Seiring langkah menuju ambisinya menjadi kota global, Jakarta perlahan menjelma menjadi wajah baru Indonesia di mata dunia. Jalan-jalan diperluas, Kereta melaju, menembus rel-rel yang tersembunyi di bawah tanah dan melayang di atas langit kota, hingga layanan publik yang bertransformasi ke ujung jari.
Namun di sela-sela kemajuan itu, pandangan kita masih sering tertumpu pada spanduk lusuh yang menggantung di tiang listrik, banner miring yang dibiarkan terayun oleh angin, dan baliho yang memudar warnanya oleh waktu.
Seperti noda kecil di kanvas yang megah, keberadaan mereka mengusik harmoni kota. Mungkin ini saatnya kita, mengevaluasi kembali da menata ulang bukan hanya infrastruktur, tetapi juga cara kita memperlakukan ruang bersama.
Fenomena banner liar ini bukan semata soal kerapihan visual. Ini adalah persoalan tata kelola ruang publik yang menyangkut aturan, penegakan hukum, dan etika. Sejumlah keluhan hadir tentang bagaimana spanduk-spanduk ini muncul begitu saja, bahkan dalam jumlah masif saat menjelang momen politik seperti pemilu, atau saat ormas tertentu ingin menunjukkan eksistensi.
Ironisnya, sering kali spanduk-spanduk ini bertahan berbulan-bulan, bahkan setelah momen kampanye atau kegiatan selesai. Tidak sedikit dari banner tersebut dipasang tanpa izin, tidak memperhatikan keselamatan, dan merusak fasilitas umum.
Dalam rangka menjaga ketertiban, keindahan kota, dan keselamatan umum, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah mengatur secara jelas mengenai pemasangan dan penempatan alat peraga melalui Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum.
Berdasarkan Pasal 52 ayat (1), (2), dan (3), ditegaskan bahwa setiap orang atau badan dilarang memasang atau menempatkan alat peraga di lokasi-lokasi yang dapat mengganggu fungsi ruang publik atau membahayakan keselamatan. Alat peraga tidak boleh dipasang di beberapa lokasi berikut:
- pohon,
- tiang listrik atau telepon,
- fasilitas umum,
- atau tempat lain yang bukan diperuntukkan sebagai titik pemasangan resmi.
Selanjutnya, Pasal 53 mengatur bahwa alat peraga yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dapat dibongkar oleh petugas yang berwenang. Pemilik atau pihak yang memasang alat peraga yang melanggar akan dikenakan sanksi administratif, bahkan bisa dikenai denda sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Dengan adanya peraturan ini, masyarakat dan pelaku usaha diharapkan lebih tertib dalam memasang media promosi atau alat peraga lainnya, serta ikut menjaga estetika dan keselamatan ruang kota.
Baru-baru ini Ketua Umum GRIB Jaya, Hercules Rosario Marshal, menjadi sorotan publik setelah sebuah video menunjukkan dirinya marah karena spanduk milik GRIB Jaya dicopot oleh Satpol PP di kawasan Senen, Jakarta Pusat. Dalam video yang diunggah oleh akun TikTok @dancukjaran5, terlihat seorang petugas Satpol PP sedang menerima panggilan telepon dari seseorang yang diduga kuat adalah Hercules.
Dalam percakapan tersebut, Hercules disebut-sebut dengan nada tegas mendesak agar spanduk GRIB Jaya yang telah dilepas segera dikembalikan ke tempat semula di wilayah Senen.
Hal tersebut menunjukkan bahwa tindakan menekan aparat untuk mengembalikan spanduk yang telah ditertibkan jelas tidak sejalan dengan prinsip etika publik maupun ketentuan hukum yang berlaku.
Penertiban alat peraga oleh Satpol PP dilakukan berdasarkan peraturan daerah demi menjaga ketertiban, keindahan, dan kenyamanan ruang kota. Oleh karena itu, segala bentuk intimidasi atau intervensi terhadap pelaksanaan tugas aparat merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan, baik secara hukum maupun moral.
