Berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri Nomor 1017 tahun 2024, Nomor 2 tahun 2024, dan Nomor 2 tahun 2024, tentang hari libur nasional dan cuti bersama tahun 2025, menetapkan pada tanggal 27 Juni 2025 diperingati dengan Tahun Baru Islam atau pertanda pergantian tahun dalam kalender Jawa yang bertepatan dengan 1 Muharram.
Jatuhnya tanggal perdana bulan Muharram dikenal dengan malam Satu Suro. Pada masyarakat Jawa malam Satu Suro dikenal sebagai malam yang sakral dan percaya mengandung kemistisan.
Menurut Muhammad Solikhin dalam bukunya yang berjudul “Misteri Bulan Suro” (2010), pada malam Satu Suro energi semesta mengalami transformasi, sehingga banyak masyarakat Jawa yang percaya bahwa malam Satu Suro memiliki daya ghaib.
Masyarakat Jawa meyakini bahwa pada malam tersebut pintu-pintu ghaib terbuka serta para leluhur dan roh-roh nenek moyang akan hadir.
Simak artikel ini sampai selesai karena akan mengupas berbagai mitos dominan yang melekat pada malam Satu Suro, memahami apa yang dipercaya masyarakat, serta menyelami asal-usul di balik keyakinan tersebut.
Baca Juga: Menikah di Bulan Suro: antara Kearifan Lokal dan Dinamika Zaman
Mitos Malam Satu Suro
Larangan Keluar di Malam Hari
Mitos ini cukup terkenal di kalangan masyarakat Jawa. Hal ini berlaku bagi semua kalangan, biasanya orang tua akan melarang anaknya berpergian setelah matahari terbenam.
Masyarakat meyakini bahwa pada malam Satu Suro makhluk halus dan arwah leluhur berkeliaran sehingga percaya bahwa jika mitos ini dilanggar maka akan mendatangkan malapetaka atau hal negatif. Selain itu, mitos ini berakar dari anjuran leluhur untuk berdiam diri yaitu tirakatan dan muhasabah.
Namun dalam perspektif Islam, tidak ada larangan terkait hal tersebut. Justru, pada malam 1 Muharram ini adalah kesempatan untuk meningkatkan ibadah, seperti salat malam, zikir, dan membaca Al-Qur'an yang bisa dilakukan di mana saja.
Konsep "kesialan" atau "hari buruk" juga tidak dikenal dalam Islam—setiap waktu adalah baik untuk beribadah dan berusaha.
Tidak Boleh Mengadakan Pesta atau Hajatan
Mengadakan pesta atau hajatan seperti pernikahan, syukuran, atau acara besar lainnya yang bertepatan pada malam Satu Suro dianggap sebagai pantangan keras.
Karena masyarakat Jawa menganggap bahwa malam Satu Suro bukan untuk merayakan melainkan waktu untuk merenung, menyepi, dan berdoa. Dikhawatirkan jika mengadakan hajatan pada waktu tersebut akan mendatangkan kesialan.
Jika dilihat dari perspektif Islam, tidak ada konsep kesialan dalam pernikahan atau hajatan di bulan-bulan tertentu, karena prinsip dasarnya adalah bahwa semua waktu itu baik selama niat dan tujuannya juga baik.
Namun, dalam konteks ini masyarakat kejawen menganggap bahwa menyelenggarakan hajatan tidak selaras dengan suasana spiritual malam tersebut yang lebih ditujukan untuk introspeksi, ritual pembersihan diri, serta menyatu dengan alam dan leluhur.
Dilarang Berbicara atau Gaduh
Pada malam satu Suro berbicara atau membuat kegaduhan dianggap sebagai sebuah pelanggaran. Hal ini berkaitan dengan adanya tradisi tapa bisu yaitu berdiam diri, berjalan tanpa berbicara sepatah kata pun sepanjang malam.
Ritual ini dijalankan pada prosesi adat Keraton yaitu kirab pusaka malam Satu Suro di Yogyakarta dan Solo. Tapa bisu ini dilakukan sebagai bentuk perenungan, pengendalian diri, dan penghormatan kepada leluhur.
Dilarang Pindahan atau Membangun Rumah
Larangan berpindah atau membangun rumah pada malam Satu Suro juga diyakini oleh masyakarat kejawen dapat mendatangkan bencana atau kesialan. Masyarakat meyakini bahwa pada malam Satu Suro merupakan waktu untuk menenangkan diri dan tidak mengusik alam atau energi yang sedang bertransformasi.
Larangan ini juga mengandung filosofi Jawa tentang weton atau pemilihan hari baik untuk memulai sesuatu yang sangat penting. Selain itu, malam Satu Suro dipercaya bukan waktu yang baik untuk memulai atau melakukan sesuatu yang besar.
Benda Pusaka “Dihidupkan” pada Malam Satu Suro
Malam satu Suro dianggap sebagai waktu yang tepat untuk merawat, membersihkan, dan “mengisi” kembali benda-benda pusaka, seperti keris, tombak, atau batu mustika. Hal ini biasanya dilakukan dengan cara memandikan pusaka dengan bunga tujuh rupa, berdoa, atau bahkan dengan ritual meditasi khusus.
Meskipun lebih pada tradisi, ritual ini sering kali diselimuti mitos mengenai kekuatan hal gaib pusaka dan pengaruhnya terhadap pemilik atau masyarakat. Masyarakat mempercayai bahwa pusaka yang tidak dijamas atau dibersihkan pada malam Satu Suro akan kehilangan keberuntungan atau membawa dampak negatif.
Akan tetapi, dalam pandangan Islam mempercayai bahwa benda memiliki kekuatan gaib yang bisa membawa untung atau rugi adalah bentuk syirik (menyekutukan Tuhan) yang sangat dilarang.
Namun, menghargai pusaka sebagai peninggalan sejarah dan seni adalah hal yang wajar selama tidak sampai pada taraf menyembah atau meyakini kekuatannya.
Secara keseluruhan, mitos-mitos yang menyelimuti pada malam satu Suro ini mengandung makna mendalam bagi masyarakat Jawa. Malam Satu Suro bukan sekadar pergantian tahun, tetapi juga momen yang sarat akan interpretasi, kepercayaan, dan praktik tradisi. Mari, jadikan malam satu Suro sebagai momentum untuk introspeksi diri dan memperkaya kearifan lokal.
Sejarah Satu Suro
Perayaan malam Satu Suro, pada awalnya dimulai untuk memperkenalkan kalender Islam di masyarakat Jawa saat pemerintahan Kerajaan Demak. Sunan Giri II membuat penyesuaian antara kalender Hijriah dan Jawa.
Kemudian, Sultan Agung dari Kerajaan Mataram menetapkan 1 Suro sebagai tahun baru Jawa pada tahun 1633 Masehi. Ia ingin memadukan kalender Saka dan Hijriah untuk menyatukan rakyatnya yang berbeda keyakinan. Penyatuan ini dimulai pada tanggal 8 Juli 1633 Masehi.
Sejak zaman dahulu kala, malam Satu Suro memang dikenal luas dengan hal-hal mistis dan mitos-mitosnya dipercaya secara turun-temurun hingga saat ini.
Baca Juga: 30 Kata-Kata Bijak dan Ucapan Malam 1 Suro 2025 Bahasa Jawa Singkat
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News