Kabar penemuan terbaru cadangan uranium sejumlah 24.112 ton pada Rabu (18/06/2025) di Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat telah memicu reaksi positif dari pemerintah. Presiden Prabowo Subianto menargetkan pemanfaatan uranium sebagai energi untuk Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Yuliot Tanjung, menjelaskan saat ini pemerintah sedang menyusun regulasi pengolahan uranium menjadi pembangkit listrik. Penyusunan regulasi ini bertujuan untuk menghindari efek samping terhadap lingkungan dan kehidupan makhluk hidup.
Nantinya, pengolahan ini akan diajukan perizinan mengingat pengawasan di wilayah radioaktif lebih ketat daripada sektor lainnya. Proses penyusunan regulasi dan pengolahan uranium juga akan melibatkan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten).
Sebelumnya, pengembangan energi nuklir telah menjadi bagian dari Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) tahun 2025–2034. Pembangunan ini akan dilaksanakan pada tahun 2027 dan beroperasi pada 2034 dengan fokus wilayah di Sumatera dan Kalimantan di mana kapasitas daya masing-masing PLTN mencapai 250 MW.
Bagaimana Regulasi Indonesia tentang Pengelolaan Energi Nuklir?
Indonesia telah memiliki regulasi yang berkaitan dengan penggunaan energi nuklir. Dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi salah satunya mencantumkan bahwa sumber energi nuklir harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Adapun diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran.
Meskipun telah memiliki regulasi, nyatanya aspek keamanan belum cukup diatur dengan baik dalam UU Ketenaganukliran. Undang-undang tersebut hanya mengakomodasi keamanan pemegang izin.
Terkait upaya pemerintah, sejauh ini telah disusun Rancangan Undang-undang tentang Energi Baru dan Energi Terbarukan yang merupakan Program Legislasi Nasional Prioritas (Prolegnas) tahun 2023. Adanya RUU EBET diharapkan menjadi payung hukum mengenai energi baru dan energi terbarukan guna mendorong pembangunan berkelanjutan, khususnya di bidang energi nuklir.
Dalam menyiapkan pengaturan energi nuklir, pemerintah harus memperhatikan asas pembentukan peraturan yang baik. Hal ini guna menunjang keberlangsungan pemanfaatan dan pengembangan energi nuklir.
Asas tersebut meliputi prinsip keselamatan, keamanan, pertanggungjawaban, perizinan, pengendalian berkelanjutan, kompensasi, pembangunan berkelanjutan, kepatuhan, independensi, transparansi, dan kerja sama internasional.
Selanjutnya, pembentukan peraturan yang baik harus melibatkan berbagai pihak yang memiliki kewenangan dalam menyusun dan merumuskan RUU EBET. Aspek kelembagaan perlu diatur secara rinci, termasuk tugas dan wewenangnya dalam pengembangan nuklir.
Kemudian, perlu dibentuk Majelis Tenaga Nuklir yang bertanggung jawab dalam merancang, merumuskan, menetapkan, dan mengelola program tenaga nuklir nasional. Komposisi Majelis Tenaga Nuklir harus mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan ketenaganukliran, seperti akademisi, ahli ketenaganukliran, dan perwakilan masyarakat, dengan komposisi yang sesuai.
Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) secara berkala harus mengawasi kegiatan ketenaganukliran dari semua pihak yang terlibat. Proses pengambilan keputusan harus dilakukan dengan hati-hati dan matang, dengan memperhatikan aspek dari berbagai sektor dan dampaknya.
Bagaimana Langkah Pemerintah dalam Mengatasi Permasalahan Lingkungan Akibat Energi Nuklir?
Pengembangan dan pengelolaan energi selalu berkaitan dengan mitigasi adanya insiden yang akan terjadi maupun kerusakan yang ditimbulkan. Mitigasi perlu dilakukan untuk menciptakan kepastian hukum jika dalam proses pengembangan energi nuklir dihadapkan pada permasalahan hukum terkait lingkungan.
