Di dataran tinggi Toraja, Sulawesi Selatan, ada tradisi Rambu Solo’ berdiri sebagai salah satu upacara kematian paling megah dan mahal di dunia. Lebih dari sekadar ritual pemakaman. Rambu Solo’ adalah perayaan budaya yang mengantarkan arwah menuju alam roh, memuliakan leluhur, dan memperkuat ikatan komunal masyarakat Toraja.
Dengan pengorbanan ratusan hewan, nyanyian sakral, dan prosesi yang sarat makna, tradisi ini mencerminkan kearifan lokal yang telah bertahan sejak abad ke-9. Dari arak-arakan jenazah hingga penyembelihan kerbau belang.
Rambu Solo’ bukan hanya soal kehilangan, tetapi juga tentang gotong royong, kebanggaan sosial, dan transaksi ekonomi raksasa yang menghidupkan roda kehidupan masyarakat Toraja.
Rambu Solo’ Simbol Kehormatan dan Perjalanan Arwah
Rambu Solo’, berasal dari kepercayaan Aluk Todolo, mengandung makna mendalam “aluk” berarti keyakinan, “rambu” merujuk pada asap atau sinar, dan “solo” berarti turun, merujuk pada pelaksanaan upacara saat matahari terbenam.
Dikenal juga sebagai aluk rampe matampu, tradisi ini telah dijalankan sejak abad ke-9 dan terus diwariskan hingga kini. Upacara ini bertujuan untuk menghormati, memuliakan, dan menyempurnakan perjalanan arwah menuju alam roh, sekaligus memperkuat ikatan keluarga dan komunitas.
Rambu Solo’ bukan sekadar ritual spiritual, tetapi juga transaksi ekonomi besar yang melibatkan berbagai pihak. Upacara ini menghidupkan perekonomian lokal, mencakup peternakan babi dan kerbau, jasa pembawa acara, dekorasi, penyewaan sound system, hingga logistik makanan dan minuman seperti tuak, ikan, beras, hingga minuman kemasan.
Pemberian hewan kurban, seperti babi atau kerbau, menjadi simbol ikatan keluarga (rara buku), menandakan hubungan darah, perkawinan, atau kedekatan emosional. Ada dua jenis pemberian yakni pa’uaimata sebagai tanda duka dan kasih, serta tangkean suru’ sebagai pengembalian pemberian masa lalu ketika keluarga telah mampu secara finansial.
Stratifikasi Sosial dalam Upacara
Rambu Solo’ mencerminkan struktur sosial masyarakat Toraja yang terbagi dalam sistem Tana’ atau kasta, yang menentukan jenis dan skala upacara. Upacara ini terdiri dari beberapa tingkatan, masing-masing disesuaikan dengan status sosial almarhum:
- Didedekan Palungan dan Disilli’: Digelar untuk semua kelas sosial, terutama untuk kematian anak yang belum tumbuh gigi.
- Dibai Tungga’ dan Dibai A’pa’: Khusus untuk golongan budak, meskipun terbuka bagi yang mampu menanggung biaya.
- Tedong Tungga’: Berlaku untuk semua kelas, termasuk budak, dengan biaya yang lebih terjangkau.
- Tedong Tallu/Tallung Bongi: Untuk golongan Tana’ Karurung ke atas, menengah hingga bangsawan.
- Tedong Pitu/Limang Bongi dan Tedong Kasera/Pitung Bongi: Eksklusif untuk bangsawan tinggi (Tana’ Bassi dan Tana’ Bulaan).
- Rapasan: Upacara termegah untuk bangsawan tinggi, melibatkan pengorbanan hewan dalam jumlah besar.
Tingkatan ini mencerminkan empat strata utama: Dasilli’ (terendah, untuk anak atau Tana’ rendah), Dipasangbongi (untuk rakyat biasa, satu malam), Dibatang/Digoya Tedong (untuk bangsawan menengah, dengan penyembelihan kerbau harian), dan Rapasan (untuk bangsawan tinggi, didanai bersama keluarga besar).
Upacara Rapasan sering menjadi pilihan karena alasan ekonomis, meskipun tetap membutuhkan biaya besar.
Tata Cara dan Makna Simbolis
Pelaksanaan Rambu Solo’ melibatkan persiapan matang, seperti pertemuan keluarga, pembuatan pondok upacara, penyediaan peralatan, dan pengumpulan hewan kurban. Upacara ini berlangsung selama 3-7 hari, dengan jumlah kerbau yang disembelih bervariasi sesuai strata sosial, bisa mencapai 24 hingga 100 ekor untuk bangsawan tinggi, ditambah ratusan babi.
Kerbau belang (tedong bonga), yang harganya bisa mencapai ratusan juta rupiah, menjadi pengorbanan utama, menjadikan biaya keseluruhan upacara mencapai miliaran rupiah. Jika keluarga belum mampu menyediakan hewan kurban, jenazah disimpan bertahun-tahun di rumah atau tongkonan (rumah adat Toraja) hingga persiapan selesai.
Prosesi ini mencakup ritual simbolis seperti Mappassulu’ (persiapan jenazah), Mangriu’ Batu (pemindahan jenazah), Ma’popengkaloa (penyembelihan hewan), Ma’pasonglo (arak-arakan jenazah), Mantanu Tedong (penyembelihan kerbau), dan Mappasilaga Tedong (pertunjukan adu kerbau).
Arak-arakan jenazah ke tebing sebagai tempat peristirahatan terakhir menggambarkan keyakinan bahwa arwah harus diantarkan menghadap Tuhan. Tradisi ini juga mencakup nyanyian sakral, simbol bangsawan, dan pertunjukan seni untuk memeriahkan upacara.
Rambu Solo’ mengandung nilai-nilai luhur seperti gotong royong, tolong-menolong, dan kepercayaan antarwarga, yang memperkuat jaringan sosial masyarakat Toraja, khususnya di Lembang Lea. Namun, biaya yang sangat besar menimbulkan tantangan.
Penyembelihan ratusan hingga ribuan hewan dan durasi panjang upacara membebani keluarga secara finansial, meskipun tidak selalu menghasilkan keuntungan ekonomi langsung. Dalam beberapa tahun terakhir, upacara ini mulai diwarnai aktivitas ekonomi, seperti perdagangan ternak, makanan, dan jasa, yang memberikan manfaat bagi komunitas lokal. Sejarah mencatat bahwa tradisi ini juga menyimpan cerita unik.
Pada masa agresi Belanda kedua, leluhur Toraja diyakini mampu membuat jenazah berjalan menuju tebing peristirahatan terakhir, menambah dimensi mistis pada Rambu Solo’. Meski kini tradisi tersebut tidak lagi dilakukan, upacara ini tetap menjadi pilar budaya Toraja, mencerminkan identitas mereka sebagai masyarakat yang menghormati leluhur dan menjaga harmoni sosial.
Rambu Solo’ bukan hanya upacara kematian, tetapi juga cerminan kearifan budaya Toraja yang kaya akan simbolisme, solidaritas, dan spiritualitas. Meski biayanya mahal dan menuntut persiapan besar, tradisi ini terus hidup sebagai bentuk penghormatan terhadap arwah dan penguatan ikatan komunal.
Dengan nilai-nilai gotong royong dan jaringan sosial yang kuat, Rambu Solo’ tetap menjadi warisan luhur yang tidak hanya memuliakan kematian, tetapi juga merayakan kehidupan masyarakat Toraja.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News