meniti hidup di antara pasang dan surut air laut - News | Good News From Indonesia 2024

Meniti Hidup di Antara Pasang dan Surut Air Laut

Meniti Hidup di Antara Pasang dan Surut Air Laut
images info

Laut selalu menjadi bagian yang besar dalam kehidupan masyarakat Kei Kecil. Dari kisah perjalanan nenek moyang mereka yang datang mengarungi lautan dari Bali hingga saat ini, keseharian masyarakatnya selalu berjalan berdampingan dengan alam dan lautan.

Tiap pagi, para ibu memasak dan menyiapkan makanan dari hasil tangkapan laut yang beragam, seperti contohnya Ikan. Ikan di sini banyak sekali macamnya, belum lagi tangkapan lainnya seperti kab-kabat, sontong, bia, atau anggur laut.

Setelah makanan siap, anak-anak sarapan dan pergi ke sekolah, lalu mencari hiburan dengan "mandi laut" (berenang) di tanjung pada sore hari. Setelah matahari terbenam, bapak-bapak pergi melaut, mencari ikan dan tangkapan lainnya untuk dimasak di kemudian hari.

Terkadang hingga larut malam mereka masih melaut, menunggu surut untuk menangkap kepiting kecil dan bia yang bersembunyi di balik karang. Setelah tangkapan dirasa cukup untuk esok hari, mereka pulang sebelum laut kembali pasang.

Selain letak matahari, pasang dan surut air laut inilah menentukan waktu di mana masyarakat Kei Kecil melakukan kegiatan dalam kesehariannya. Dalam Bahasa Kei, pasang disebut sebagai pono, dan surut disebut sebagai meti.

Baca Juga: Joho Kuno Kini, Tradisi Festival Tahunan dari Desa Joho untuk Memperingati Bulan Suro

Ketika pono, ketinggian air menjulang tinggi, berwarna biru terkadang hijau. Karang-karang yang menjadi tempat tinggal bia (kerang) tertutup air, akar-akar Pohon Bakau yang tadinya terlihat seketika seperti hilang keberadaannya.

Air laut di sini jernih, membuat ekosistem laut terlihat jelas dari atas. Ketika pono inilah kapal-kapal antar pulau banyak berlalu-lalang. Ketika ini pula para nelayan menguji keberuntungannya dengan melaut dan mencari ikan, atau biasa disebut molo.

Beberapa ada yang peruntukannya untuk dijual kembali di pasar, beberapa ada yang hanya untuk konsumsi pribadi dan dimasak di kemudian hari. Molo tidak hanya dapat dilakukan ketika pono, tetapi juga saat meti.

Saat meti, air surut lumayan jauh dari garis pantai. Anak-anak sering kali menggunakan meti untuk mencari jenis bia yang bisa dimakan, seperti kab-kabat atau ngeng di pesisir.

Tidak jarang juga mereka menemukan ular laut, kepiting, dan ikan kecil, bahkan bintang laut yang bisa terlihat dan dipegang dengan mudah tanpa membasahkan tubuh.

Berbeda dengan anak-anak, orang dewasa sering kali memanfaatkan meti untuk melaut, atau molo, menggunakan alat tradisional seperti tombak untuk menangkap biota laut yang terpampang nyata di depan mata. Mencari ikan, garry, bulu babi, dan teripang yang dapat dijual dengan harga tinggi.

Dalam beberapa hari di bulan oktober setiap tahunnya, ‘meti’ dapat terjadi 500–700 m dari bibir pantai, memberikan kesempatan untuk masyarakat menangkap ikan dan bahkan menyebrangi lautan, menyebrangi pulau dengan berjalan kaki.

Meti panjang ini biasa disebut dengan meti kei. Bukan semata-mata karena terjadi di Kei, tetapi meti di Kei ini menjadi satu-satunya meti yang paling ekstrem di seluruh kepulauan Maluku Tenggara.

Sebagai rasa syukur atas nikmat dan karunia yang diberikan tuhan melalui hasil laut dan keindahan alamnya, setiap Oktober, Pemerintah Kei Kecil menyelenggarakan Festival Pesona Meti Kei yang dilaksanakan bergiliran di tiap ohoi (desa) berbeda di Pulau Kei Kecil.

