Apa pandangan Kawan GNFI terhadap seseorang yang suka membaca? Jika terinspirasi dan terdorong untuk melakukannya juga, maka selamat! Karena tidak sedikit dari masyarakat yang memiliki stigma bahwa orang yang suka membaca sudah pasti pintar, cenderung kaku, dan tidak pandai bersosialisasi.
Hal itu justru menimbulkan pertanyaan besar, bukankah membaca adalah aktivitas yang selalu dilakukan di bangku sekolah atau bahkan perkuliahan. Kita akan dicekoki dengan beragam literatur sebagai syarat agar dapat naik ke jenjang yang lebih tinggi.
Namun, mengapa aktivitas membaca cenderung dihindari banyak orang dan mereka yang gemar membaca malah distigmakan negatif?
Awal Mula Stigma Negatif terhadap Membaca
Setelah merenung, jawabannya justru sederhana: semua itu dimulai dari cara kita dikenalkan dengan buku untuk pertama kalinya. Entah itu di rumah maupun di sekolah, tapi narasi-narasi tentang buku dan sisi emosional yang dibangun ternyata membentuk doktrin bahwa buku adalah sesuatu yang serius dan tidak menyenangkan.
Hal ini terlihat jika mendengar kata ‘buku’, maka bayangan kita akan melayang ke buku pelajaran yang kompleks dengan berbagai teorinya. Padahal, buku tidak hanya sekadar buku pelajaran, ada beragam buku dengan genre menarik yang bisa dieksplorasi di luar sana.
Ditambah, sistem pendidikan saat ini yang kurang menjelaskan urgensi atas apa yang dipelajari membuat buku dianggap sebagai sekumpulan teori rumit yang tidak bisa dipahami relevansinya terhadap kehidupan. Padahal, buku tidak hanya teori belaka, melainkan sebuah solusi praktikal yang bisa digunakan di setiap fase yang kita alami.
Hasilnya? Masyarakat seolah ‘alergi’ terhadap aktivitas membaca. Gambaran ini dapat ditinjau melalui artikel The Conversation. Di dalam artikel tersebut, diungkapkan bagaimana norma sosial yang terbangun, memengaruhi cara orang-orang mem-framing kebiasaan membaca.
Dalam survei yang dilaksanakan, Penulis mengungkapkan bagaimana orang yang gemar membaca masih dipersepsikan negatif sebagai orang yang terlalu serius dan sok intelek. Selain itu, 53,6% responden mendapati realitas bahwa teman sebayanya tidak gemar membaca, bahkan 45,2% responden lainnya memiliki lingkungan keluarga yang tidak memiliki kebiasaan membaca.
Hal ini tentunya menjadi tantangan tersendiri untuk meningkatkan budaya membaca, khususnya demi tercapainya Indonesia Emas 2045. Karena perlu disadari jika mempersiapkan generasi yang maju, maka kebiasaan membaca perlu ditanamkan sedini mungkin. Kita bisa melihat bagaimana negara-negara maju memiliki masyarakat dengan kebiasaan membaca yang tinggi.
Bahkan, tidak perlu jauh-jauh untuk memikirkan urusan negara, cukup menyadari ada banyak persoalan hidup yang bisa ditemukan jawabannya lewat membaca, namun tidak dilakukan hanya karena memandang membaca adalah aktivitas yang sulit.
Ditambah pengaruh teknologi yang menyebabkan banjirnya informasi (yang belum jelas validasinya) malah membuat kita kewalahan untuk menelan semua informasi tanpa menyaringnya sama sekali. Hal ini yang luput dari pikiran bahwa membaca buku membuat kita terlatih untuk skeptis dan berpikir sistematis terhadap segala informasi yang diterima.
Lalu, sampai kapan kita akan menghindari kebiasaan membaca dan sibuk menstigmakan orang-orang yang gemar membaca selayaknya suatu hal yang tabu?
Diperlukan Pendekatan Holistik dan Kerja Sama Multi Pihak
Kita akhirnya perlu menyadari, bahwa mengubah pola pikir tentang membaca adalah solusi yang perlu dilakukan saat ini. Kita dapat melakukan pendekatan holistik, sebagaimana yang dilansir dari International Journal of Teaching and Learning, dapat menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan persoalan ini.
Ketika berbicara tentang pola pikir, diperlukan rancangan terhadap lingkungan yang mendukung agar pola pikir itu dapat berubah. Hal ini bisa dimulai dari rumah. Anak-anak memiliki daya penyerapan tinggi dapat menjadi contoh awal untuk memperkenalkan aktivitas membaca.
Sebagai orang tua, menyediakan akses membaca dan menjadi role model dapat mendorong anak-anak untuk tumbuh dengan pandangan bahwa membaca adalah aktivitas yang menyenangkan.
Kemudian, di sekolah, modifikasi sistem pembelajaran begitu penting agar pendidikan tidak hanya menekankan kebiasaan membaca saat pembelajaran atau ujian saja, melainkan sebuah aktivitas yang dapat dilakukan setiap saat.
Sekolah dapat menjadi ruang eksplorasi dalam membaca sehingga membuka pemikiran para siswa untuk menemukan berbagai jenis buku yang sesuai dengan minat dan kepribadiannya.
Sedangkan, bagi pemerintah, membangun akses membaca tanpa menghidupkan budaya yang ada di dalamnya, ibarat sebuah tubuh tanpa ruhnya. Dengan demikian, membangun fasilitas membaca perlu diintegrasikan dengan berbagai aktivitas yang mendukung agar budaya membaca itu dapat terbangun dan terus hidup.
Dan pada akhirnya, kita sebagai orang-orang yang gemar membaca perlu menyadari potensi dari kebiasaan ini agar tidak terjebak dengan stigma negatif yang ada di luar sana. Malahan kita perlu aktif membagikan berbagai kebiasaan membaca kita dan beragam manfaat yang diperoleh agar dapat menjadi salah satu dorongan bagi orang-orang di sekitar.
Karena, bisa jadi, dari hal-hal yang kita bagikan dapat mengubah pola pikir seseorang bahwa membaca tidaklah semenyeramkan yang dibayangkan.
Dengan demikian, kita akhirnya sampai di penghujung tulisan yang sebenarnya hanya ingin menegaskan betapa ‘awal mula’ kita mengenal buku dan persepsi sosial terhadap aktivitas membaca adalah dua hal yang perlu diubah agar dapat menciptakan budaya membaca di dalam masyarakat.
Karena, ketika kita gemar membaca, kita mungkin tidak akan terjerat dengan berbagai misinformasi dan menjadi lebih melek terhadap isu-isu penting yang terjadi di negara kita saat ini. Jadi, selamat membaca dan jangan lupa berbagi!
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News