Ketika mendengar kata “boneka,” apa yang terlintas di benak Kawan? Mungkin kita langsung memikirkan boneka modern seperti Barbie dan action figure populer lainnya, atau bahkan “Labubu” yang kini tengah tren?
Namun, tahukah Kawan, Indonesia punya ragam boneka tradisional yang tak kalah menarik dan punya makna di balik pembuatannya? Yuk, kita kenali lebih dalam lima boneka tradisional unik di Indonesia yang tak hanya memukau, tetapi juga kaya akan nilai budaya!
Sigale-gale: Sumatra Utara
Jika berkunjung ke Danau Toba, terutama Desa Tomok di Pulau Samosir, tak lengkap rasanya tanpa menyaksikan pertunjukan boneka sigale-gale. Boneka kayu ini unik karena dapat "menari" mengikuti irama musik gondang, diiringi oleh tarian tradisional tor-tor.
Sigale-gale tampak seperti manusia, lengkap dengan kain ulos yang disampirkan di bahu, dan sortali sebagai hiasan kepala. Gerakan boneka ini dikendalikan oleh seorang dalang melalui tali-tali tersembunyi yang terhubung ke berbagai bagian tubuh sigale-gale.
Pada zaman dahulu, sigale-gale dipentaskan dalam upacara papurpur sapata, ritual tolak bala yang bertujuan menghibur keluarga yang berduka, terutama jika yang meninggal tidak memiliki keturunan. Menurut Indonesia.go.id, boneka ini juga memiliki makna sejarah yang mendalam, lantaran dipercaya merepresentasikan sosok Manggale, pejuang Batak Toba yang dihormati karena keberaniannya dalam perang.
Kini, sigale-gale dijadikan pertunjukan penting dalam atraksi wisata di Danau Toba. Selain menghibur, tradisi ini juga mencerminkan kekayaan budaya dan tradisi masyarakat Batak yang penuh dengan nilai sejarah dan kearifan lokal.
Wayang Cecak: Kepulauan Riau
Siapa sangka, boneka tangan mungil yang terbuat dari kain perca bisa menyimpan kisah yang sarat makna? Inilah wayang cecak, seni pertunjukan langka dari Pulau Penyengat, Kepulauan Riau, yang memadukan budaya Melayu dan Tionghoa. Bukan sekadar hiburan, wayang cecak juga menjadi media penyampaian nilai moral dan pendidikan karakter yang menarik, terutama untuk generasi muda.
Setiap boneka dalam pertunjukan ini dimainkan oleh dalang di dalam kotak berukuran 2x3 meter, dengan menampilkan kisah-kisah dari syair klasik seperti “Siti Zubaidah” dan “Selindung Delima”. Pertunjukan wayang cecak tak hanya mengajarkan filosofi kehidupan melalui karakter baik dan buruk, tetapi juga mengenalkan tradisi lisan yang semakin jarang ditemukan.
Dilansir dari Disbud.kepriprov.go.id, pada masa kejayaannya, wayang cecak hanya dipertunjukkan untuk kalangan elit dan tokoh terhormat. Hingga pada tahun 1940-an, Khadijah Terung menjadi satu-satunya dalang di Pulau Penyengat yang mewarisi kesenian ini dari keluarga Kapitan Cina di Tanjungpinang. Walaupun kini mulai langka, wayang cecak tetap menjadi warisan budaya yang layak dilestarikan.
Tau-tau: Toraja
Tau-tau, boneka kayu khas suku Toraja yang menjadi bagian penting dalam tradisi upacara kematian rambu solo. Tau-tau memiliki makna mendalam sebagai representasi roh mendiang, yang diabadikan dalam bentuk patung menyerupai wajah orang yang telah meninggal. Tradisi pembuatan tau-tau telah berlangsung sejak abad ke-19, di mana patung ini dibuat sebagai pengganti foto jenazah yang dulunya belum tersedia.
Salah satu keunikan dari tau-tau adalah penempatannya di makam yang berada di gua atau tebing. Merujuk pada Indonesia.go.id, semakin tinggi letak tau-tau, semakin tinggi pula status sosialnya. Patung ini juga dibuat dengan aturan adat yang ketat, di mana pembuatannya harus menyesuaikan kelas sosial dan bahan kayu yang digunakan: pohon nangka khusus bangsawan, pohon randu untuk kalangan menengah, dan bambu untuk masyarakat biasa.