Hal ini juga menjadi salah satu nilai tambah Pulau Kei Kecil yang menjadi sarana untuk meningkatkan pariwisata di pulau ini.

Baca Juga: Terjadi Setahun Sekali, Kemeriahan Barikan Kubro Mendobrak Wisata Budaya Karimunjawa

Pada 2023, acara Festival Pesona Meti Kei diselenggarakan di Ohoi Disuk pada 16 Oktober 2023. Melalui pengalaman dan kenangan para warga, Festival Pesona Meti Kei menjadi suatu kebanggaan tersendiri. Warga dapat menampilkan keragaman budaya yang mereka punya serta keindahan alam yang dimiliki Ohoi Disuk.

Festival yang berjalan hingga lebih dari 10 hari ini dimulai dengan berdoa, mengucap syukur kepada tuhan atas rezeki yang dilimpahkan melalui keragaman hayati di lautan, yang menjadi hiburan serta makanan penunjang kehidupan masyarakat Kei Kecil.

Acara dilanjutkan dengan mencari ikan di laut melalui cara tradisional menggunakan solong-solong atau kolowai, potongan bambu yang pada bagian ujungnya diberikan mata tombak).

Solong-solong atau kolowai ini merupakan alat penangkap ikan tradisional. Walau sudah tidak banyak yang menggunakannya lagi, alat penangkap ikan tradisional ini tetap menjadi warisan budaya yang tak ternilai harganya.

Dengan antusias yang tinggi, masyarakat menangkap ikan bersama-sama. Agar lebih meriah dan tidak memakan waktu yang banyak, sebelum acara menangkap ikan dimulai, panitia akan menggiring ikan terlebih dahulu untuk berkumpul di pesisir menggunakan jaring.

Membuat acara ini tidak hanya diperuntukkan bagi masyarakat yang sering melaut, tapi juga untuk pengunjung dan turis yang masih awam dalam menangkap ikan.

Acara yang juga turut dikunjungi oleh Bupati dan pejabat tinggi lainnya ini diakhiri dengan membakar ikan hasil tangkapan bersama-sama dan persembahan tarian-tarian yang menjadi nilai jual seni dan budaya daerah ini, seperti tari panah, tari menanam enbal, dan masih banyak lagi.

Penampilan-penampilan ini dilakukan di atas panggung kayu yang berdiri di bibir pantai dikelilingi dengan Pohon Bakau.

Dengan latar laut lepas, penonton yang berada di gazebo di ketinggian yang berbeda dapat melihat bagaimana budaya di pulau ini menjadi satu kesatuan dengan alam yang disuguhkan oleh sang pencipta.

Area gazebo dan luasnya hutan Bakau di Ohoi Disuk ini memang menjadi salah satu tempat wisata yang tak terkalahkan indahnya.

Dari sini, pulau Kei Besar yang menjadi tetangga pulau Kei Kecil dapat terlihat dengan jelas, begitu pula Pulau Daar dan Pulau Ngutwaw yang juga menjadi gugusan pulau Kei Kecil.

Dengan ekosistem pesisir yang alami ini, banyak sekali hewan-hewan yang kerap singgah berdatangan, seperti burung gereja, burung bangau, dan burung-burung kecil yang berlalu-lalang menunjukkan pesonanya.

Ketika matahari mulai terbenam, Tanjung Disuk menjadi titik yang paling indah untuk menikmati senja. Walau tidak langsung menuju pasir atau karang, hal ini justru menjadi hiburan yang seru bagi anak-anak yang suka meloncat ke laut dari ketinggian.

Airnya yang biru dan pantulan cahaya matahari seperti mengundang orang-orang yang ada disana untuk berenang, lalu kembali pulang saat matahari sudah sepenuhnya terbenam.

Baca Juga: Mengenal Tradisi Keakraban dalam Kuliner Kue Tamo Khas Sangir

Begitulah masyarakat Kei Kecil menjalani hari-harinya, dikelilingi dengan lautan membuat mereka harus meniti hidup diantara pasang dan surut air laut.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

KP
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.