Menikah di Bulan Suro kerap menjadi topik perdebatan di tengah masyarakat Jawa. Banyak yang menghindarinya karena diyakini sebagai bulan penuh musibah, sementara sebagian lainnya memilih untuk merayakannya dengan harapan dan doa baik.
Fenomena ini menjadi refleksi kuat tentang bagaimana nilai-nilai lokal masih melekat kuat, bahkan di tengah arus modernisasi dan perubahan zaman.
Kearifan Lokal dalam Tradisi Suro
Dalam kalender Jawa, Bulan Suro bertepatan dengan Muharram dalam penanggalan Hijriah. Bulan ini dianggap sakral karena berkaitan dengan banyak peristiwa penting, seperti hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah serta berbagai ritual spiritual yang dilakukan masyarakat Jawa, terutama dalam budaya keraton.
Namun, sakralitas Bulan Suro kerap ditafsirkan secara berbeda. Di beberapa daerah di Pulau Jawa, Suro dianggap sebagai bulan untuk “menyepi” dan mendekatkan diri kepada Tuhan.
Oleh karena itu, melangsungkan perayaan besar seperti pernikahan sering kali dianggap tidak sesuai. Tradisi seperti tirakatan, kungkum di sungai, dan pertapaan menjadi penanda khas dari kepercayaan ini.
Menurut Dosen Antropologi, Universitas Gadjah Mada, Dr. Laksmi Savitri, fenomena ini merupakan bentuk kearifan lokal yang diwariskan secara turun-temurun.
“Pantangan menikah di Bulan Suro bukan karena ada unsur mistis semata, tetapi lebih pada nilai kesakralan dan kesunyian yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Jawa,” ujarnya dalam wawancara yang dimuat oleh UGM News (2024).
Baca Juga: Apa Itu Malam Satu Suro? Simak Larangan dan Pandangan dalam Islam
Antara Mitos dan Fakta
Mitos bahwa pernikahan yang dilangsungkan di Bulan Suro akan membawa kesialan masih bertahan hingga kini. Bahkan, dalam praktiknya, banyak keluarga yang rela menunda pesta pernikahan demi menunggu bulan berikutnya.
Hal ini bukan tanpa konsekuensi. Secara ekonomi, permintaan layanan pernikahan cenderung menurun selama bulan tersebut. Meski bagi sebagian vendor, hal ini menjadi peluang untuk efisiensi atau promosi khusus.
Namun, pandangan tersebut perlahan berubah. Generasi muda mulai mempertanyakan keabsahan mitos tersebut. Terlebih karena tidak ditemukan bukti nyata yang mengaitkan bulan Suro dengan tingginya angka perceraian atau peristiwa buruk lainnya dalam pernikahan.
Sebuah survei yang dilakukan oleh platform pernikahan The Bride Dept (2024) menunjukkan bahwa dari 500 pasangan di Jawa Tengah dan Yogyakarta, sekitar 42% menyatakan tidak percaya pada pantangan menikah di Bulan Suro.
Sementara 31% lainnya tetap mengikuti tradisi keluarga, dan sisanya memilih bulan lain demi menghindari konflik dengan orang tua atau kerabat.
Perspektif Islam terhadap Bulan Suro
Jika dilihat dari sudut pandang Islam, tidak ditemukan dalil yang secara eksplisit melarang pernikahan di bulan Muharram. Sebaliknya, Islam memandang semua bulan baik untuk melakukan pernikahan, asalkan diniatkan dengan tujuan ibadah dan mematuhi syariat.
Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas, dalam keterangannya menyatakan bahwa larangan menikah di bulan Muharram tidak berdasar pada Al-Qur’an maupun hadis. Ia menegaskan bahwa kepercayaan tersebut adalah bagian dari budaya yang tidak seharusnya dijadikan alasan untuk menunda sesuatu yang baik, seperti pernikahan.
Bahkan, ia menambahkan bahwa banyak peristiwa penting terjadi di bulan ini, seperti hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah, yang justru mencerminkan awal baru yang penuh berkah.
Baca Juga: 25 Ucapan Sugeng Warsa Enggal dan Artinya, Selamat 1 Suro 2025!
Dinamika Zaman dan Generasi Muda
Modernisasi membawa pengaruh besar terhadap pola pikir masyarakat, termasuk dalam hal pernikahan. Generasi milenial dan Gen Z yang tumbuh dalam dunia serba digital lebih mengedepankan rasionalitas dan perencanaan daripada sekadar mengikuti mitos.
Kehadiran media sosial dan akses informasi yang luas memudahkan mereka untuk mendapatkan referensi yang lebih netral mengenai mitos pernikahan di Bulan Suro.
Tak jarang, mereka justru memilih bulan ini karena tarif venue lebih terjangkau dan jadwal lebih fleksibel.
Akan tetapi, tidak sedikit juga yang tetap menjunjung tinggi tradisi, walau dengan pendekatan yang lebih kompromistis. Mereka mungkin tetap menghindari Bulan Suro, bukan karena percaya penuh, melainkan untuk menghormati orang tua atau menjaga harmoni keluarga.
Menjaga Warisan, Membuka Dialog
Tradisi bukan untuk ditinggalkan, tetapi perlu dipahami dalam konteks kekinian. Keputusan untuk menikah di Bulan Suro sejatinya bukan perkara benar atau salah, tetapi soal pilihan dan nilai yang diyakini. Perlu ada ruang yang sehat bagi setiap orang untuk menentukan jalannya sendiri, tanpa paksaan atau tekanan budaya.
Menjaga tradisi bukan berarti menutup ruang logika. Sebaliknya, modernitas bukan alasan untuk melupakan akar budaya. Dalam ruang pernikahan, harmoni antara adat dan zaman menjadi ujian tersendiri yang bisa dihadapi dengan bijak.
Sebagaimana nilai-nilai luhur dalam budaya Jawa mengajarkan tentang keselarasan (rukun), keharmonisan (ayem), dan ketentraman (tentrem), maka keputusan menikah, kapan pun itu, seyogianya dilandasi niat baik, kesiapan, dan restu keluarga.
Baca Juga: 30 Ucapan 1 Muharam Tahun Baru Islam 2025/1447 H Bahasa Jawa dan Artinya
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News