Kota Malang menyimpan jejak sejarah perjuangan yang tak kalah heroik dari peristiwa Bandung Lautan Api. Jika Bandung dikenal dengan strategi “bumi hangus” pada 1946, Malang pun melakukan hal serupa setahun kemudian.
Pada 1947, para pejuang dan rakyat Malang membakar gedung-gedung strategis demi mencegah Belanda menguasai kota itu. Aksi ini menjadi simbol perlawanan sengit warga Malang, yang terdiri dari tentara, pelajar, hingga kelompok santri. Mereka bersatu padu, tak ingin kota yang pernah menjadi basis pemerintahan Republik ini jatuh ke tangan penjajah.
Pembatalan Perjanjian Linggajati Secara Sepihak
Permasalahan bermula dari pengkhianatan Belanda terhadap Perjanjian Linggajati, yang ditandatangani pada November 1946 di Cirebon. Dalam perundingan itu, Belanda diwakili Van Mook mengakui kedaulatan Indonesia secara de facto atas Jawa, Madura, dan Sumatra.
Pada 20 Juli 1947, Van Mook tiba-tiba secara sepihak membatalkan perjanjian tersebut. Tak sampai 24 jam kemudian, Belanda melancarkan Agresi Militer I pada 21 Juli 1947, dengan dalih menguasai wilayah perkebunan kaya sumber daya di Jawa dan Sumatra.
Dari sudut pandang Indonesia, agresi ini jelas melanggar kesepakatan damai. Pasukan Republik yang semula bertahan di Surabaya sejak 1945 pun terpaksa mundur ke wilayah seperti Malang, Mojokerto, dan Pasuruan.
Malang, yang kala itu relatif aman, menjadi basis pertahanan baru. Bahkan, kota ini sempat menjadi tuan rumah sidang KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) pada 1947, menegaskan statusnya sebagai pusat pemerintahan darurat.
Tentara Belanda Memasuki Malang
Belanda tak hanya ingin menguasai kota pelabuhan seperti Batavia atau Surabaya. Malang menjadi target utama karena nilai strategisnya. Sejak era kolonial, Malang dikenal sebagai garnisun stadt (kota militer) dengan benteng pertahanan kuat.
Selain itu, kota ini menyimpan senjata-senjata sisa Jepang yang diambil para pejuang. Pada 1946-1947, Malang menjadi markas TNI dan basis perlawanan, sehingga penguasaannya dianggap krusial bagi Belanda.
Serangan Belanda ke Malang dimulai pada 21 Juli 1947 dengan menduduki Lawang. Namun, perlawanan sengit langsung dilancarkan oleh gabungan tentara pelajar, Gerakan Rakyat Kota (GRK), Badan Keamanan Rakyat (BKR), hingga laskar santri seperti Hizbullah dan Sabilillah. Kolaborasi ini memperlambat laju Belanda, meski persenjataan mereka jauh lebih modern.
Strategi Bumi Hangus
Menghadapi gempuran Belanda yang semakin gencar, para pejuang Malang memilih strategi radikal: membumi-hanguskan kota. Pada 22 Juli 1947, sehari setelah serangan dimulai, perintah pembakaran gedung-gedung strategis dikeluarkan. Tujuannya, supaya Belanda tidak bisa memanfaatkan infrastruktur kota untuk kepentingan militer.
Dalam hitungan hari, kobaran api melalap Balai Kota, Penjara Lowokwaru, Hotel Pelangi, bangunan-bangunan sepanjang Kayutangan, hingga Sekolah Katolik Cor Jesu. Jaringan telepon dan pasokan air sengaja diputus untuk memperlambat gerak musuh.
Menurut catatan sejarah Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), rakyat lebih memilih Malang menjadi abu daripada jatuh utuh ke tangan penjajah.
Setelah pembakaran, pasukan Republik mundur ke wilayah pertahanan baru seperti Bululawang, Dampit, dan Poncokusumo. Rakyat kota pun memilih bergabung dengan gerilyawan ketimbang bekerja sama dengan Belanda. Sikap ini memaksa Belanda mendirikan pos-pos penjagaan ketat di pinggiran kota.
Akhir Perlawanan
Meski bumi hangus memperlambat gerakan Belanda, pasukan mereka akhirnya memasuki Malang pada 29-31 Juli 1947. Pertempuran sengit terjadi di Jalan Salak, melibatkan pasukan TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar) yang mayoritas berusia remaja. Dalam pertempuran tak seimbang itu, 35 pejuang TRIP gugur.
Dalam Buku Malang Tempo Doeloe (2015), Belanda berhasil menduduki Malang, tetapi mereka hanya menemukan puing-puing bangunan. Tentara Belanda tak bisa menggunakan gedung-gedung itu. Semua sudah jadi abu.
Kendati secara fisik Malang telah jatuh, semangat perlawanan tetap hidup. Warga yang menolak bekerja sama dengan Belanda memilih bergabung dengan gerilyawan di luar kota. Hingga Agresi Militer II pada 1949, Belanda akhirnya angkat kaki dari Malang setelah pengakuan kedaulatan Indonesia.
Monumen Peniwen Affair, Pengingat Tragedi Kemanusiaan di Malang Selatan
Malang Bumi Hangus adalah simbol perlawanan tanpa kompromi. Peristiwa ini mengajarkan bahwa kemerdekaan harus dipertahankan dengan segala cara. Kolaborasi antara tentara, pemuda, santri, dan rakyat biasa membuktikan bahwa persatuan adalah senjata terkuat melawan penjajah. Hari ini, bekas-bekas pembakaran mungkin sudah hilang, tetapi semangat juang warga Malang menjadi warisan sejarah yang tak ternilai.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News