Abie Wiwoho Hantoro adalah satu dari lima sosok yang menerima Anugerah Menteri Kesehatan 2018. Penghargaan ini diberikan atas dedikasi Abie yang berperan dalam penataan ulang pengelolaan air tinja di masyarakat.
Ia melakukan penelitian selama belasan tahun hingga menemukan metode pengolahan air limbah dengan sistem biofilter komunal.
Dari kontribusinya yang diberikan di bidang tersebut, Abie dijuluki sebagai “Mantri WC”, “Mantri Kakus”, dan “Dosen Jamban”. Sebagai mantri, ia rela dibayar hanya dengan 2M.
Budidaya Maggot Jadi Jalan Endang Rohjiani Dapatkan Dana untuk Konservasi Sungai
"Tinggal panggil saya. Enggak usah mikir bayarannya, mau diberi teh botol atau 2M (makasih Mas) saya mau mengajari," tutur Abie, dikutip dari Kompas.
Jalan Abie memang unik. Selama hidupnya yang telah mencapai lebih dari 75 tahun ini, ia telah menjajaki berbagai profesi, mulai dari penjahit, petugas pengawas air minum dan jamban, hingga pendiri IPAL Center—jasa konsultan pengadaan dan konstruksi instalasi pengolahan air limbah.
Meski demikian, sebagian besar hidupnya telah didedikasikan untuk melakukan perbaikan sanitasi masyarakat Indonesia.
Sosok Sudarmi, Perempuan Gigih yang Pimpin Pengelolaan Hutan Jati di Gunungkidul
Bermula dari Petugas Pengawas Air Minum dan Jamban Keluarga
Lulus dari Akademi Penilik Kesehatan tahun 1974, Abie banyak turun lapangan untuk membagikan teknik pengelolaan air limbah, sesuai dengan apa yang telah dipelajarinya. Ia ditugaskan di Kabupaten Minahasa. Di sana, Abie menjadi petugas pengawas air minum dan jamban keluarga.
Tugasnya adalah memastikan kualitas air minum dan sanitasi jamban yang digunakan oleh masyarakat memenuhi standar kesehatan dan keselamatan.
Sebagai petugas pengawas, Abie menemukan fakta lapangan bahwa masih banyak masyarakat yang membuang hajat di kebun. Akibatnya, banyak masyarakat yang terserang penyakit yang disebabkan sistem sanitasi, seperti diare dan gangguan pencernaan.
Kejadian tersebut menjadi titik balik Abie sehingga ia bertekad untuk menciptakan inovasi sistem pengolahan air limbah yang efektif dan efisien.
Jadi Dosen Politeknik Kesehatan Jakarta
Setelah dari Minahasa, pria kelahiran Ponorogo ini pindah ke Jakarta dan menjadi dosen di Politeknik Kesehatan (Poltekkes) Jakarta. Di sana, ia memanfaatkan beragam fasilitas kampus, terutama perpustakaan untuk menggali ide pembuatan inovasi pengolahan air limbah yang lebih sederhana.
Salah satu buku yang menjadi inspirasinya ialah Excreta Disposal for Rural Areas and Small Communities yang diterbitkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 1958. Buku ini membahas tentang metode pengelolaan pembuangan tinja di daerah pedesaan dan komunitas kecil.
Dari buku tersebut, Abie tercetus untuk menciptakan pengolahan limbah dengan sistem biofilter komunal.
Kisah Nissa dan Ibang, Kawan Aktivis yang Jadi Pasangan Lalu Dirikan Pesantren Ekologis Ath-Thaariq
Sistem biofilter komunal merupakan sistem pengolahan air limbah yang memanfaatkan media biologis untuk mengurai bahan pencemar. Biofilter dapat menggunakan berbagai jenis bahan, seperti batu pecah, pasir, serat kelapa, atau media plastik khusus sebagai tempat tumbuhnya mikroorganisme.
Nantinya, mikroorganisme akan mengurai zat organik dan zat pencemar dalam air limbah, sehingga kualitas air limbah menjadi lebih baik sebelum dibuang ke lingkungan.
Sesuai namanya, sistem biofilter komunal dapat diterapkan secara bersama-sama oleh sekelompok masyarakat atau komunitas. Kelebihan sistem ini adalah dapat menampung limbah 10-100 rumah tangga dengan lahan yang terbatas. Oleh karena itu, sistem biofilter komunal dinilai lebih efektif dan efisien.
"Selama ini, masyarakat banyak menggunakan material pabrikan yang mahal. Saya menawarkan pembuatan IPAL yang lebih murah karena bisa memanfaatkan sampah, yaitu botol plastik dan batok kelapa," tuturnya.
Melihat Peluang Budi Daya Cacing dari Sosok Lilis: Hadirkan Cacing Kering dan Bubuk Cacing
Inovasi yang Gagal Berkali-Kali hingga Hasilkan Metode 212
Meski terlihat mudah, ide pembuatan sistem biofilter komunal bukan tanpa tantangan. Dilansir dari Kompas, Abie membutuhkan waktu 15 tahun untuk meneliti sistem tersebut. Ia juga berkali-kali mengalami kegagalan hingga dijuluki sebagai “Raja Gagal”.
“Setiap hari saya berjam-jam nongkrong, melihat air tinja supaya bisa menjadi bersih. Sampai saya bilang ke mahasiswa, kalau saya tidak bisa menjernihkan air yang berasal dari tinja dan air limbah, saya berhenti jadi dosen. Negara rugi menggaji saya,” jelas Abie, dikutip dari Detik.
Hingga akhirnya, pada 2013, penelitiannya membuahkan hasil. Abie menjadi finalis Lomba Teknologi Tepat Guna Sanitasi Total Berbasis Masyarakat.
Indonesia Punya Melon Hitam, Varietas Baru Temuan Mahasiswa S3 UB
Semangatnya semakin menggebu setelah menjadi finalis. Ia terus menyempurnakan penelitiannya dalam hal pengelolaan limbah cair. Orang-orang di sekitarnya lantas mengubah julukan Abie menjadi “Dewa Air”.
Metode yang paling dikenal dari hasil penelitiannya ialah formula "Wiro Sableng" 212. Ia menggunakan formula 212 untuk mematok ukuran tangki septik, yakni panjang 2 meter, lebar 1 meter, dan kedalaman 2 meter.
Dengan formula tersebut, tangki septik dapat dibangun di bawah ruang tamu, kamar, ataupun di bagian rumah lain. Menariknya, tangki septik ini tidak akan menghasilkan bau sebab limbah cair telah diolah menjadi lebih bersih dan jernih.
Uti Nilam Sari, Sosok yang Jadi Pionir Medical Illustrator di Indonesa
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News