Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bekerja sama dengan Ministry of Natural Resources (MNR) Tiongkok menggelar Forum Kerja Sama Maritim Tiongkok dengan Negara-Negara Asia Tenggara ke-8 di Gedung BJ Habibie, Jakarta, pada Kamis (28/11).
Forum yang bertujuan untuk memperkuat hubungan maritim antara China dan negara-negara Asia Tenggara ini dihadiri oleh sejumlah ahli maritim internasional, salah satunya Vladimir Ryabinin, mantan Sekretaris Eksekutif Komisi Oseanografi Antarpemerintah UNESCO.
Dalam paparannya, Ryabinin menyoroti tantangan besar yang dihadapi oleh lautan, terutama terkait dengan perubahan iklim dan kerusakan ekosistem laut. Ia menekankan pentingnya implementasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya SDG 14, yang berfokus pada pelestarian kehidupan bawah laut.
Laut menjaga keseimbangan ekosistem global
Laut yang mencakup sekitar 71% permukaan bumi, memainkan peran vital dalam kehidupan banyak spesies dan dalam menjaga keseimbangan ekosistem global.
“Tujuan SDG 14 sangat ambisius, dengan sepuluh target yang harus dicapai untuk menjaga keberlanjutan ekosistem laut. Namun, tantangan terbesar kita adalah bagaimana mewujudkannya, terutama di tengah kerusakan laut yang semakin parah akibat perubahan iklim yang cepat,” ujar Ryabinin.
Ryabinin juga mengungkapkan kekhawatirannya tentang dampak buruk perubahan iklim yang semakin meningkat, seperti peningkatan suhu laut, kerusakan terumbu karang, dan penurunan biodiversitas.
Selain itu, fenomena El Niño dan pemanasan global memperburuk situasi dengan meningkatkan frekuensi bencana alam seperti tsunami dan siklon tropis.
Baca juga Penyu Belimbing sang Penjaga Laut yang Paling Langka di Laut Indonesia
Apa solusi yang ditawarkan?
Namun, Ryabinin tidak hanya menyoroti tantangan, tetapi juga solusi yang sedang diupayakan secara global. Salah satunya adalah komitmen yang tercatat dalam Konvensi Keanekaragaman Hayati untuk melindungi 30% area laut dunia pada tahun 2030.
Meski demikian, koordinasi antara negara-negara dan organisasi internasional masih perlu diperkuat untuk memastikan kebijakan tersebut dapat berjalan dengan efektif.
“Saat ini, meskipun banyak konvensi dan perjanjian internasional tentang laut, koordinasi antarnegara masih terbilang lemah. Banyak protokol yang belum terintegrasi dengan baik,” tambahnya.
Dalam kesempatan ini, Ryabinin juga menyoroti pentingnya riset ilmiah untuk memahami lebih dalam kondisi laut yang terus berubah.
Ia mencatat bahwa meskipun banyak penelitian yang telah dilakukan, pendanaan untuk riset laut masih terbatas. Hanya sekitar 1,7% dari anggaran global untuk penelitian yang dialokasikan untuk sains laut.
“Kita membutuhkan lebih banyak data dan observasi untuk memahami kondisi lautan secara lebih akurat dan untuk mengambil langkah-langkah yang lebih efektif,” tegasnya.
Diperlukan integrasi pengelolaan laut
Di sisi lain, Ryabinin mengusulkan agar ada integrasi antara berbagai sistem pengelolaan laut di tingkat global dan peningkatan kapasitas riset serta pemodelan ilmiah.
Hal ini dianggapnya sebagai langkah penting untuk lebih cepat merespons perubahan yang terjadi di lautan, serta mengurangi risiko yang ditimbulkan oleh polusi, eksploitasi yang berlebihan, dan perubahan iklim.
Kolaborasi antar negara, sektor swasta, serta para peneliti, menurutnya, menjadi kunci untuk menciptakan lautan yang lebih sehat dan berkelanjutan.
“Penting untuk meningkatkan kerja sama internasional dan melibatkan sektor swasta dalam riset dan pengelolaan sumber daya laut. Ini adalah kesempatan besar untuk melindungi lingkungan laut demi generasi mendatang,” kata Ryabinin.
Forum ini diharapkan dapat memperkuat kerja sama antara negara-negara Asia Tenggara dan China dalam menghadapi tantangan besar yang dihadapi ekosistem laut.
Dengan adanya komitmen global dan langkah-langkah konkrit dalam implementasi SDG 14, harapan untuk menciptakan lautan yang lebih sehat dan berkelanjutan semakin besar.
Melalui dialog ini, BRIN berharap dapat mendorong kebijakan yang lebih proaktif dalam menjaga kelestarian laut dan pesisir, serta mendukung pembangunan ekonomi maritim yang berkelanjutan bagi negara-negara di kawasan Asia Tenggara.
Baca juga Indonesia Dorong Perluasan Konservasi Laut Hingga 30% di 2045, Bagaimana Caranya?
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News