Untuk mengatasi permasalahan dalam lingkungan, maka dalam regulasi RUU EBET perlu mengatur tentang pengolahan limbah radioaktif. Tindakan pencegahan harus diambil dalam rangka mengurangi dampak yang terjadi pada lingkungan dan masyarakat.
Dengan menerapkan protokol pengelolaan limbah berstandar internasional serta melakukan kerja sama dengan komunitas internasional, diharapkan dapat memberikan perlindungan terhadap lingkungan.
Tentunya pengaturan hukum yang dibuat harus kuat dan bersifat mengikat. Oleh karenanya, ketentuan pidana dalam RUU EBET harus diatur dengan jelas dan menimbulkan jera untuk mencegah tindakan kriminal yang dapat mengancam keselamatan nuklir dan keberlanjutan energi.
Selain itu, perlu pengkajian yang matang dalam studi kelayakan dan analisis dampak lingkungan. Hal ini penting untuk memastikan bahwa pengelolaan energi nuklir dapat memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat dan lingkungan, sekaligus meminimalisir potensi risiko.
Apa Saja Tantangan dalam Pemanfaatan Energi Nuklir?
Pengembangan program energi nuklir dihadapkan pada beberapa tantangan. Pertama, opini publik terhadap energi nuklir. Ketakutan publik akan bencana nuklir, radiasi, dan limbah radioaktif menjadi landasan bahwa pengelolaan energi nuklir berisiko tinggi dan dapat menyebabkan bencana yang luas.
Kekhawatiran ini dipicu oleh insiden besar di masa lalu, seperti tragedi Chernobyl (1986) dan Fukushima (2011). Akibat kelalaian manusia, kegagalan desain reaktor, dan didukung bencana alam yang ekstrim meski tidak memakan korban di Fukushima, tetap menunjukkan bahwa kecelakaan nuklir dapat mengakibatkan efek yang serius.
Kedua,pengelolaan limbah nuklir menjadi hambatan karena mengandung isotop berbahaya yang dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama, bahkan ribuan tahun. Radiasi yang dipancarkan akan mengancam kesehatan, seperti kerusakan DNA, peningkatan risiko kanker, dan gangguan pada sistem saraf serta organ dalam.
Ini akan sangat berisiko jika Indonesia belum memiliki fasilitas penyimpanan akhir yang memadai, meskipun Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) telah mengidentifikasi wilayah Kalimantan sebagai kandidat potensial berdasarkan studi geoteknik tahun 2023.
Tantangan diperparah oleh keterbatasan teknologi vitrification dalam negeri, sehingga mengharuskan impor sistem pemrosesan limbah dari Perancis atau Rusia yang tentunya akan memerlukan biaya yang sangat besar.
Ketiga, lokasi Indonesia di Cincin Api Pasifik menimbulkan potensi paparan gempa berkekuatan >7 SR dan tsunami >10 meter. Reaktor di Semenanjung Muria, misalnya, harus didesain dengan sistem base isolation yang memiliki daya tahan guncangan 0.6g dan dinding containment setebal 2 meter untuk mitigasi kebocoran.
Oleh karena itu, perlu diadakan studi tapak yang mencakup analisis kegempaan, potensi likuefaksi, dan histori bencana. Selain itu, harus didukung Probabilistic Safety Assessment (PSA) dan perencanaan tanggap darurat untuk skenario ekstrem, seperti gempa diikuti tsunami.
Keempat, keterbatasan sumber daya manusia menyebabkan Indonesia terus bergantung pada pihak luar negeri. Hal ini dibuktikan dengan pendidikan nuklir yang masih sangat terbatas dan hanya ada dua universitas di Indonesia yang memiliki program mengenai nuklir, yaitu UGM dan ITB.
Kurikulum yang tersedia cenderung masih berfokus pada teori dasar dan belum banyak menyentuh pokok studi nuklir.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News