Tau-tau tak hanya menjadi simbol penghormatan bagi mendiang, tetapi juga diyakini sebagai pelindung bagi keluarga yang ditinggalkan. Meski seiring waktu proses pembuatannya mengalami modernisasi, tau-tau tetap merupakan bagian dari identitas budaya suku Toraja yang sakral. Kawan GNFI dapat menyaksikan patung-patung kayu ini di situs makam Tampang Allo dan Gua Londa, Toraja, Sulawesi Selatan.
Baca juga: Rambu Solo, Tradisi Antar Arwah Suku Toraja
Barong Landung: Bali
Tahukah Kawan, kalau Bali punya boneka tradisional unik bernama barong landung? Boneka ini dianggap sebagai simbol akulturasi budaya antara masyarakat Bali dan Tionghoa. Berdasarkan ulasan dari Kemenag.go.id, cerita di balik barong landung berawal dari kisah cinta Raja Jaya Pangus dari Bali, dan Kang Cing Wei, seorang putri Tionghoa. Boneka ini terdiri dari dua karakter: barong berwarna hitam yang mewakili raja, dan barong berwarna putih yang melambangkan sang ratu.
Barong landung sering digunakan dalam ritual tolak bala untuk pembersihan energi negatif. Tradisi ini juga merefleksikan persatuan dan keselarasan dua budaya yang berbeda, akan tetapi bisa hidup berdampingan dengan harmonis. Jadi, barong landung bukan hanya sebuah boneka raksasa, melainkan suatu cerminan dari kematangan spiritualitas masyarakat Bali yang terbuka terhadap pengaruh budaya asing, tanpa kehilangan jati diri.
Jika tertarik melihat langsung, Kawan bisa berkunjung ke daerah Gianyar, Tabanan, Badung, dan Bangli!
Kanana: Makassar
Kawan, pernah mendengar boneka kanana? Boneka ini bukan sekadar mainan biasa, lho! Dalam tradisi Bugis-Makassar, kanana atau yang juga dikenal sebagai bunting-bunting dalam bahasa Makassar, adalah boneka unik yang terbuat dari anyaman daun lontar. Meski tak banyak tercatat dalam literatur, boneka ini menyimpan sejarah dan makna mendalam.
Berdasarkan penelitian dari ISI Yogyakarta, dipaparkan bahwa awalnya boneka kanana digunakan dalam ritual tradisi sebelum penanaman padi. Boneka ini diletakkan di dalam bakul bersama benih padi sebagai bentuk permohonan kesuburan. Namun, setelah masuknya pengaruh Islam di Sulawesi Selatan, kegunaan boneka kanana berubah menjadi mainan anak-anak.
Selain itu, kanana punya makna khusus dalam adat pernikahan Bugis-Makassar. Dalam erang-erang (seserahan pernikahan), boneka ini menandakan ikatan antara laki-laki dan perempuan.
Uniknya lagi, posisi boneka kanana yang bertumpuk (boneka laki-laki di atas, dan perempuan di bawah) mengajarkan filosofi tentang hubungan suami-istri, di mana perempuan diharapkan mendengarkan dan patuh kepada suami. Makna ini mencerminkan norma sosial yang dianut masyarakat setempat pada masa itu.
Baca juga: 5 Tradisi Pendewasaan Unik di Indonesia, dari Penggal Kepala hingga Uji Kesucian
Nah, Kawan GNFI, jangan sampai warisan budaya kita hanya menjadi cerita di masa lalu. Boneka-boneka tradisional ini adalah bukti nyata betapa kaya dan beragamnya tradisi leluhur kita. Yuk, Kawan, lestarikan nilai-nilai ini dengan terus mempelajari, serta mengenalkannya kepada generasi berikutnya. Bagikan artikel ini agar semakin banyak yang turut melestarikan keindahan budaya Nusantara!
Sumber Referensi:
- Goenawan, F. M. F. (2022). Perancangan Komunikasi Visual Promosi Museum Boneka Kanana ‘Daeng Manda’ di Kota Makassar. Digilib ISI Yogyakarta, hlm. 6-7.
- https://disbud.kepriprov.go.id/wayang-cecak/
- https://indonesia.go.id/kategori/komoditas/568/di-balik-tradisi-pembuatan-tau-tau
- https://indonesia.go.id/kategori/budaya/6881/sigale-gale-boneka-pelipur-lara-dari-tanah-toba?lang=1
- https://kemenag.go.id/khonghucu/keharmonisan-ajaran-khonghucu-dan-barong-landung-di-bali-50efgp
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News