Kehadiran Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA) di tengah riuhnya perubahan kebijakan sosial Indonesia menjadi salah satu terobosan yang cukup mencuri perhatian publik. Disahkan pada tahun 2024, UU ini dipandang sebagai upaya negara untuk meningkatkan kualitas hidup generasi masa depan melalui penguatan peran orang tua, terutama ibu dalam masa emas pertumbuhan anak.
UU KIA memberikan sejumlah ketentuan penting mulai dari hak cuti melahirkan bagi ibu hingga enam bulan, jaminan pemenuhan gizi anak usia dini, hingga perlindungan tumbuh kembang anak dalam 1.000 hari pertama kehidupan.
Pemerintah menyebut kebijakan ini sebagai wujud komitmen terhadap perlindungan keluarga dan penguatan sumber daya manusia sejak dini. Namun, di balik langkah progresif ini, muncul sejumlah pertanyaan kritis: apakah kebijakan ini sudah cukup merata, adil, dan inklusif bagi semua ibu dan anak di Indonesia? Atau justru masih menyisakan ketimpangan yang perlu diselesaikan?
Baca juga: Ibu Freelance di Era Digital: Bertahan dalam Keluarga Multigenerasi
Cuti Ibu 6 Bulan, Cuti Ayah 2 Hari: Sudahkah Setara?
Salah satu hal yang menjadi sorotan publik adalah ketimpangan durasi cuti antara ibu dan ayah. Dalam Pasal 6 ayat 2 UU KIA, disebutkan bahwa ayah berhak mendapatkan cuti selama dua hari saat istri melahirkan, dengan kemungkinan tambahan tiga hari sesuai kesepakatan.
Jika dibandingkan dengan kebijakan di beberapa negara lain, ketentuan ini tampak belum mencerminkan kesetaraan peran dalam pengasuhan anak. Di Swedia, misalnya, ayah dan ibu masing-masing diwajibkan mengambil cuti minimal 90 hari.
Austria, Jerman, dan Kanada bahkan memberikan bonus tambahan jika kedua orang tua aktif mengambil cuti. Di Spanyol, ayah mendapatkan hak cuti selama 16 minggu penuh.
Kebijakan di negara-negara tersebut tidak hanya mendorong kesetaraan gender, tetapi juga diakui berdampak positif terhadap kesejahteraan keluarga, kesehatan mental orang tua, serta kualitas hubungan orang tua dan anak.
Di Indonesia sendiri, pendeknya cuti ayah menunjukkan bahwa peran pengasuhan masih dianggap sebagai ranah utama ibu. Hal ini seolah menegaskan pandangan patriarki yang sudah lama melekat di masyarakat, di mana beban merawat anak nyaris sepenuhnya diserahkan kepada ibu.
Realitas Ibu Bekerja di Sektor Informal
Meskipun UU KIA menjanjikan hak cuti melahirkan enam bulan bagi ibu, manfaat kebijakan ini masih terbatas bagi mereka yang bekerja di sektor formal seperti ASN atau pegawai perusahaan besar. Padahal, mayoritas perempuan di Indonesia justru berada di sektor informal.
Berdasarkan data BPS (2024), sebanyak 64,25% perempuan di Indonesia bekerja di sektor informal, lebih tinggi dari laki-laki yakni 55,81%. Pekerjaan informal cenderung tidak memberikan jaminan sosial, hak cuti, ataupun perlindungan kerja yang layak.
Dengan demikian, sebagian besar perempuan pekerja di Indonesia tidak benar-benar merasakan manfaat langsung dari UU KIA ini. Situasi ini diperparah dengan realitas beban ganda yang dihadapi perempuan: selain bekerja, mereka juga mengemban tanggung jawab mengurus rumah tangga dan anak.
Banyak perempuan akhirnya memilih pekerjaan yang fleksibel, meskipun tanpa jaminan, demi bisa tetap hadir untuk keluarga. Dalam konteks ini, kebijakan yang hanya menyasar sektor formal belum cukup menjawab kebutuhan riil mayoritas ibu di Indonesia.
Kelompok Rentan yang Masih Terlupakan
UU KIA juga belum secara eksplisit menyasar kelompok ibu tunggal dan perempuan penyandang disabilitas, dua kelompok yang juga membutuhkan perlindungan khusus. Menurut BPS (2023), terdapat 12,73% rumah tangga di Indonesia yang dipimpin oleh perempuan. Artinya, lebih dari 1 dari 10 keluarga bergantung pada ibu sebagai kepala rumah tangga.
Dalam kondisi ekonomi yang tidak selalu stabil, ibu tunggal sering kali menghadapi tantangan besar dalam membesarkan anak, mulai dari akses layanan kesehatan, bantuan sosial, hingga perlindungan hukum. Sangat disayangkan, UU KIA belum memberikan perhatian spesifik terhadap mereka. Hal ini membuat kelompok rentan berpotensi tertinggal dari manfaat perlindungan negara.
Dunia Kerja dan Tantangan Gender Struktural
Di sisi lain, implementasi UU KIA di lapangan juga menghadapi tantangan di dunia kerja. Dalam laporan CNN Indonesia (2023), Ketua KADIN bidang ketenagakerjaan menyatakan bahwa tanpa insentif dari pemerintah, perusahaan justru khawatir dengan beban administratif dan finansial dari cuti melahirkan yang panjang.
Akibatnya, diskriminasi terhadap perempuan dalam proses perekrutan masih terjadi—dianggap “berisiko” dan tidak efisien bagi perusahaan. Realitas ini menunjukkan bahwa arus utama gender belum sepenuhnya terintegrasi dalam kebijakan ketenagakerjaan Indonesia.
Tanpa kolaborasi antara negara dan sektor swasta, kebijakan perlindungan seperti UU KIA bisa berakhir sebagai regulasi simbolik yang tidak sepenuhnya efektif di lapangan.
Harapan Menuju Kebijakan yang Lebih Inklusif
UU KIA 2024 adalah langkah penting untuk memperkuat hak-hak ibu dan anak di Indonesia. Namun, agar benar-benar berdampak luas dan adil, kebijakan ini perlu dilengkapi dengan pendekatan yang lebih inklusif. Di antaranya:
- Meninjau kembali porsi cuti ayah agar lebih setara dan mendukung keterlibatan aktif dalam pengasuhan.
- Memperluas cakupan perlindungan bagi pekerja sektor informal, ibu tunggal, dan kelompok disabilitas.
- Mendorong insentif bagi perusahaan agar tidak memandang cuti sebagai beban, melainkan sebagai investasi kesejahteraan tenaga kerja.
- Membangun budaya pengasuhan bersama antara ibu dan ayah sebagai norma baru di masyarakat.
Baca juga: Menumbuhkan Kesadaran Anak akan Bahaya Ruang Digital, Kuncinya Ada di Orang Tua
Dengan perbaikan berkelanjutan dan kolaborasi lintas sektor, UU KIA 2024 bisa menjadi lebih dari sekadar kebijakan: bisa menjadi fondasi bagi keluarga Indonesia yang sehat, sejahtera, dan setara.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News