Dalam beberapa hari terakhir, "para-para" menjadi satu kata yang viral di media sosial. Penyebabnya, kata satu ini terucap dalam pidato sambutan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dalam acara Konferensi Besar (Konbes) Fatayat Nahdlatul Ulama (NU) di Hotel Aryaduta, Menteng, Jakarta, Jumat (13/12) silam.
Penggunaan kata "para-para" pada momen pidato ini, merupakan satu contoh terapan, terkait bentuk penggunaan kosakata bahasa Indonesia yang kurang tepat, karena "para" sendiri merupakan kata jamak. Kata satu ini biasa digunakan pada kalimat dengan objek manusia.
Tanpa perlu diulang, sebuah objek yang diawali kata "para" sudah otomatis menjadi objek jamak. Contohnya, "para guru", "para siswa", dan sebagainya.
Terlepas dari kesalahan aplikasi linguistik sang wakil presiden, kata "para-para" (bukan pura-pura) ternyata adalah kata yang memang ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Jadi, ini merupakan satu kata baku dalam bahasa Indonesia.
Meski kurang umum digunakan, kata "para-para" ternyata mempunyai tiga arti berbeda, yang merujuk pada fungsi alat tertentu, tergantung konteks, wilayah maupun masyarakatnya. KBBI daring juga mencatat, kata yang mempunyai kata sinonim "pagu", ini merujuk pada anyaman bambu dan sebagainya tempat menaruh perkakas dapur.
Fungsi para-para sebagai tempat menaruh perkakas dapur, biasa ditemui pada jenis dapur gaya tradisional, khususnya di wilayah pedesaan, yang perapiannya masih memakai tungku dan kayu bakar. Pada konteks dapur era kekinian, fungsi para-para kurang lebih sama dengan rak piring dan gelas, atau lemari penyimpanan.
Film "Women from Rote Island" dan Sebuah Pengalaman Unik
Pada konteks masyarakat wilayah lain, khususnya di wilayah pesisir pantai, para-para merupakan sebutan pada rak untuk menjemur atau menyimpan ikan. Menjemur ikan sendiri merupakan satu tahapan dalam proses pembuatan ikan asin.
Salah satu wilayah di Indonesia yang masih menggunakan para-para secara tradisional adalah Tanjung Binga. Indonesiakaya.com menyebut, wilayah di Kecamatan Sijuk ini merupakan kampung penghasil ikan asin terbesar di Kabupaten Belitung, yang belakangan dikembangkan Kemenpar menjadi destinasi wisata berkonsep desa wisata di Provinsi Bangka Belitung.
Dalam konteks transportasi darat, KBBI daring juga menyebut para-para sebagai sebutan untuk rak atau jala untuk menaruh barang-barang (di kereta api).
Posisi para-para yang satu ini biasanya berada di atas kursi penumpang. Bentuknya memanjang di sepanjang deretan kursi penumpang sebuah gerbong kereta. Selain di kereta api, para-para juga bisa ditemukan di moda transportasi bus antarkota antarprovinsi, dengan posisi kurang lebih sama.
Dari ketiga jenis para-para yang ada, para-para di kereta api mungkin menjadi yang paling familiar, khususnya bagi mereka yang suka bepergian memakai moda transportasi kereta api. Meski kosakata "para-para" di sini kurang umum digunakan, bentuk objeknya ternyata ada dan cukup dekat.
Pariwisata Indonesia: Dulu, Kini, dan Nanti
Bagi wilayah dengan dukungan moda transportasi komuter, seperti di wilayah Jakarta dan sekitarnya, para-para bisa dibilang merupakan kawan seperjuangan, khususnya bagi para pejuang komuter.
Dalam konteks masyarakat pedesaan, keberadaan para-para yang sudah mulai digantikan oleh rak dan lemari, juga menjadi satu bukti perjalanan panjang, dari era tradisional ke modern, sama seperti proses peralihan, dari kompor tungku dan kayu bakar ke kompor minyak, lalu bergeser lagi ke kompor gas.
Menariknya, dari satu kosakata "para-para" ini, kita juga melihat bersama, peribahasa "lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya" terbukti valid. Beda wilayah, beda konteks, beda sudut pandang. Otomatis, berbeda pula interpretasi dan fungsinya.
Selebihnya, tinggal bagaimana memandang keberagaman itu dengan bijak, karena ketika beragam sudut pandang dipertemukan, mereka akan menjadi banyak fragmen, yang jika dirangkai akan menghasilkan satu gambaran besar yang utuh.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News