refleksi hari kartini - News | Good News From Indonesia 2025

Kartini dan Emansipasi dalam Bayang-Bayang Feodalisme, Tinjau Ulang Simbol Perjuangan Perempuan Indonesia

Kartini dan Emansipasi dalam Bayang-Bayang Feodalisme, Tinjau Ulang Simbol Perjuangan Perempuan Indonesia
images info

Setiap 21 April, bangsa Indonesia kembali mengangkat nama Raden Ajeng Kartini ke permukaan wacana publik sebagai ikon emansipasi perempuan. Sekolah-sekolah mengadakan lomba berkebaya, instansi pemerintah menggelar perayaan seremonial, dan kutipan “Habis Gelap Terbitlah Terang” mendadak menghiasi lini masa.

Namun di balik romantisme itu, kita jarang bertanya: sejauh mana relevansi Kartini sebagai simbol perjuangan perempuan Indonesia—khususnya dalam konteks sosial, politik, dan budaya yang terus berubah?

Kartini memang layak dikenang sebagai pelopor kesadaran gender di masa kolonial. Melalui surat-suratnya kepada teman-teman Eropa, ia mengartikulasikan kritik terhadap ketertinggalan pendidikan perempuan, serta kegelisahan terhadap kungkungan adat feodal Jawa yang menempatkan perempuan pada posisi subordinat.

Namun, secara faktual, Kartini tidak pernah secara langsung memimpin gerakan sosial maupun mendirikan institusi pendidikan bagi perempuan.

5 Destinasi Wisata Menarik dari Jepara, Tempat Asal RA Kartini

Ia meninggal dalam usia muda (25 tahun), sebagai istri kedua dalam sistem poligami, setelah dipingit dan dikendalikan oleh struktur budaya patriarkal yang tidak bisa ia lawan secara langsung.

Kita harus mengakui bahwa Kartini lebih merupakan simbol wacana ketimbang aktor praksis dalam sejarah perjuangan perempuan. Ia hadir dalam ruang refleksi, bukan dalam ruang gerakan.

Oleh karena itu, menjadikannya sebagai satu-satunya ikon emansipasi terasa menyederhanakan sejarah dan mengecilkan peran tokoh-tokoh perempuan lain yang secara aktif dan konkret memperjuangkan hak perempuan dalam berbagai bidang.

Mari kita sebut Dewi Sartika, yang pada 1904 mendirikan Sakola Istri, sekolah formal pertama bagi perempuan pribumi di Jawa Barat. Inisiatif ini tidak lahir dari ruang dialog Eropa-priyayi, melainkan dari kesadaran akar rumput akan pentingnya pendidikan praktis bagi perempuan.

Ada juga Ruhana Kuddus, jurnalis perempuan pertama di Indonesia, yang tak hanya mendobrak dunia media. Namun, juga mendirikan sekolah kerajinan dan surat kabar Soenting Melajoe, yang menjadi ruang advokasi perempuan di ranah publik Minangkabau.

Lebih jauh lagi, perjuangan perempuan Indonesia tak hanya terbatas pada bidang pendidikan dan literasi. Cut Nyak Dhien adalah simbol perlawanan perempuan terhadap kolonialisme.

Ia memimpin pasukan gerilya Aceh setelah gugurnya suami, bukan sebagai pengecualian, tetapi sebagai manifestasi dari kepemimpinan perempuan yang otentik.

Mengapa Tanggal 21 April Diperingati Sebagai Hari Kartini? Ini Sejarahnya!

Perjuangannya bukan hanya heroik secara militer, tapi juga ideologis: membuktikan bahwa perempuan dapat dan layak memimpin perlawanan bersenjata dalam masyarakat patriarkal.

Sejarah Indonesia juga mencatat Maria Walanda Maramis di Minahasa yang membentuk organisasi perempuan PIKAT, memperjuangkan hak perempuan dalam pendidikan dan politik domestik.

Juga Andi Depu, ratu dari Mandar yang aktif melawan penjajah dan memainkan peran strategis dalam diplomasi kemerdekaan.

Dari refleksi ini, dapat disimpulkan bahwa emansipasi perempuan di Indonesia adalah hasil dari proses sosial kolektif yang tidak bisa dikerdilkan hanya dalam narasi Kartini-sentris. Kartini penting, tetapi ia bukan satu-satunya. Bahkan, dalam konteks praksis, ia bukan yang terdepan.

Sebagai bangsa, kita membutuhkan pendekatan historiografi yang lebih adil dan inklusif dalam membaca sejarah perempuan. Pendewaan tunggal terhadap Kartini menciptakan semacam reduksi simbolik yang justru merugikan gerakan emansipasi itu sendiri.

Dalam bahasa Pierre Bourdieu, simbolisasi tanpa praksis akan melahirkan kekuasaan simbolik yang semu. Sementara, gerakan sosial membutuhkan figur yang tidak hanya merepresentasikan ide, tapi juga menghadirkan aksi.

Maka, peringatan Hari Kartini seharusnya tidak hanya menjadi perayaan atas satu nama, tetapi menjadi momen kritik atas konstruksi sejarah yang maskulin dan feodal.

Saatnya kita menulis ulang sejarah perempuan Indonesia—dengan narasi yang lebih kompleks, plural, dan berpijak pada kerja nyata para pelopornya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

DS
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.