Bantengan adalah salah satu kesenian yang berasal dari Jawa Timur. Isinya menggabungkan antara seni bela diri, tari, musik, dan mantra sehingga menciptakan suasana magis dalam pertunjukan.
Pertunjukan bantengan semakin seru ketika para pemain bantengan mengamuk alias mberot.
Fatima Tuzzaro dalam buku Bantengan, Seni Tradisional Jawa Timuran, menjelaskan bahwa bantengan punya banyak kisah asal-usul loh, Kawan GNFI!
Sejarah dan Prosesi Seni Bantengan
Masyarakat Malang mempercayai bahwa bantengan telah berkembang sejak zaman Kerajaan Singosari, terbukti dari relief berupa gambar berbentuk kepala banteng yang sedang menari di Candi Jago.
Di sisi lain, masyarakat Mojokerto meyakini bahwa bantengan berawal dari pencak silat yang diajarkan oleh para kyai kepada santri di surau atau hutan.
Sementara itu, menurut Agus Riyanto selaku sesepuh bantengan di Batu mengungkapkan bahwa bantengan diciptakan oleh seorang patih asal Kerajaan Kanjuruhan.
Kendati riwayatnya beragam, bantengan pada dasarnya bermula dari bela diri, lalu dikembangkan menjadi tradisi yang menarik.
Keunikan Bantengan di Kota Malang
Pertunjukan bantengan ini melibatkan dua pemain. Satu pemain berperan sebagai kaki depan sekaligus mengendalikan kepala dan gerakan tarian banteng, sementara pemain lainnya berfungsi sebagai kaki belakang dan ekor banteng.
Kostum yang dikenakan biasanya terbuat dari kain hitam dengan topeng kayu berbentuk kepala banteng yang dihiasi tanduk asli.
Selain banteng, ada juga karakter lain seperti pemain yang mengenakan kostum macan dan monyet yang menambah variasi dalam pertunjukan.
Sebelum memulai atraksi, para penggiat seni bantengan melangsungkan sejumlah ritual terlebih dahulu. Kemudian, puncaknya adalah kesurupan, Kawan GNFI!
Para pemain melompat, menyeruduk, mengamuk, merebahkan diri ke tanah, bahkan memakan sejumlah isi sesajen ritual. Walaupun begitu, para sesepuh dan pamong bantengan pun tetap mengamankan para pemain supaya tidak membahayakan penonton.
Makna Seni Bantengan
Di balik kesurupan yang menegangkan, bantengan mengandung banyak makna hidup.
Banteng menggambarkan rakyat dan kebijaksanaan, macan mengibaratkan kekuasaan otoriter kolonial atau pemerintahan, dan monyet mengisyaratkan manipulasi dan provokasi antara rakyat dan pemerintah (Sawitri et al., 2024)
Banteng sebagai hewan yang hidup berkoloni juga bermakna gotong royong, yakni dengan penuh kesadaran, masyarakat semangat bekerja sama tanpa memikirkan kepentingan pribadi. Selain itu, bantengan juga mengajarkan untuk selalu menghormati Tuhan, leluhur, dan alam.
Upaya Pelestarian Bantengan
Berdasarkan data Radar Malang, jumlah kelompok bantengan terus meningkat sejak 2023 lalu (Putra, 2024). Kini, terdapat 1.336 kelompok bantengan di Malang Raya, yakni Kota Malang, Kota Baru, dan Kabupaten Malang (Putra, 2024).
Masih banyak pula bantengan yang tersebar di Pasuruan, Mojokerto, Blitar, Kediri, Lumajang, dan berbagai daerah Jawa Timur lainnya.
Bantengan semakin laris manis di Jawa Timur karena sering ditanggap untuk acara pernikahan, sunatan, festival, dan perayaan kemerdekaan Indonesia.
Maraknya Budaya Bantengan Setelah Karam Beberapa Tahun
Sebagai bentuk adaptasi kemajuan zaman, musik bantengan kini berupa DJ-DJ alias jedag-jedug dengan sound horeg. Hal ini lantas menjadi pertentangan di kalangan para seniman bantengan. Mereka resah muruah bantengan akan pudar.
Berbagai upaya pelestarian filosofi bantengan pun dilakukan. Bantengan telah terdaftar sebagai warisan budaya tak benda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2019.
Kini, terkhusus di Kabupaten Malang, bantengan hendak di-HAKI-kan dan dibentuk Perdanya untuk semakin lestari demi generasi selanjutnya.
Sumber:
Putra, B. M. (2024, August 24). Ternyata pasukan mberot sebanyak ini! Malang Raya punya 1.336 grup bantengan. Radar Malang. https://radarmalang.jawapos.com/malang-raya/815011806/ternyata-pasukan-mberot-sebanyak-ini-malang-raya-punya-1336-grup-bantengan
Sawitri, S., Khasanah, U., Bagea, I., Fatmasari, R. K., & Renawati, P. W. (2024). Cultural semiotics analysis of traditional bantengan art: Exploring function, symbolic meaning, moral significance, and existence. RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, 10(1), 101–112. https://doi.org/https://doi.org/10.55637/jr.10.1.9336.101-112
Tuzzaroh, F. (2019). Bantengan: Seni tradisional Jawa Timuran. Beranda.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News