Sebuah pagi yang seharusnya biasa, sama seperti pagi-pagi sebelumnya. Segar, cerah dan menemani semangat saya untuk jalan kaki. Melemaskan otot yang mulai kaku seiring usia.
Sayangnya, pagi kali ini tidak terlalu nyaman. Langit memang masih gelap tertutup mendung. Namun, rasanya bukan jadi alasan pembenar bagi siapapun untuk menghakimi orang yang sedang jalan pagi. Apalagi, 'hanya' karena ia perempuan.
Sopir angkot melambatkan lajunya. Bukan karena macet, tapi karena ingin menyumbangkan siulan murahan. Tak lama berjeda, seorang pengendara motor tiba-tiba mendekat terlalu akrab.
“Pagi-pagi mau kemana?” tanyanya. Seolah jalanan adalah miliknya dan saya hanya pengguna trotoar yang bebas ditanya atau diganggu.
Sejenak mencoba mengabaikan perilaku rendah segelintir orang, mata ini malah dibuat terbelalak dengan berita yang berseliweran. Pelecehan keluarga pasien oleh dokter, mahasiwa oleh dosen, anak kecil oleh pejabat polisi.
Ironi, perilaku murahan muncul dari balik kehormatan jas putih, pangkat aparat dan gelar akademik. Mereka yang seharusnya menjadi penjaga martabat, malah tunduk oleh nafsu bejat. Betapa niat buruk bisa dengan mudah merasuki, tanpa kenal profesi.
Kisah ini mungkin hanya satu dari ribuan, atau jutaan yang serupa. Dan di sinilah, kekuatan tulisan Kang Maman Suherman mengambil peran.
Sejenak melirik koleksi-koleksi buku dari penulis inspiratif ini, salah satu judul yang seketika terlintas adalah “Dan Janda Itu Ibuku” dan “Re:”.
Dua buah buku Kang Maman yang saya punya dan baca. Buku “Re:” saya baca di kisaran tahun 2015, sementara “Dan Janda Itu Ibuku” menemani saya sejak akhir tahun 2024 lalu. Sebuah rentang waktu yang cukup lama, tapi entah kenapa ada peristiwa yang masih saja terulang.
Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat, seharusnya, untuk seseorang belajar berhenti dari perbuatan memalukan yaitu melecehkan perempuan. Di sisi lain, ini juga waktu yang panjang untuk membuat dan menerapkan sebuah aturan tegas bagi para pelaku pelecehan tersebut.
Namun faktanya, justru peristiwanya semakin membelalakkan mata. Dulu kita hanya perilaku semacam ini hanya berputar di lingkaran perempuan pekerja malam dan laki-laki hidung belang yang berkeliaran di sudut-sudut gelap kota.
Sekarang, batas itu mengabur. Korbannya bisa siapa saja. Mahasiswa cerdas, ibu rumah tangga, bahkan anak-anak yang belum penuh memahami arti tubuhnya sendiri.
Dan pelakunya, bisa datang dengan jas dokter, berseragam dengan lambang negara di dada, atau berdiri gagah sebagai guru besar perguruan tinggi ternama.
Mereka tidak membawa senjata, tapi kuasa. Kuasa untuk memanipulasi, membungkam, dan menciptakan ruang sunyi bagi korban.
Buku Kang Maman, adalah teriakan alih-alih sekadar tulisan. Suara yang tidak hanya memihak, tapi juga membuka mata. Lewat Dan Janda Itu Ibuku dan Re:, ia seperti menelanjangi kemunafikan yang dilapisi adat, norma, bahkan jabatan.
Ia menulis bukan sekadar untuk mengisahkan, tapi untuk menggugah. Agar kita sadar bahwa pelecehan tak lagi soal siapa yang "mengundang", tapi siapa yang merasa berhak.
Kisah yang Menghidupkan Suara Perempuan
Dalam “Dan Janda Itu Ibuku,” Kang Maman tidak sekadar menulis biografi sang ibunda. Ia menulis luka kolektif perempuan yang kerap jadi korban sistem, baik yang tertulis maupun yang diam-diam diwariskan melalui tradisi dan budaya.
Kata “janda” dalam masyarakat kita lebih sering menjadi cap daripada status. Lewat cerita ibunya, Kang Maman menyoroti bagaimana status itu bisa menjadi stigma yang dibebankan kepada perempuan, bukan karena kesalahan mereka, tapi karena dunia seolah menolak memberi ruang hormat kepada ketabahan.
Kang Maman tidak menulis dengan nada heroik yang mengglorifikasi derita. Justru ia menulis dengan tenang, nyaris lirih, tetapi begitu dalam. Seolah ingin bilang, penderitaan perempuan tidak perlu diteriakkan agar dianggap nyata. Ia cukup dituliskan dengan jujur dan didengarkan dengan saksama.
Sebuah Resensi Buku “Nalar Kritis Epistemolog Muslim” Karya Dr. Aksin Wijaya
Begitu pula dalam Re:, buku yang disusun dalam bentuk surat ini menunjukkan betapa Kang Maman ingin mendekatkan diri pada pembacanya secara personal. Salah satu suratnya ditujukan kepada korban kekerasan seksual, ditulis tanpa basa-basi, tanpa kalimat menggurui, hanya pelukan hangat dalam kata-kata.
Di situlah kelebihan Kang Maman. Ia tidak bicara tentang perempuan, tapi dari sisi perempuan. Ia tidak mengambil alih suara, tapi menyodorkan ruang untuk suara itu menggema.
Bahasa yang Tidak Kasar, Tapi Menggugat
Gaya bahasa Kang Maman juga layak dicatat. Ia tidak perlu menggunakan kata-kata kasar untuk menggugat ketimpangan. Ia cukup menggunakan kisah, percakapan, dan pengalaman nyata yang kita temui sehari-hari.
Pembaca tidak diserang, tapi diajak menyadari, bahwa yang tampak biasa ternyata sedang menyimpan luka. Bahwa pelecehan bukan hanya soal fisik, tapi juga soal ketimpangan kuasa. Ada diam yang dipaksa.
Menariknya, Kang Maman tidak menyuarakan perempuan sebagai korban belaka. Ia juga merayakan daya hidup mereka. Bahwa meski dunia memojokkan, perempuan selalu menemukan cara untuk bertahan. Dan itu bukan karena mereka lemah, tapi justru karena mereka terlalu lama menanggung beban yang tidak seharusnya mereka terima.
Kang Maman Suherman tidak sedang membuat karya sastra biasa. Ia sedang menulis sejarah kecil yang kerap disembunyikan dari ruang-ruang wacana besar. Tentang suara mereka, luka, sekaligus kekuatan mereka. Ia mengajak pembaca melihat dengan empati.
Buku-buku ini menjadi asyik bukan hanya karena menyentuh, tetapi karena isinya masih terus terjadi. Bukan sebagai nostalgia, tapi peringatan. Kita diajak untuk meraba luka yang tidak kelihatan. Tulisan Kang Maman menjadi semacam perlawanan sunyi.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News