Anak-anak perlu sadar bahwa internet dengan segala kontennya memiliki dampak negatif. Bagaimana cara menyadarkan anak akan bahaya yang ada di ruang digital?
Sebagaimana diketahui, penggunaan internet oleh anak-anak bukan hal yang asing saat ini. Namun di balik segala manfaatnya baik itu untuk belajar, bermain, dan sosialisasi, ada berbagai bahaya yang mengintai di ruang digital.
Menurut Wakil Direktur Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK), Pandu Ario, remaja perlu punya kesadaran akan bahaya ruang digital. Nah, untuk menanamkan kesadaran tersebut, peran penting orang tua sangat dibutuhkan, bahkan ketika sang anak sendiri yang aktif mencari tahu sendiri mengenai bahaya ruang digital dan apa yang harus mereka lakukan untuk menghindarinya.
"Jadi, peran orang tua sangat penting untuk bisa mengetahui bahaya-bahaya ruang digital bagi anak dan memberikan batasan-batasan sehingga dapat memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dari ruang digital." ujar Pandu dalam acara Reformer Talk bertajuk “Di Balik Layar Gawai: Bagaimana Kita Menjaga Anak-anak dari Risiko Ruang Digital?” pada Sabtu (14/6/2025).
Dengan mendampingi anak dalam menggunakan internet, orang tua dapat meminimalisir berbagai potensi bahaya dari ruang digital seperti pornografi, perundungan, hingga judi online. Ketiga masalah tersebut adalah sebagian dari kasus yang sudah terbukti menjerat banyak anak-anak dan remaja Indonesia sebagai korbannya.
Riset Data National Center for Missing and Exploited Children (NCMEC) mengungkap bahwa ada lebih dari 5,5 juta kasus pornografi anak di Indonesia dalam empat tahun terakhir. Kemudian berdasarkan data UNICEF, 48% anak-anak di Indonesia diketahui pernah mengalami perundungan daring. Untuk kasus judi online, sedikitnya 80 ribu anak berumur di bawah 10 tahun sudah terpapar.
Media Sosial: Sumber Informasi Utama bagi Generasi Z
Perlu collective action dan peran pemerintah
Pandu menekankan bahwa orang tua sebaiknya tidak bergerak sendiri dalam mendampingi anak-anaknya. Lebih dari itu, dibutuhkan aksi bersama atau collective action antarorang tua.
"Misal ada satu orang tua saja yang membatasi media sosial dan gim daring kepada anak. Kalau begitu, anaknya akan well-behaved, dia akan jadi satu-satunya anak yang tidak bisa dihubungi saat malam atau tidak bermain gim daring bersama teman-temannya. Bayangkan kalau teman-temannya juga mendapatkan perlakuan yang sama. Jadi, tidak hanya dia yang tidak boleh mengakses media sosial dan gim daring secara berlebihan, tetapi semua teman-temannya satu sekolah." tutur Pandu.
Di sini, orang tua juga perlu dukungan dari pihak lain. Dalam hal ini, sekolah bisa hadir dan mengambil peran.
"Untuk dapat mendukung hal tersebut, peran sekolah sangat penting. Bagaimana sekolah bisa membantu edukasi-edukasi kepada orang tua dan mendorong dilakukannya collective action atau aksi bersama ini." lanjut Pandu.
Satu hal yang perlu diperhatikan, orang tua tidak boleh lupa mencari alternatif aktivitas untuk anak. Cara ini tidak hanya berguna sebagai pengisi waktu anak setelah penggunaan internetnya dibatasi, melainkan juga untuk mengetahui hobinya.
"Orang tua juga perlu mencarikan alternatifnya. Ketika mereka sudah tidak bisa melakukan hal tersebut, maka harus apa, nih? Itu juga yang harus dipelajari orang tua, karena banyak opsi. Misal, mengajak anak untuk beraktivitas olahraga atau menggali sebenarnya anak itu hobinya apa. Coba dukung hobi anak tersebut, sehingga mereka akan memiliki waktu yang lebih sedikit untuk menggunakan gawai." kata Pandu lagi.
Terakhir, Pandu menyampaikan pentingnya peran pemerintah untuk mendukung upaya pendampingan dan pembatasan penggunaan internet oleh anak. Salah satu wujudnya adalah dengan menyediakan fasilitas bagi kegiatan alternatif anak seperti sarana olahraga.
"Alternatif-alternatif kegiatan yang lebih bermakna bagi anak itu perlu diberikan, tidak sekadar membatasi" pungkasnya.
Peran Media Sosial sebagai Wadah Penyerapan Aspirasi Masyarakat
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News