Halo, Kawan GNFI!
Saat mendengar kata rumah adat, yang terbayang di benak kita mungkin adalah bangunan tempat tinggal khas Nusantara, tempat bernaung dari panas dan hujan. Namun, di Desa Dondai, Papua, ada satu rumah adat yang unik dan berbeda fungsi. Namanya Para-Para.
Rumah ini bukan untuk tidur atau berteduh, melainkan menjadi jantung dari kehidupan sosial, budaya, dan spiritual masyarakat Dondai.
Apa Itu Para-Para?
Para-Para adalah rumah adat milik Suku Dondai di Distrik Waibu, Kabupaten Jayapura. Keunikannya terletak pada fungsi sosialnya yang bukan sebagai hunian, melainkan sebagai pusat kegiatan komunitas.
Rumah ini digunakan untuk bermusyawarah, menyambut tamu kehormatan, menyelesaikan konflik, hingga menjalankan ritual adat dan menjaga kesinambungan tradisi leluhur.
Dilansir dari penelitian I Wayan Rai (2023) dalam artikel “The Cultural Meaning of Para-Para for the Dondai Villager, Papua”, Para-Para memiliki arsitektur yang khas.
Pisuwe: Keris Tulang Asmat yang Menyimpan Kisah Roh Leluhur Papua
Bangunan ini memiliki dimensi 20 meter panjang, 10 meter lebar, dan 8 meter tinggi. Ia berdiri kokoh di atas 11 tiang kayu besar, dan memiliki atap tiga tingkat. 3 tingkat atap ini bukan sekadar estetika, tetapi simbol relasi tiga kelompok leluhur utama masyarakat Dondai, yaitu: Dike, Walli, dan Daimoe.
Fungsi Sosial dan Budaya Para-Para
Di Para-Para, warga kampung berkumpul untuk membahas berbagai hal penting seperti pernikahan adat, panen, atau keputusan strategis.
Yang menarik, dikutip dari penelitian I Wayan Rai (2023), tidak ada voting atau suara mayoritas. Keputusan diambil melalui musyawarah mufakat, dan peran penting dimainkan oleh Ondoafi, yaitu tetua adat yang dihormati. Tradisi deliberatif ini mencerminkan nilai kesetaraan dan kebersamaan yang telah dijaga secara turun-temurun.
Lebih dari sekadar tempat diskusi, Para-Para juga menjadi ruang resolusi konflik antarkeluarga atau antar kampung. Ia berfungsi sebagai ruang damai, di mana konflik diselesaikan bukan dengan kekerasan, melainkan dengan dialog dan simbol adat.
Di tempat ini pula sering diadakan diskusi tentang pelestarian budaya, seperti seni ukir, tari tradisional, dan bahasa daerah.
Para-Para bukan bangunan kosong. Dinding dan tiangnya dihiasi ukiran manusia, hewan, dan makhluk mitos seperti putri duyung atau burung surga.
Dikutip dari penjelasan narasumber lokal dalam dokumentasi Papua Cultural Foundation (2022), ukiran ini menggambarkan narasi leluhur dan dunia spiritual. Ia adalah media komunikasi antargenerasi, cara visual untuk meneruskan cerita, ajaran, dan sistem kepercayaan masyarakat Dondai.
5 Makanan Khas Papua yang Terbuat dari Ikan
Simbol yang Terancam Hilang
Sayangnya, keberadaan Para-Para semakin terancam. Sejak Distrik Waibu berkembang menjadi wilayah administratif yang lebih modern, banyak Para-Para yang digantikan oleh bangunan permanen berbahan semen dan besi.
Ditambah lagi dengan minimnya pendanaan pelestarian, lambat laun Para-Para hanya menjadi kenangan dalam foto atau rekaman dokumenter.
Menurut data lapangan yang dihimpun oleh Yayasan Ekowisata Papua (2023), dari 20 Para-Para yang tercatat pada tahun 2000, kini hanya tersisa 7 bangunan yang masih utuh dan digunakan secara aktif.
Kawan GNFI, Para-Para adalah lebih dari sekadar rumah adat. Ia adalah cermin nilai-nilai luhur Papua, ketika kebersamaan, deliberasi, dan spiritualitas saling menyatu.
Di saat ruang publik modern kita semakin terpolarisasi, Para-Para memberi inspirasi tentang bagaimana masyarakat bisa membangun konsensus dengan penuh hormat dan kesetaraan.
Menjaga Para-Para berarti menjaga identitas dan akar budaya kita. Generasi muda perlu memandangnya bukan sebagai relik kuno, tetapi sebagai sumber inspirasi untuk membangun masa depan yang lebih inklusif dan berakar pada kearifan lokal.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News