Di Pegunungan Arfak, Papua Barat, selain keindahan alamnya, ada juga suku Arfak sebagai penduduk asli daerah ini. Suku ini merupakan suku besar dengan beberapa subsuku.
Banyak keunikan yang bisa diulas dari suku ini. Contohnya adalah rumah kaki seribu yang merupakan rumah adat dari suku Arfak. Selain itu, kerukunan dan keramahan sangat dijunjung oleh mereka.
Penasaran dengan siapa dan keunikan suku ini? Simak artikel ini sampai habis!
Baca juga: 5 Senjata Tradisional dari Papua Barat, untuk Berburu hingga Perang
Siapa Itu Suku Arfak?
Suku Arfak adalah masyarakat yang mendiami wilayah Pegunungan Arfak, Provinsi Papua Barat. Letaknya bersebelahan dengan Manokwari di sisi utara, Kabupaten Manokwari Selatan di sisi timur, Kabupaten Teluk Bintuni di sisi selatan, dan Kabupaten Sorong Selatan di sisi barat.
Nama ‘Arfak’ digunakan sesuai dengan tempat tinggalnya yang artinya adalah orang-orang yang tinggal di Pegunungan Arfak.
Suku Arfak merupakan satu suku besar dengan empat subsuku, yaitu Hatam, Sough, Meyah, dan Moile. Budaya keempatnya tidak berbeda jauh, tetapi memiliki wilayah dan bahasa yang berbeda.
Mata pencaharian masyarakat Arfak adalah bertani dan berburu. Cara mereka bertani dengan metode lahan berpindah setelah satu atau dua kali panen dan mereka biarkan saja sampai menjadi hutan kembali.
Keunikan dari Suku Arfak
Setiap suku di Indonesia memiliki keunikannya sendiri-sendiri, begitu juga dengan suku Arfak. Berikut beberapa keunikan dari suku asli Papua Barat ini.
1. Rumah Kaki Seribu
Rumah kaki seribu adalah rumah khas masyarakat Arfak. Rumah ini disebut ig mam dalam bahasa, ibeiya dalam bahasa Moile, tu misen dalam bahasa Sough, dan mod aki aksa dalam bahasa Meyah.
Rumah ini berbentuk panggung untuk pertahanan diri dari hewan buas. Disebut kaki seribu karena banyaknya tiang di kolong rumah.
Uniknya, rumah ini hanya memiliki dua pintu untuk keluar masuk dan tidak ada jendela. Ada lebih dari 1 kepala keluarga yang mendiaminya.
Pada tahun 2016, rumah ini ditetapkan sebagai salah satu Warisan Budaya takBenda Indonesia.
2. Tari Magasa
Tari magasa adalah tarian khas suku Arfak yang dilakukan saat merayakan kemenangan atas perang. Tarian ini dianggap sebagai simbol persatuan karena kemenangan bisa didapatkan dari persatuan pasukan.
Tarian ini dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang berbaris memanjang dan berselang-seling. Karena panjangnya ini, tari magasa juga disebut dengan tari ular.
Praktik tari ini, para penari melompat-lompat sambil bergandengan tangan dan berdiri berhimpitan. Syair lagu tanpa pengiring mereka nyanyikan selama menari.
Laki-laki mengenakan pakaian adat yang khas dengan menggunakan cawat dan hiasan kepala dari bulu burung kasuari atau cendrawasih. Mereka juga membawa senjata seperti tombak atau parang.
Perempuan memakai kain yang menutupi dada hingga mata kaki. Hiasan seperti bunga atau daun pohon sagu digunakan untuk menghiasi kepala mereka.
Selain untuk merayakan kemenangan atas perang, tari magasa juga dilakukan pada waktu penting, seperti menyambut tamu, pesta pernikahan, hingga panen raya.
3. Masyarakat Arfak dan Alam
Tempat tinggal suku Arfak tidak jauh-jauh dari hutan karena sebagian besar wilayah Pegunungan Arfak adalah hutan yang membentang hingga lembah.
Kearifan lokal menjadi salah satu upaya untuk mempertahankan ekosistem hutan, seperti prinsip yang dipegang oleh setiap subsuku.
Suku Hatam membagi hutan ke dalam empat wilayah, susti, bahamti, nimahamti, dan tumti. Susti digunakan untuk tempat tinggal dan berkebun. Nimahamti, wilayah hutan yang dimanfaatkan kayunya dengan persetujuan kepala suku. Bahamti adalah hutan berlumut dan tumti yang merupakan puncak gunung.
Pada suku Moile, ibeiya tidak boleh dibuat dengan sembarangan kayu. Perlu doa-doa dari tetua adat saat memilih pohon. Pohon yang dipilih pun harus dipotong daunnya dan ditinggal selama 1 atau 2 bulan baru ditebang. Hal ini bisa untuk mencegah terjadinya erosi.
Suku Sough memiliki filosofi mastogow hanjob, artinya menjaga batas. Mereka menganggap hutan sebagai ibu dan harus menggunakan kekayaannya hanya sebatas kebutuhan saja.
Sedangkan suku Meyah memiliki aturan ig ya ser yang artinya berdiri menjaga. Mereka menggunakan hutan untuk kelangsungan hidup, seperti berburu, berladang, berkebun, dan memanfaatkan kayu. Ig ya ser mereka pegang untuk menjaga kelestariannya.
Baca juga: Tidak Hanya Hewan, Rumah Khas Suku Arfak pun Berkaki Seribu
Suku Arfak ini merupakan salah satu suku asli di tanah Papua, tepatnya di Kepala Burung (vogelkop). Semoga artikel bisa menambah wawasan Kawan GNFI mengenai kekayaan Papua dan Indonesia.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News