Penggunaan air kemasan di Indonesia telah menjadi bagian dari gaya hidup sehari-hari bagi banyak rumah tangga, baik di perkotaan maupun perdesaan.
Namun, air kemasan yang awalnya dianggap sebagai solusi jangka pendek, kini dikritik karena dinilai ikut berkontribusi terhadap penurunan daya beli kelas menengah di Indonesia.
Dengan harga yang relatif tinggi dibandingkan dengan air ledeng atau air isi ulang, pengeluaran rutin untuk air kemasan dapat menggerus alokasi anggaran rumah tangga.
Hal ini memicu kekhawatiran bahwa konsumsi air kemasan yang berkelanjutan bisa menjadi beban ekonomi yang signifikan bagi banyak keluarga.
Lalu, berapa banyak sebenarnya pengguna air kemasan di Indonesia, dan bagaimana dampaknya terhadap ekonomi rumah tangga?
10th World Water Forum, Harapan Memperluas Jangkauan Akses Air Bersih di Indonesia
Tren konsumsi air kemasan di Indonesia
Sebagaimana bersumber dari data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023, sebanyak 40,64% rumah tangga di Indonesia menggunakan air kemasan bermerek dan air isi ulang sebagai sumber air utama untuk minum.
Angka ini menjadi bukti bila ternyata air kemasan kerap jadi pilihan utama di banyak rumah tangga, terutama di wilayah perkotaan.
Sementara itu, air leding digunakan oleh 8,92% rumah tangga sebagai sumber utama air minum, diikuti oleh sumur bor atau pompa dengan 17,07%, dan sumur terlindung sebesar 15,26%.
Sebagai perbandingan, sumur tak terlindung hanya digunakan oleh 2,41% rumah tangga sebagai sumber utama air minum. Masih ada juga rumah tangga yang mengandalkan mata air terlindung sebanyak 12,17% dan air permukaan, air hujan, serta sumber lainnya sebesar 3,53%.
IKN Punya Air Minum Lebih Berkualitas dari Air Minum Kemasan, dari Mana Asalnya?
Lantas, bagaimana efek ekonomi dari penggunaan air kemasan?
Menurut Bambang Brodjonegoro, ekonom senior sekaligus mantan Menteri Keuangan RI, mengatakan bila penggunaan air kemasan seperti galon dan botol, memiliki dampak signifikan terhadap ekonomi rumah tangga kelas menengah.
Dalam sebuah pernyataan di kantor Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), Bambang menyebut bahwa kebiasaan ini tanpa disadari telah menggerus pendapatan kelas menengah.
"Selama ini secara tidak sadar itu sudah menggerus income kita secara lumayan dengan style kita yang mengandalkan semua kepada air galon, air botol dan segala macamnya," kata Bambang sebagaimana dikutip dari CNBC Indonesia.
Ia juga memberikan perbedaan antara Indonesia dan negara maju dalam hal konsumsi air.
Di negara maju, masyarakat dapat memanfaatkan fasilitas air minum massal yang disediakan pemerintah di tempat-tempat umum, sehingga tidak perlu mengeluarkan uang lebih untuk membeli air minum. Hal ini pun membantu menjaga daya beli kelas menengah di negara-negara tersebut tetap stabil.
"Daya beli kelas menengahnya aman karena untuk air pun mereka tidak perlu mengeluarkan uang terlalu banyak," imbuhnya.
Mengenal Sustainable Development Goals (SDGs) ke-6, Bagaimana Penerapannya di Indonesia?
Faktor lain terhadap daya beli kelas menengah
Namun, Bambang juga menekankan penggunaan air kemasan hanyalah satu dari banyak faktor yang mempengaruhi penurunan ekonomi kelas menengah di Indonesia.
Faktor utama yang menyebabkan banyak kelas menengah mengalami "turun kasta" adalah pandemi Covid-19 yang berlangsung selama dua tahun. Selama pandemi, banyak kelas menengah kehilangan pekerjaan atau mengalami kebangkrutan bisnis
Tak cuma itu, pasca pandemi mereda, kelas menengah kembali dihadapkan pada tantangan lain seperti tingkat suku bunga yang tinggi dan kenaikan harga kebutuhan pokok seperti beras akibat efek El Nino.
"Jadi saya melihatnya kombinasi yang dimulai dari Covid, kemudian diperpanjang dengan tingkat bunga tinggi, nilai tukar melemah, apa-apa jadi mahal," jelas Bambang.
Strategi Indonesia Demi Membangun Ketahanan Air, Sudah Sejauh Mana?
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News