Di antara ramainya wisatawan yang memenuhi kawasan Kota Tua, ada satu sudut yang kerap terlewat, yaitu Jembatan Kota Intan. Lokasinya tak begitu jauh dari Museum Fatahillah, hanya beberapa langkah menyusuri jalan yang dihiasi bangunan tua sejak jaman Belanda.
Jembatan yang terletak di perbatasan Jakarta Barat dan Jakarta Utara ini, nyaris tak menarik perhatian, tetapi menyimpan sejarah panjang yang tak kalah dari museum-museum sekitarnya. Lantas, bagaimana sejarah dari Jembatan Kota Intan? Simak penjelasan berikut ini.
Sejarah Jembatan Kota Intan
Berdiri sejak 1628, jembatan yang dulunya bernama Hoenderpasarbr merupakan jembatan pertama yang dibangun di Kota Batavia. Jembatan ini adalah salah satu sarana penunjang perniagaan di area Kalibesar yang merupakan kawasan CBD pertama di Jakarta.
Disebut Jembatan Kota Intan karena letaknya berada di bekas Bastion Diamant (Intan), salah satu bagian dari kastil Batavia yang telah runtuh. Dahulunya, jembatan ini juga disebut jembatan Inggris, karena tak jauh lokasinya tak jauh dari benteng pertahanan milik Inggris.
Sejak awal berdiri, Jembatan Kota Intan merupakan jalur penghubung biasa yang menghubungkan Pelabuhan Sunda Kelapa dan Kota Batavia. Namun, ketika banjir melanda pada 1655, Jembatan ink hancur yang kemudian pada 1938 diperbaiki sebagai jembatan jungkit yang bisa ditarik ke atas agar dapat dilalui perahu-perahu di Kalibesar.
Dilansir dari Direktorat Jenderal dan Kebudayaan, bentuk dan gaya dari jembatan ini tidak berubah, setelah diperbaiki karena banjir, hanya namanya saja yang sempat berubah menjadi “Juliana Bemhard”. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, jembatan ini kemudian berganti nama kembali dan dipakai hingga sekarang, yaitu Jembatan Kota Intan.
Wilayah selanjutnya yang dilalui setelah Jembatan Kota Intan adalah kawasan sepanjang sungai Ciliwung atau yang dahulu disebut de Groote Rivier.
Di sisi kanan-kiri banyak berdiri gedung administrasi Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang kemudian digantikan Nedetlandsch Handels Maatchappij (NHM) sebagai perusahaan dagang milik Kerajaan Belanda.
Saksi Pembantaian pada Zaman VOC
Tak sampai di situ saja, dilansir dari Youtube Pemprov DKI Jakarta, Jembatan Kota Intan juga memiliki sejarah yang kelam. Jembatan ini merupakan saksi dari pembantaian yang dilakukan pada masa VOC. Ribuan orang Tionghoa dibunuh oleh VOC pada tahun 1740 yang menyebabkan air di sekitar jembatan berwarna merah selama berminggu-minggu karena darah.
Dari peristiwa tersebut, air kali di sekitar Jembatan Kota Intan penuh dengan darah hingga berbau bangkai. Dari situlah juga, nama kali Angke muncul.
Jembatan Kota Intan Kini
Berada di bawah naungan unit pengelolaan Museum Kebaharian Jakarta, Jembatan Kota Intan sempat mengalami pemugaran pada tahun 2023 untuk memperkuat struktur bangunan. Jembatan yang kini berlapis kayu ulin dan kayu jati tampak lebih elegan dan kokoh dengan warna merah kecoklatan. Akan tetapi, tidak semua orang dapat melintasi jembatan ini. Hanya 3–5 orang saja yang dapat melintas ke seberang jembatan secara bergantian.
Jembatan Kota Intan juga cocok dijadikan sebagai tempat untuk berfoto dan menikmati keindahan matahari terbenam. Bernostalgia di antara gedung-gedung tua juga menjadi elemen pendukung untuk menambah kekayaan sejarah di area ini.
Kini kawasan di sekitar Jembatan sudah tertata rapi. Tempat untuk pejalan kaki yang luas dan tersedia juga dek pandang untuk melihat Jembatan Kota Intan dari samping dan area sekitar kanal. Tak hanya itu, di dek pandangnya juga terdapat informasi singkat mengenai sejarah gedung-gedung yang ada di sekitar area jembatan.
Masih berdiri kokoh di tengah modernisasi kota Jakarta, Jembatan Kota Intan seakan menjadi pengingat akan wajah Jakarta yang dulu. Sempat-sempatlah menyusuri sedikit ke arah utara Kota Tua, di sana terdapat sejarah yang tak dapat dilupakan, yaitu Jembatan Kota Intan.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News