Wilayah Depok pada era VOC, dahulu dikenal dengan nama Ommelanden. Wilayah Ommelanden memiliki sejarah panjang tentang penduduk dan sumber daya alamnya. Salah satunya adalah perkebunan gula dan budak.
Sejak tahun 1600-an, VOC telah menduduki Batavia sebagai ibukota koloninya, dan Depok tentunya menjadi wilayah pendukung yang menyuplai tenaga kerja dan sumber daya alamnya demi kepentingan perdagangan VOC.
Budak merupakan salah satu komoditas sumber daya manusia yang vital bagi keberlangsungan hidup masyarakat Eropa dalam diding kota Batavia.
Budak sebagai Sumber Daya dan Pendapatan Utama Ommelanden

Perdagangan Budak di Depok hingga Batavia Sumber : Majalah Tijdschrift voor Nederlandsch Indië, 1853
Ommelanden yang berarti "wilayah sekitaran" Batavia telah lama sekali menjadi wilayah pendukung Batavia, bahkan sebelum pemerintahan Hindia-Belanda berdiri. VOC yang pada saat itu memiliki jaringan perdagangan yang sangat luas hingga pesisir Afrika, tentunya membutuhkan modal tenaga kerja yang banyak pula dan budak menjadi salah satu opsi bagi kelangsungan ekonomi di Depok/ Ommelanden.
Budak-budak yang diimpor dan diperdagangkan berasal dari berbagai wilayah di Asia Tenggara. Sejarawan Belanda, Dr. Alicia Schrikker menyatakan dalam bukunya, "Being a Slave" bahwa salah seorang budak wanita yang bernama Boenga van Johor yang diimpor dari Johor untuk ditransitkan di Ommelanden hingga akhirnya dikirim ke Afrika Selatan.
Boenga dikirim dengan kapal "Barbestein" milik VOC dan direncanakan berlayar ke Belanda melalui Sri Lanka dan Tanjung Harapan pada Oktober 1735. Banyak sejarawan yang telah meneliti mengenai Perbudakan.
Sejarawan Universitas Indonesia, Dr. Bondan Kanumoyoso telah menjelaskan pula dalam bukunya yang berjudul Beyond the City Wall, bahwa banyak budak yang bekerja di sektor pertanian sebagai petani tebu, menjadi tukang kebun, serta menggembala ternak jauh dari kota.
Jumlah budak yang terdapat di Depok/Ommelanden sangatbesar dan menunjukkan bahwa perbudakan di Batavia bukanlah fenomena yang terbatas pada kota itu sendiri.
Penjualan Budak di Depok dan Harganya
Mengenai penjualannya, dijelaskan dalam penelitian Mulyanto dalam Jurnal Historia Madania, Vol. 6, 2022 bahwa harga budak berbeda-beda karena ada perbedaan etnis antara orang yang membeli dan orang yang menjual.
Perbedaan harga ini juga terjadi karena adanya perbedaan lingkungan benteng kota Batavia, yaitu antara "kota dalam" dan "kota luar" benteng.
Kota dalam dihuni oleh orang kulit putih Eropa yang tinggal di balik benteng, sedangkan kota luar (Ommelanden/Bogor-Depok) dihuni oleh orang yang tinggal di luar benteng. Perbedaan ini terasa jelas ketika dalam dokumen notaris tercatat tempat tinggal seseorang sebagai "di dalam" atau "di luar".
Seluruh naik-turunnya harga budak tersebut dicatat dalam administrasi Boekhouder-Generaal Batavia (Bendahara Umum Batavia). Sedangkan penetapan harganya bergantung pada arsip-arsip notaris Ommelanden dan Batavia yang bernama Notarieel Archief (arsip kenotariatan) untuk melacak kebangsaan budak dagangan dan tolok ukur penentuan harga
Misalnya, dua budak Bugis dan satu budak Mandar pada tanggal 8 November 1723 tercatat pernah terjual seharga 255 rijksdaalders (mata uang VOC tahun 1723).
Jika dibandingkan dengan kurs masa kini, 1 rijksdaalders sama dengan 3 gulden. Maka, 255 rijksdaalders sama dengan kurang lebih Rp6.120.000.
Dengan demikian, Depok yang dikenal sebagai kota besar sekaligus sebagai suburban Jakarta sebenarnya memiliki sejarah panjang yang belum banyak diketahui khalayak umum.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa Depok-Jakarta merupakan wilayah yang dibentuk di atas dinamika berbagai etnis dari Asia Tenggara, bahkan hingga Johor dalam kaitannya sebagai Pasar Budak terbesar di Asia Tenggara.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News