pada realitas di lapangan,” katanya. Ia juga menekankan pentingnya kemitraan antara jurnalis, masyarakat sipil, dan komunitas adat agar informasi yang diangkat tidak elitis, melainkan inklusif dan relevan.
Menurut Safwa, data dan kisah dari masyarakat lokal bukan hanya bahan berita. Ia adalah amunisi untuk mendorong perubahan nyata di tingkat kebijakan.
Dari Sorong untuk Dunia
Sesi terakhir menghadirkan Zacharias A. Inaury, Koordinator Program Voice for Climate Action (VCA) Tanah Papua dari WWF Indonesia. Ia memaparkan bagaimana VCA dalam lima tahun terakhir membangun kapasitas komunitas lokal, pemuda adat, dan kelompok perempuan untuk menyuarakan aksi iklim lewat jurnalisme warga dan media sosial.
“Kami tidak hanya mengadvokasi di atas kertas. Kami melatih anak-anak muda Papua untuk menjadi produsen pengetahuan—agar cerita mereka tidak hilang, dan agar solusi lokal diakui,” katanya. Menurutnya, banyak inisiatif masyarakat adat yang terbukti efektif tapi jarang terdengar karena tidak terdokumentasi secara layak.
VCA berupaya menjembatani celah itu. Dengan menggandeng jurnalis, aktivis, dan komunitas, mereka membangun ekosistem di mana pengetahuan lokal tidak lagi dianggap pinggiran, tapi menjadi pijakan dalam kebijakan iklim.
Menyulam Suara Lokal dalam Festival Iklim
Kegiatan diskusi tematik ini merupakan bagian dari rangkaian Climate Champion Festival yang berlangsung selama tiga hari, dari 21 hingga 23 Juli 2025 di Kota Sorong, Papua Barat Daya. Festival ini digagas oleh Aliansi C4Ledger bersama WWF Tanah Papua, untuk mendorong sinergi media, komunitas, dan masyarakat adat dalam menyuarakan aksi iklim lokal yang adil dan berkelanjutan.
“Ini bukan tentang membuat isu iklim jadi viral. Tapi membuatnya relevan dan terasa dekat,” ujar Febrilia Ekawati, Direktur Eksekutif YKWS yang memoderatori kegiatan tersebut.
Di sinilah peran media dan jurnalis menjadi vital—menyuarakan, mencatat, dan menyampaikan bahwa dari ujung timur Indonesia, suara-suara iklim tak lagi hanya bisikan dari kampung terpencil. Mereka kini menggema lewat berita, konten digital, dan advokasi publik.
Dan ketika jurnalis bertemu masyarakat adat, suara itu tak hanya terdengar.
Ia mulai mengubah.
Tentang VCA Indonesia
Voice for Climate Action (VCA) merupakan bagian dari program global Power of Voices yang didukung oleh Kementerian Luar Negeri Belanda. Di Indonesia, VCA diimplementasikan oleh berbagai mitra lokal seperti C4Ledger dan WWF Indonesia, dengan fokus pada penguatan kapasitas masyarakat sipil dan komunitas adat dalam advokasi iklim yang inklusif dan berkeadilan.
Melalui jaringan Inclusiveness Climate Management Network (Inclick-Mnet) di wilayah seperti DKI Jakarta, NTT, dan seluruh Tanah Papua, VCA mendorong dokumentasi, penyebaran, dan perantaraan pengetahuan berbasis komunitas. Salah satu tantangan utama yang ingin dipecahkan adalah dominasi pendekatan teknis-ilmiah dalam isu iklim, yang kerap mengabaikan pengetahuan lokal yang justru efektif dan adaptif.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News