Di tengah hiruk-pikuk Jakarta, warisan budaya sayur besan betawi perlahan mulai tersingkir dari ingatan. Makanan tradisional ini tidak hanya soal rasa, tapi mengandung filosofi tentang ikatan keluarga dan solidaritas yang mengikat masyarakat Betawi secara sosial dan kultural.
Sayur besan dengan bahan utamanya terubuk, yaitu bunga tebu berbutir kecil yang khas, mengandung pesan simbolik yang jarang disadari, terutama oleh generasi muda yang kini lebih akrab dengan makanan praktis dan cepat saji.
Mari kita selami bersama kisah di balik sayur besan betawi, keunikan bahan, filosofi yang terkandung, ancaman kelestariannya, hingga upaya pelestarian yang tengah dijalankan.
Memahami Sayur Besan Betawi
Sayur besan betawi tidak hanya menjadi sajian kuliner di meja pernikahan, melainkan juga pengikat sosial yang menyatukan dua keluarga melalui ritual ngenjot, yakni prosesi penghormatan keluarga pengantin perempuan kepada keluarga pengantin laki-laki.
Kuah santan kental yang kaya rasa berpadu dengan terubuk yang unik, menyampaikan simbol keharmonisan dan kebersamaan.
Terubuk, bunga tebu kecil yang menyerupai telur ikan, adalah jantung dari sayur besan. Namun, seiring berjalannya waktu, terubuk semakin sulit ditemukan, sehingga mengancam keberlanjutan tradisi ini.
Lebih dari bahan, terubuk menjadi lambang visual dari harapan agar keluarga baru dapat hidup dalam kesatuan dan saling mendukung, sebagaimana butiran terubuk yang bersatu dalam satu hidangan.
Filosofi Sayur Besan Betawi
Sayur besan betawimenyimpan pesan tentang kebersamaan, gotong royong, dan penghormatan. Setiap suapan adalah pengingat akan pentingnya menjaga ikatan antar keluarga yang baru terbentuk. Dalam konteks budaya Betawi, pernikahan bukan sekadar peristiwa personal, tapi juga momentum sosial yang menguatkan solidaritas komunitas.
Menurut Ramadhan, Priartini & Indriasari (2017:94), terubuk dalam sayur besan melambangkan keharmonisan dan kebersamaan keluarga. Butiran kecil yang terlihat rapuh itu ternyata memiliki makna besar, yaitu harapan agar keluarga bisa bersatu, tumbuh, dan saling menopang satu sama lain. Ini mengajarkan kita bahwa ikatan keluarga adalah fondasi penting yang harus dijaga dan dihormati.
Website resmi Lembaga Kebudayaan Betawi (2021) menambahkan bahwa kuah santan berwarna kuning yang kaya rasa dalam sayur besan juga menyimbolkan kemuliaan dan penghormatan, terutama kepada peran perempuan dalam pernikahan.
Melalui ritual ngenjot, keluarga pengantin perempuan menyampaikan penghormatan kepada keluarga laki-laki, memperkuat hubungan dan keseimbangan sosial yang saling menguntungkan.
Selain itu, perpaduan bahan seperti petai, ebi, dan soun dalam sayur besan menunjukkan akulturasi budaya Betawi yang kaya dan beragam, termasuk pengaruh Tionghoa. Nama “besan” sendiri menegaskan makna pentingnya hubungan antara dua keluarga besar, bukan hanya sekadar pernikahan personal (Seni dan Budaya Betawi, 2023).
Ancaman terhadap Kelestarian Sayur Besan Betawi
Sayur besan betawi menghadapi tantangan serius dalam mempertahankan keberadaannya. Terubuk yang menjadi bahan utama semakin sulit ditemukan karena perubahan pola tanam dan berkurangnya lahan pertanian yang mendukung tumbuhan musiman ini. Kini, bunga terubuk yang dulu mudah didapat di pasar tradisional semakin langka.
Selain faktor alam, perubahan gaya hidup modern juga mengancam keberlanjutan sayur besan. Di tengah kecepatan kehidupan urban Jakarta, generasi muda cenderung lebih memilih makanan cepat saji yang praktis, sehingga minat terhadap makanan tradisional menurun.
Sayur besan, yang memasakannya memerlukan proses lama dan gotong royong, dianggap kurang relevan dan bahkan mulai terlupakan. Bila tren ini terus berlanjut, bukan hanya resepnya yang punah, melainkan filosofi dan nilai sosial yang terkandung di dalamnya juga akan hilang. Kita kehilangan bukan hanya makanan, tapi juga sebuah warisan budaya dan jati diri masyarakat Betawi.
Upaya Pelestarian Sayur Besan Betawi
Kabar baiknya, sayur besan betawi sudah mendapatkan perhatian resmi dari pemerintah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Surat Keputusan nomor 270/P/2014 mengukuhkan sayur besan sebagai warisan budaya tak benda dengan nomor registrasi 201400123. Ini adalah langkah penting yang membuka ruang bagi upaya pelestarian lebih lanjut.
Pelestarian ini tidak hanya berupa pengakuan simbolik, tapi juga mendorong berbagai inisiatif yang melibatkan masyarakat lokal. Beberapa komunitas dan lembaga kebudayaan mengadakan lokakarya memasak sayur besan, sekaligus mengenalkan filosofi dan maknanya kepada generasi muda.
Pemberdayaan masyarakat untuk membudidayakan kembali terubuk juga menjadi fokus penting, agar bahan utama ini kembali tersedia dan proses memasak sayur besan dapat dilanjutkan dengan autentik.
Lebih jauh, ide memasukkan sayur besan ke dalam kurikulum sekolah berbasis budaya diharapkan mampu menumbuhkan rasa cinta dan pemahaman sejak dini, sehingga tradisi ini tidak hanya menjadi cerita masa lalu, tapi hidup dalam kehidupan sehari-hari.
Simbol Kebersamaan yang Harus Dijaga
Sayur besan betawi mengajarkan kita bahwa tradisi adalah fondasi yang membangun jati diri dan identitas budaya. Di balik rasa santannya yang gurih dan butiran terubuk yang khas, tersimpan pesan tentang gotong royong, saling menghormati, dan solidaritas.
Dalam setiap proses ngenjot dan saling tukar hantaran, ada pelajaran bagaimana manusia harus saling menguatkan dan menjaga keseimbangan sosial. Ini bukan hanya tentang makanan, tapi tentang bagaimana tradisi mempererat hubungan antar manusia, terutama dalam konteks keluarga dan masyarakat Betawi.
Kini, saatnya kita semua, baik generasi muda maupun tua, untuk bersama-sama menjaga dan melestarikan sayur besan betawi. Bukan sekadar mempertahankan resep, tetapi meneruskan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.
Dalam tradisi yang terjaga, kita menemukan jati diri kita sebagai masyarakat Betawi yang kaya budaya dan penuh kebersamaan.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News