Tak sampai di situ, pemasangan banner yang tidak teratur juga menimbulkan sejumlah persoalan serius. Mulai dari sisi estetika kota; banner-banner yang menumpuk dan saling tumpang tindih merusak keindahan visual ruang publik. Jakarta yang seharusnya menampilkan citra bersih, modern, dan tertata, justru dipenuhi informasi visual yang semrawut.
Lembaga besar seperti Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) atau bahkan sekelas Pengelola Partai, seharusnya menjadi contoh dalam memanfaatkan ruang publik. Ketika mereka yang memiliki akses ke teknologi dan sumber daya justru memilih metode promosi tradisional yang tidak teratur, hal tersebut memberi pesan bahwa pelanggaran terhadap aturan bisa dianggap wajar.
Tentu saja, ini bertentangan dengan visi Jakarta sebagai kota global. Menjadi kota global bukan hanya tentang teknologi mutakhir, tetapi juga tentang kedisiplinan warganya dalam menghormati ruang publik.
Transformasi tata kelola ruang kota tidak akan berhasil tanpa partisipasi aktif warganya. Setiap warga Jakarta memiliki peran penting dalam menjaga kebersihan dan keteraturan visual ruang publik.
Untungnya Jakarta memiliki kanal pelaporan yang representatif. Jika kalian melihat spanduk atau banner yang dipasang sembarangan, laporkanlah melalui aplikasi Jakarta Kini (JAKI). Aplikasi ini memungkinkan warga untuk melaporkan langsung berbagai pelanggaran, termasuk pemasangan alat peraga ilegal, kepada instansi yang berwenang.
Melalui partisipasi warga dalam pelaporan dan pengawasan, Jakarta bisa lebih cepat merespons dan menertibkan pelanggaran. Warga juga bisa berperan dalam mengedukasi, dengan mengingatkan lingkungan sekitar untuk mematuhi aturan dan turut menjaga estetika kota.
Sudah saatnya Jakarta melakukan evaluasi dan pengaturan ulang terhadap tata kelola pemasangan banner fisik. Regulasi yang telah ada perlu ditegakkan dengan lebih tegas dan konsisten. Pemerintah daerah harus meningkatkan pengawasan, memberikan sanksi yang jelas terhadap pelanggaran, serta membuka saluran pelaporan publik yang efisien untuk mendorong partisipasi warga.
Selain itu, edukasi tentang etika penggunaan ruang publik juga penting dilakukan, terutama kepada organisasi yang kerap menjadi pelaku utama dalam pemasangan banner ilegal. Kampanye publik mengenai pentingnya menjaga estetika kota pun perlu dilakukan secara masif yang dapat melibatkan media sosial dan kolaborasi dengan komunitas urban.
Di era teknologi seperti sekarang, tidak ada alasan untuk masih bergantung pada banner fisik sebagai alat utama komunikasi. Layar digital, media sosial, dan sistem informasi kota berbasis internet dapat menjadi sarana yang jauh lebih efektif, efisien, dan ramah lingkungan. Pemanfaatan platform digital juga membuka ruang inovasi kreatif, meningkatkan visibilitas informasi secara lebih luas tanpa harus “mencemari” wajah kota.
Transformasi Jakarta menjadi kota global tidak bisa hanya ditopang oleh beton dan baja. Ia membutuhkan budaya urban yang modern, tertib, dan beradab; di mana setiap warga dan institusi memahami batasan serta tanggung jawabnya terhadap lingkungan sekitar.
Penataan ulang pemasangan banner adalah langkah kecil tapi krusial. Dengan pengelolaan ruang publik yang lebih baik, Jakarta akan semakin layak menyandang predikat kota global yang bukan hanya canggih secara fisik, tetapi juga cerdas dalam tata kelola.
Aturan sudah dibuat, payung hukumnya pun cukup jelas. Kini, tugas kita bersama untuk memastikan implementasinya berjalan konsisten. Pengawasan tidak bisa hanya dibebankan pada aparat pemerintah.
Warga, komunitas, dan pelaku usaha juga memiliki peran dalam mengawasi, melaporkan, dan mengedukasi. Mari jaga wajah kota dengan disiplin dan kepedulian karena ruang publik adalah milik bersama, tanggung jawab kita semua.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News