Jauh sebelum Jakarta menjadi kota metropolitan yang sibuk dan penuh modernitas, transformasi peran perempuan Betawi telah dimulai sejak masa lampau. Mereka menjadi tulang punggung kehidupan sosial dan ekonomi keluarga. Meski sering kali peran mereka terselip dalam narasi besar sejarah ibu kota, jejak mereka tetap terasa hingga hari ini.
Modernisasi dan urbanisasi mengubah wajah Jakarta sekaligus membawa perubahan dalam peran perempuan Betawi. Dari yang awalnya lebih terfokus pada peran domestik, kini mereka merambah ruang publik sebagai pendidik, seniman, hingga aktivis yang terus melestarikan budaya. Namun, perubahan ini tidak terjadi tanpa tantangan.
Apa yang membuat perempuan Betawi mampu meretas batasan tradisional? Bagaimana mereka menghadapi tantangan di tengah arus perubahan zaman?
Tulisan ini akan mengulas transformasi peran perempuan Betawi dalam sejarah, menggali dinamika sosial yang mempengaruhi perjalanan mereka, dan merefleksikan apa yang bisa dipelajari dari perjuangan mereka di masa kini.
Peran Tradisional Perempuan Betawi
Dalam masyarakat Betawi tradisional, peran perempuan kerap terpusat di ranah domestik. Hal ini didukung oleh struktur sosial patrilineal dan sistem tempat tinggal patrilokal yang memposisikan laki-laki sebagai kepala keluarga dan pewaris garis keturunan.
Sebagaimana dicatat Elfira (2012:38), budaya Arab, Cina, dan Barat yang memengaruhi Betawi memperkuat dominasi laki-laki dan membatasi ruang gerak perempuan.
Namun, bukan berarti peran perempuan Betawi hanya sebatas mengurus rumah. Mereka juga berkontribusi secara ekonomi, misalnya dengan memproduksi dan menjual emping melinjo di Batu Ampar.
Di sisi lain, tradisi patriarki dan nilai-nilai agama yang kuat tetap menjadi kendala bagi perempuan untuk lebih leluasa di ruang publik. Sebagai contoh, pada tradisi penguburan, perempuan biasanya hanya bertugas mengurus pelayat di rumah, sementara laki-laki mengambil alih ranah ritual.
Stereotip negatif seperti anggapan bahwa perempuan Betawi kasar atau kurang terdidik semakin mempersempit akses mereka ke pendidikan dan pekerjaan formal. Tradisi kawin muda dan fokus pada pendidikan agama, seperti yang dijelaskan Ahyat (2015:73), membuat generasi perempuan Betawi terdahulu kesulitan melanjutkan pendidikan umum dan berpartisipasi di angkatan kerja. Sikap masyarakat yang kurang mendukung perempuan bekerja juga turut memperkuat pembatasan ini.
Perubahan Sosial dan Pendidikan
Awal abad ke-20 menjadi titik balik penting dengan hadirnya kebijakan politik etis yang digagas Van Deventer. Kebijakan ini membuka akses pendidikan bagi perempuan pribumi, termasuk perempuan Betawi, yang sebelumnya sangat terbatas.
Diniyanti (2017:26-28) mencatat bahwa pembangunan sekolah-sekolah perempuan selain meningkatkan literasi, juga menanamkan kesadaran akan pentingnya kesetaraan gender.
Organisasi seperti Poetri Mardika yang berdiri pada 1912 menjadi tonggak awal perempuan Betawi untuk melawan batasan adat. Dengan dukungan Budi Utomo, organisasi ini memperjuangkan pendidikan perempuan sebagai kunci kesetaraan. Media massa seperti "Poetri Hindia" dan "Soenting Melajoe" juga menjadi alat penyebaran gagasan emansipasi secara luas.
Urbanisasi dan modernisasi pada dekade-dekade berikutnya semakin mempercepat dinamika sosial perempuan Betawi. Industrialisasi membuka peluang kerja di sektor formal, sementara kemajuan teknologi informasi meningkatkan akses mereka ke ruang publik.
Amin et al. (2024:503) mencatat semakin banyak perempuan Betawi yang melanjutkan pendidikan tinggi dan berkarier di sektor profesional.
Batik Betawi Terogong adalah salah satu contoh sukses pemberdayaan perempuan Betawi. Program ini meningkatkan kemandirian finansial dan memperkuat peran perempuan dalam pengambilan keputusan keluarga (Rani & Ratnasari, 2021:88).
Kiprah Perempuan Betawi di Ruang Publik
Transformasi peran perempuan Betawi tidak hanya berhenti di sektor ekonomi. Keterlibatan mereka di dunia seni, politik, dan organisasi sosial menunjukkan langkah yang semakin mantap untuk meretas batasan tradisional. Beberapa perempuan Betawi bahkan menjadi anggota dewan atau pejabat pemerintah, membawa suara perempuan ke dalam pengambilan kebijakan.
Melalui keterlibatannya dalam berbagai organisasi kemasyarakatan, mereka mendorong regulasi yang melindungi hak perempuan dan menginspirasi generasi muda untuk terus berkarya.
Namun, perjuangan ini tidak selalu mudah. Stereotip negatif, dilema peran ganda, dan pengaruh patriarki dalam budaya lokal tetap menjadi rintangan besar. Meski demikian, perempuan Betawi terus membuktikan bahwa mereka mampu berkontribusi tidak hanya sebagai penjaga tradisi, tetapi juga sebagai pelopor perubahan.
Pelajaran dari Perjuangan Perempuan Betawi
Perjalanan panjang perempuan Betawi dari ranah domestik ke ruang publik adalah bukti nyata bahwa pendidikan dan pemberdayaan adalah kunci transformasi sosial. Kebijakan politik etis dan urbanisasi membuka jalan bagi perempuan Betawi untuk mengakses pendidikan, memberdayakan diri secara ekonomi, dan membangun identitas sebagai individu.
Dalam masyarakat yang terus berkembang, mendukung peran perempuan Betawi berarti menciptakan ruang yang inklusif dan adil. Tidak hanya bagi perempuan, tetapi juga bagi seluruh masyarakat untuk menghormati dan mendukung mereka sebagai penjaga tradisi dan penggerak perubahan.
Kisah mereka adalah cerminan keberanian dan ketekunan, yang layak menjadi inspirasi bagi generasi mendatang. Mari bersama menciptakan lingkungan yang mendukung perempuan Betawi untuk terus mewarnai wajah budaya dan kehidupan sosial Indonesia.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News